Senin, 02 Januari 2006

Menjadi Petualang


Larut tertinggal di belakang. Pagi datang menjelang. Aku masih terbangun, terantuk-antuk di kursi belakang bus yang terus melaju. Kulirik jam tangan, jam dua lima belas menit. Kebanyakan penumpang di atas bus yang hampir penuh itu tertidur lelap. Beberapa kelihatan lelah terkantuk-kantuk. Mungkin pikiran mereka sedang berkelana entah ke mana, ke arah belakang atau ke depan. Lampu bus di dalam yang remang terlihat indah, berpadu dengan pemandangan kiri kanan yang memperlihatkan hamparan sawah diterangi purnama. Deru mesin bus terdengar lantang di antara senyap malam dan suasana pedesaan.

Tak lama lagi bus ini akan tiba di perhentiannya yang terakhir. Tak lama lagi aku akan tiba di rumah. Tapi pikiranku seperti masih tertinggal di jalur-jalur perjalananku. Ini bukan semacam kenangan, memorabilia suatu perjalanan. Ini semacam kesan sederhana tentang suatu petualangan—atau tepatnya, seseorang yang menjadi petualang—yang kemudian mengantar ke sejumlah pertanyaan.

Aku teringat pada seorang filsuf terkemuka Jerman yang butir-butir pemikirannya disebut-sebut menjadi salah satu dasar bagi lahirnya semangat Pencerahan Eropa di abad kedelapan belas. Dia, yang putra seorang pembuat pelana kuda, tinggal di sebuah kota di Prusia Timur nyaris sepanjang hidupnya—delapan puluh tahun! Meski sekarang dunia telah menjadi desa, aku tak bisa membayangkan jika di abad ini akan ada orang yang semacam itu; yang nyaris terus berdiam dalam milieunya, tak berjumpa langsung dengan wajah-wajah dari lain nusa, tak mendengar langsung orang-orang yang bercakap dengan lain bahasa.

Aku cukup tahu bagaimana rasanya rindu pulang. Setiap di suatu perjalanan, setiap di suatu tempat persinggahan, setiap di kampung perantauan, ada saatnya perasaan rindu pulang menyeruak datang. Tapi perjalanan kemarin telah memberiku suatu pengertian baru tentang indahnya petualangan.

Sebuah petualangan ibarat air yang mengalir, yang membawa kita ke sungai-sungai, jeram, selokan, atau sebuah pemandangan pasar apung yang menakjubkan. Sebuah petualangan adalah arus sungai yang mengalirkan sehelai daun ke muara, terus ke laut. Dalam petualangan, mungkin kita akan disambut hangat oleh seorang kawan lama atau menemukan sanak saudara yang sebelumnya bahkan kita tak pernah berjumpa. Mungkin pula kita akan menyaksikan pemandangan alam yang belum pernah kita lihat, pasar yang terbakar dan orang-orang yang meratapi barang-barangnya yang hangus dilahap api, atau suasana hening pedesaan. Mungkin pula di sebuah terminal kita akan kecopetan.

Menjadi petualang mungkin akan mengubah total makna rumah dalam pengertian yang konvensional. Seorang petualang mungkin tak pernah risau atau tak pernah dihinggapi perasaan rindu pulang, karena baginya semesta adalah rumah tinggalnya. Rumah bukan lagi menjadi semacam konsep yang mengacu ke sebuah pusat yang relatif stabil. Rumah selalu dibuat dan dimaknai dalam setiap momen kebaruan yang justru ditemukan dalam area pekarangan yang tak terbatas. Mungkin dengan itu rumah tak dicari di luar diri, karena diri kemudian mengganti sebagai pusat baru yang menempati posisi dan fungsi rumah. Seorang petualang, pikirku, berumah-dalam-diri.

Tapi kukira saat ini tak banyak orang yang sanggup kembali menjadi semacam kaum nomaden di zaman yang menuntut orang-orang untuk menemukan sebentuk tempat sandaran, mungkin jaminan, agar tak digilas dunia yang bergerak entah ke mana. Kalaupun ada, mungkin ia akan sangat terbantu dengan piranti komunikasi yang sanggup menemaninya menyelusup hingga ke pelosok kampung, untuk tetap menghubungkannya dengan sang pusat, rumah tinggalnya. Para petualang sejati mungkin memang hanya bisa kita temukan di masa lalu, dalam cerita-cerita silat dan sandiwara radio.

Seperti inilah tepatnya pikiranku saat itu, saat diguncang di atas bus yang melaju. Samar-samar muncul bayangan lain dari suatu senja, dari masa lalu, di balai-balai di bawah pohon mangga, di halaman langgar tua, seorang bocah yang khusyuk mendengarkan kisah para pendekar dari sebuah radio. Para pendekar yang membela kebenaran, menumpas kejahatan, berkelana menebar kebajikan. Entah, apakah pikiran bocah itu ikut larut dalam keasyikan bertualang seperti dalam kisah yang ia dengarkan.

Akan tetapi aku kadang berpikir, apakah justru seorang petualang awalnya adalah seorang yang terbuang? Apakah rumah si petualang di kampung halamannya telah diluluhlantakkan, sehingga ia harus mengembara, membangun rumah baru entah di mana atau membangun rumah dalam dirinya? Ataukah dia terusir dari rumah asalnya; terusir karena perbuatannya yang dianggap tak benar? Apakah seorang petualang awalnya adalah seorang yang sebatang kara?

Waktu terus merambat. Pertanyaan-pertanyaanku terhenti di situ. Bus bergerak melambat. Di depan, tempat terakhir untuk menurunkan penumpang telah terlihat.


Juli-November 2005

0 komentar: