Selasa, 31 Oktober 2006

Sisi Gelap Diri

Setiap kita menyimpan sisi gelap yang menunggu untuk terungkap. Sisi gelap itu bisa saja tanpa sadar sering berusaha kita tutupi. Atau bisa pula ia jarang menemukan momentum yang tepat untuk hadir di wilayah publik. Mungkin ia lebih sering muncul di ruang-ruang terbatas, tempat semua bentuk ekspresi diri tak menemukan hambatan berarti untuk mewujud dalam pelbagai rupa.

Alkisah, seorang yang sangat tekun beribadah, mempersembahkan waktu dan tenaganya untuk berzikir dan memuji Tuhan, suatu hari berteriak keras sambil mengumpat: “Anjing!!!”, ketika ia tak dibukakan pintu saat mau masuk ke pekarangan rumahnya, sekembalinya dari mesjid.

Konon, seorang yang begitu mencintai ilmu dan pengetahuan, menghabiskan waktunya membaca buku-buku hikmah dan mencari berbagai rahasia Tuhan, suatu saat, dalam sebuah percakapan telepon, mengeluarkan kata-kata umpatan kasar dan hujatan kepada salah seorang familinya sendiri, yang ia kira telah memperlakukannya semena-mena dalam suatu persoalan.

Ada yang bilang, hal-hal yang secara moral mungkin dipandang tidak baik yang muncul secara spontan adalah sesuatu yang manusiawi, yang wajar, yang harus dimaklumi, terutama ketika lahir dalam satu situasi yang khas dan cukup menyulitkan. Ada yang bilang, sisi gelap diri adalah bagian dari kemanusiaan kita. Dalam khazanah sufi dinyatakan bahwa, seperti halnya Tuhan, manusia juga memiliki sifat ketuhanan dan sifat kemanusiaan; pada yang terakhir inilah sisi gelap itu bersemayam. Sisi gelap diri dalam hal ini bisa dalam arti bahwa ia adalah sesuatu yang laten sifatnya, muncul tanpa kendali, mencuri celah keluar di setiap kesempatan, dan semakin memperjelas betapa kita tak sepenuhnya menjadi panglima atas segala yang kita miliki. Sebagai sesuatu yang laten, ia sering muncul dan berada di antara titik rumus emergensi.

Tapi bisa pula sisi gelap diri itu berbentuk sesuatu yang relatif tetap dan stabil, yang mewujud dalam karakter diri seseorang. Jika sisi gelap itu berkaitan dengan hal yang buruk, yang selalu hendak ditampik, maka dalam pengertian ini ia dapat diibaratkan debu yang tak pernah dibersihkan dari cermin hati, sehingga bahkan akhirnya diri kadang kesulitan untuk menemukan dan memulihkannya. Dengan kata lain, jika sisi gelap diri sudah bermetamorfosis dan melebur ke dalam karakter, ia tak cukup dapat dipulihkan dengan semata kesadaran. Sebaliknya, seseorang yang sedang kedatangan sisi gelap dirinya, tapi dalam wilayah yang masih spontan, maka ia masih cukup mungkin dapat menghindari pengulangannya jika segera setelah itu terjadi ia menjadi cukup sadar dengan kekeliruannya itu.

Mengelola sisi gelap diri sama halnya dengan terjun ke wilayah jihad spiritual. Jihad jenis ini jelas membutuhkan suplai energi ekstra. Salah satu modal awal yang akan sangat berharga adalah kesadaran bahwa setiap kita mesti memiliki sisi gelap diri. Untuk selalu waspada dengan sisi gelap diri ini, seseorang harus membiasakan diri untuk menginterogasi dirinya sendiri setiap kali berhadapan dengan situasi problematis yang secara moral mengandung hal-hal yang negatif. Jangan keburu mengembalikan titik masalah kepada orang lain. Menginterogasi diri pada dasarnya adalah bagian dari identifikasi dan pengenalan diri—salah satu hal primer yang amat berharga untuk bekal mengarungi hidup.

Mengingat beratnya jihad spiritual, sepertinya pengenalan diri ini sangat mungkin akan mendekati titik purna bila tak hanya dikerjakan sendiri, tapi dengan semacam pendampingan dari orang-orang yang memiliki empati dan keterlibatan mendalam dengan hidup diri kita sendiri. Orang-orang yang cukup peduli dan berbagi cinta untuk bersama-sama melintasi hari menuju esok yang lebih baik. Dengan bantuan orang-orang dekat semacam ini, kesadaran akan sisi gelap diri itu relatif akan lebih mudah bertransformasi menjadi kekuatan untuk mengubah diri, memulihkan segi gelap diri ke titik yang lebih terang, meski bergerak dengan perlahan.

0 komentar: