Senin, 19 Desember 2005

Simone de Beauvoir dan Etika Pembebasan Perempuan

Judul Buku : Pembebasan Tubuh Perempuan:
Gugatan Etis Simone de Beauvoir terhadap Budaya Patriarkat
Penulis : Shirley Lie
Pengantar : Karlina Supelli
Penerbit : Grasindo, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2005
Tebal : xx + 102 halaman



Di kalangan para aktivis gender, Simone de Beauvoir merupakan salah satu tokoh kunci yang pemikirannya tak bisa dilewatkan untuk ditelaah. Magnum opusnya, Le Deuxième Sexe (1949), dicatat sebagai karya klasik yang memberikan uraian cukup komprehensif tentang kondisi (ketertindasan) perempuan dan telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam menginspirasi dan memotivasi gerakan-gerakan pembebasan perempuan. Karya klasiknya itu, yang dalam bahasa Inggris berjudul The Second Sex, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Pustaka Promethea Yogyakarta (2003).

Buku yang semula adalah tesis di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta ini adalah salah satu dari sedikit karya dalam bahasa Indonesia yang mencoba mensistematisasi dan mengkontekstualkan pemikiran-pemikiran Beauvoir. Gagasan-gagasan Beauvoir yang dapat dikatakan bersifat filosofis dan merupakan kritik pedas terhadap budaya patriarkat yang menindas dalam buku ini diletakkan dalam kerangka praksis-etis pembebasan kaum perempuan. Untuk itu, penulis buku ini, selain mengolah dari The Second Sex, juga banyak mengolah pemikiran filosofis Beauvoir yang tertuang dalam The Ethics of Ambiguity.

Budaya patriarkat memulai riwayat penindasannya terhadap perempuan dengan stigmatisasi negatif terhadap kebertubuhan perempuan. Unsur-unsur biologis pada tubuh perempuan dilekati dengan atribut-atribut patriarkat dengan cara menegaskan bahwa tubuh perempuan adalah hambatan untuk melakukan aktualisasi diri. Perempuan diciutkan semata dalam fungsi biologisnya saja. Dengan cara demikian, tubuh bagi kaum perempuan tak lagi dapat menjadi instrumen untuk melakukan transendensi sehingga perempuan tak dapat memperluas dimensi subjektivitasnya kepada dunia dan lingkungan di sekitarnya. Tubuh yang sudah dilekati nilai-nilai patriarkat ini kemudian dikukuhkan dalam proses sosialisasi serta diinternalisasikan melalui mitos-mitos yang ditebar ke berbagai pranata sosial: keluarga, sekolah, masyarakat, bahkan mungkin juga negara.

Dalam kerangka penjelasan seperti inilah maka perempuan kemudian diposisikan sebagai jenis kelamin kedua (the second sex) dalam struktur masyarakat. Akibatnya, perempuan tak dapat mengolah kebebasan dan identitas kediriannya dalam kegiatan-kegiatan yang positif, konstruktif, dan aktual. Dalam situasi yang demikian ini, pola relasi kaum laki-laki dan perempuan menjadi tak ramah lagi. Kaum laki-laki tak menghendaki adanya ketegangan relasi subjek-objek, sebagaimana dijelaskan oleh filsuf-filsuf eksistensial, dengan menyangkal subjektivitas perempuan dan menjadikannya sebagai pengada lain absolut.

Pada titik inilah pemikiran Beauvoir tentang etika ambiguitas menjadi penting dikemukakan. Dengan etika ambiguitas, Beauvoir menolak sikap yang ingin mengelak dari ketegangan relasi tersebut. Menurut Beauvoir, ketegangan antara “kebutuhan akan orang lain” dan “kekhawatiran dikuasai orang lain” (diobjekkan) merupakan situasi yang harus diterima apa adanya dan ditransendensikan ke dalam situasi yang lebih proporsional dan manusiawi.

Jalan pembebasan kaum perempuan ditempuh dari dua jalur utama, yakni level pemikiran dan praktik. Pada tataran pemikiran, tubuh perempuan harus dibebaskan dari label-label yang ditempelkan oleh budaya patriarkat yang membuatnya tak leluasa melakukan proses transendensi. Selain menempatkan konsep subjek dengan tubuh yang berbeda dan ambigu, Beauvoir juga menyerukan untuk mengubah pola relasi antara kaum laki-laki dan perempuan dari ikatan biologis dan fungsional menjadi ikatan manusawi dan etis, yang terangkum dalam semangat persahabatan dan kemurahan hati.

Di level praktik, Beauvoir mengusulkan pentingnya kemandirian ekonomi sebagai pintu pembuka bagi pembebasan tubuh perempuan, yang akan semakin mantap jika dipadukan dengan perlakuan setara terhadap perempuan di ranah sosial, budaya, dan politik, yang dicapai melalui revolusi sosial.

Selain melakukan sistematisasi, buku ini cukup berhasil melakukan kritik dan kontekstualisasi pemikiran-pemikiran Beauvoir dalam konteks problem-problem kekinian perempuan di era globalisasi. Di beberapa bagian, misalnya, menurut penulis buku ini, Beauvoir kadang terlihat terlalu menyederhanakan persoalan situasi perempuan dan tidak mengakomodasi kompleksitas situasi penindasan perempuan yang cukup rumit. Di akhir bagian, penulis buku ini menambahkan bahwa selain ancaman nilai-nilai patriarkat sebagaimana tampak jelas dalam pemikiran Beauvoir, perempuan kini juga ditantang oleh kekuatan pasar bebas yang untuk beberapa hal tak jauh berbeda dengan kultur patriarkat dalam soal menyempitkan ruang perempuan ke dalam kategori objek belaka, di tengah kegamangan kaum perempuan untuk terjun ke dalam ketegangan dan sifat dasar kebebasannya.

Karya ini cukup berhasil menyajikan pemikiran-pemikiran filosofis Simone de Beauvoir tentang praksis etis pembebasan perempuan dalam bahasa dan uraian yang cukup mudah dicerna tanpa harus kehilangan segi kedalaman kajiannya. Buat mereka yang terjun di level gerakan (sosial) pembebasan perempuan, buku ini dapat menyuguhkan peta umum kondisi perempuan dengan berbagai kompleksitas persoalannya, dan buat kaum perempuan sebagai individu, Beauvoir melalui karya ini memberikan semangat dan seruan untuk hidup lebih autentik dan hidup dengan menggali identitas dan kebebasannya.

* Tulisan ini dimuat di Jurnal Perempuan edisi 45, Januari 2006


Read More..

Jumat, 16 Desember 2005

Mata Itu...

Di balik kelopak mata ini ada luka, lara, gelisah dan air mata. Saat dia terbuka, berjuta warna akan menyilaukannya. Jadi biarkan dia tertutup, mengatup dalam gelap. Karena gelap melindunginya dari kelelahan dalam perjalanan panjang.



Aku terdiam, terpaku menatap mata itu. Mata yang seperti menyimpan berjuta enigma. Mata yang seperti menanggung beban tiada terkira. Mata yang seperti tiba di titik frustrasi, tak menemukan ruang untuk berbagi. Mata yang bila membuka seperti hanya menemukan ufuk-lazuardi yang terluka di serambi rumahnya.

Mata itu seperti betul-betul ingin bertutur tentang banyak hal yang tak kuasa ia ungkapkan. Tapi mengapa bila kutanya dia hanya menjawab dengan diam? Malah kadang dengan sedikit nada marah, sambil mengingatkan, agar aku tak lagi menyinggung soal itu. Teramat banyak cerita; begitu miskin kata-kata. Mungkin, bila tiba saatnya ia harus mendedahkan semuanya, dengan terbata ia akan bertutur dengan air mata, yang mengalir ke hidung mungil dan sudut bibirnya yang kadang bergetar. Ia berlari menjauh, menumpahkan itu semua dalam kesendiriannya. Dalam kesunyiannya.

Sementara dunia tak akan ke mana-mana; ia akan tetap di sana, dengan segala merah, jingga, kuning, biru, dan kelabunya.

Akan tetapi, bagaimanapun juga, aku sadar bahwa aku tak akan pernah bisa tahu sepenuhnya, apalagi merasakan sedalamnya, hamparan catatan harian yang tak kutulis sendiri. Jalan setapak yang rumputnya tak kuinjak. Paling-paling, dengan anugerah yang luar biasa, dengan imajinasi dan empati, aku mungkin saja melibatkan diri, membaca aksara-aksara yang ia pahatkan, garis-garis yang ia goreskan dan coretan-coretan spontan yang ia torehkan, yang kadang mewujud sesuatu yang membutuhkan penjelasan. Meski sering aku sadar, bahwa suatu saat imajinasi dan empati akan membentur garis demarkasi, yang memisahkan dunia-yang-dicipta-olehnya dan dunia-yang-terberi-di-hadapan-kita-begitu-saja.

Sementara imajinasi dan empati sangat tidak cukup bila hanya diolah dari (pemandangan) mata. Ia membutuhkan sejumlah bahan lainnya. Semacam catatan resep, ruang, waktu, dan juga tempat adonan.

Kadang aku berpikir bahwa mata adalah semacam tabung besar tempat menyimpan rahasia-rahasia diri yang terdalam. Mungkin juga tempat menyimpan kegelisahan dan kebahagiaan. Tebersit tanya, seberapa besar sebenarnya daya tampung tabung itu? Mungkinkah, suatu saat, tabung itu meluap, memuntahkan segala isinya? Atau jangan-jangan ternyata di dalam ada semacam alat yang dapat mendaur sebagian atau seluruh isinya, mengolah gelisah menjadi gairah, mengubah air mata menjadi api semangat, mengubah resah menjadi senyum sumringah… Jangan-jangan, seperti kata seorang teman, mata-yang-memutuskan-untuk-terpejam itu melewatkan kelebat fajar, cahaya pagi yang menyegarkan, dan hanya kembali membuka saat ia hanya bisa menemukan temaram…

Sejauh masih ada nikmat kesempatan dan kekuatan, mengapa tak kau tatap lanskap dunia, meski horison senja terhalang kepul asap bercampur jelaga? Tidakkah kau yang mengajariku, bahwa kita tak pernah sendiri di sini, dalam perjalanan panjang yang memang melelahkan ini? Perjalanan panjang, tak pernah kita tahu seberapa juta jengkal untaiannya terhampar, ke arah mana berkelok, dengan siapa kita akan bergenggam tangan, di mana akhir tanjakan. Di antara sisa-sisa titik keberadaan kita yang rentan, kita mungkin masih punya kesungguhan, kecermatan, dan niat suci untuk menjalaninya dengan tegar hati.

Mata itu… Aku ingin selalu becermin di antara retakan-retakan semesta. Tapi aku juga ingin menyaksikan saudaraku, kerabatku, orang-orang yang kucinta, bisa menemukan bahagia di antara cermin yang selalu ia bawa.

Read More..

Senin, 10 Oktober 2005

Senja di Pelabuhan (1)

Aku sungguh merindukan pulang. Aku rindu senja di pelabuhan.

Sebenarnya tak ada yang istimewa dengan pelabuhan itu. Hanya semacam tempat lalu-lalang orang-orang dengan berbagai tujuan dan keperluan. Tak sering aku menikmati senja di pelabuhan itu, karena kebanyakan aku menyeberangi selat itu di malam hari. Dan di malam hari, pelabuhan seperti tak menyisakan hal yang dapat dinikmati. Hanya temaram, di antara sisa-sisa bunyi yang tak seriuh di terik hari. Mungkin ada pula rasa kantuk yang tak tertahankan, selain juga sejenis kekhawatiran, bahwa di pojok remang bisa saja terjadi tindak kriminal.

Aku masih ingat, di suatu senja, aku duduk di perigi di sudut barat pelabuhan itu, memandangi laut dan orang-orang yang tak begitu ramai di sekitar. Ada beberapa orang yang sedang memancing ikan di ujung sebuah perigi yang menjorok agak jauh ke arah laut, di bagian barat pelabuhan. Di seberang terlihat pemandangan kota dan kapal-kapal besar yang menunggu jadwal keberangkatan.

Senja memang baru dimulai. Aku duduk di dekat sebatang pohon beringin, berlindung dari sisa-sisa sengatan sinar matahari. Aku duduk saja, kadang berjuntai, kadang bersila. Tak ada teman yang bisa kuajak bicara. Aku sendiri saja, menikmati suasana senja yang terasa membawa diriku ke mana-mana. Seperti kapal-kapal di seberang, yang mengantarkan orang-orang ke berbagai rumah tujuan atau tempat pengembaraan.

Tapi senja di pelabuhan itu telah membawaku ke tempat-tempat yang tak tertebak, yang merentang di antara masa silam hingga jauh ke masa depan. Dan aku mencoba menyerahkan diriku kepada sang nakhoda, ke arah manakah dia akan melayarkan kapalnya.

Aku masih ingat, di senja itu, aku tak habis bertanya, mengapa senja di pelabuhan memiliki sedemikian kekuatan yang sanggup membawaku ke tempat-tempat yang seperti tak kenal batas. Apakah diriku sebegitu lemahnya menghadapi metafor-metafor hidup yang terpancang di senja-pelabuhan itu, sehingga aku tak kuasa menolak untuk diajak ke dunianya, dunia-senja-di-pelabuhan? Apakah biru laut telah begitu rupa menggenangi sungai-sungai kesadaranku, sehingga luapannya menjadi tak tertampung lagi?

Dunia-senja-di-pelabuhan terlihat ibarat sehelai potret yang bertutur tentang bermacam hal. Orang-orang yang terburu di antara himpitan waktu, di antara tuntutan dan kebutuhan yang tak kunjung selesai didefinisikan. Lelaki-lelaki muda, anak-anak belia, perempuan paruh baya, yang berteriak menjajakan barang-barang dagangannya. Wajah-wajah yang menyimpan segudang cerita tentang haru-pilu hidup. Beberapa yang mungkin mengharap jemputan. Burung-burung yang beterbangan bernyanyi penuh riang—mungkin karena sedang menuju pulang. Kapal yang bergerak bolak-balik melintas dan mengantar ke seberang, seperti mengangkut harapan, lalu merapat dan beristirahat di pelabuhan. Bola matahari di ufuk barat yang bergerak pelan mendekati tenggelam, mengubah cahayanya yang tajam keputihan benderang menjadi kuning kemerah-merahan. Semburat cahaya senja yang teduh memukau, yang menghamparkan permadani anggun bersepuh emas di luas riak kecil gelombang. Senja yang berbatasan di antara siang dan petang. Senja yang membawa orang-orang ke halte peristirahatan.

Senja telah merangkak melewati separuh jalan. Aku masih duduk di situ, menyapukan pandangan ke sekeliling, berusaha memotret detail sudut-sudut senja di pelabuhan itu, lalu menyimpannya dalam saku memoriku yang entah berapa ribu giga kapasitasnya. Kelak, suatu waktu, aku ingin memperlihatkannya kepada sahabat-sahabat karibku, saudara-saudaraku, anak-istriku, sambil bercerita tentang setiap kelebat pikiran yang datang menghampiriku saat itu.

Aku masih mencermati detail senja di pelabuhan itu, sampai kemudian terasa ada suara merdu di belakang yang memanggil namaku. Aku pun menoleh.

Read More..

Sabtu, 24 September 2005

Surat Buat Elva

From: “M Mushthafa” <musthov79@yahoo.com>
To: elvarahma@yahoo.com
Date: Tue, Sep 20, 2005 23:12
Subject: Elva, Temukan Permata Dirimu

Elva. Dunia tempat kau akan tinggal kelak akan menjadi semakin liar, sulit ditebak sulit dikendalikan. Perubahan juga tak akan lagi berjingkat. Ia melesat bagai kilat. Yang bergerak lamban akan menuai sesal. Yang tak bersikap cerdas akan tergilas. Aku tak tahu apakah sekarang, dari kejauhan, kau sudah dapat merasakan dentuman dan gemuruhnya, menghantam ke seluruh segi-segi kehidupan di sekitarku di sekelilingmu. Kukira tak ada yang sanggup melarikan diri bersembunyi dari dahsyat getaran perubahan zaman.

Sebutan populer yang terlalu sering aku dengar, yang mungkin di masamu akan terasa usang atau bahkan sudah tergantikan, menyatakan bahwa ini adalah zaman globalisasi; sebuah zaman ketika definisi jarak menjadi tak terlalu berarti, karena dunia telah mengerut dan menjelma semacam kampung mini, tempat desas desus tetangga begitu jelas di telinga. Sebagai kampung, dunia kemudian membuat perbauran nilai, tradisi, pandangan hidup, dan sikap sehari-hari menjadi cukup mudah berlangsung. Semuanya seperti dituang dalam sebuah gelas, dengan sebuah sendok yang terus mengaduk tak kenal lelah.

Lalu di manakah dirimu saat itu, Elva sayang? Apakah kau ikut berpusing dalam adukan itu dan tak sempat mengendap di kedalaman? Apakah kau justru merasakan asiknya pusaran arus tiada henti itu, membuatmu senantiasa merasa baru, menampik disebut kuno dan ndeso? Atau kau masih berdiri tercengang di persimpangan, takjub campur bingung menyaksikan berbagai hal di sekelilingmu?

Elva sayang. Terus terang aku mencemaskan saat-saat itu, kelak, entah di kalender berapa, saat aku perlahan harus melepasmu berkenalan dan menjelajah dunia, saat aku cukup yakin bahwa kau akan mulai menyusun bata rumah duniamu sendiri, entah bersama siapa saja. Tentu aku tak bisa menahanmu terlalu lama dalam pangkuanku dalam pelukanku. Sebab itu bukanlah sikap yang bijak pula. Sebab sejatinya kau sama sekali bukan milikku. Saat kau disebut sebagai remaja, langkah-langkah kecilmu tak akan dapat sepenuhnya kupandu, lantaran kau sudah punya keinginan dan harapan, lantaran kau sudah akil balig, sudah sanggup menentukan pilihan, sudah mulai menemukan kebebasan, dalam pengertian yang lebih luas.

Adapun dunia saat ini, apalagi kelak, sudah terlalu riuh dengan carut marut. Kadang aku berpikir bahwa dunia sekarang ini dan dunia yang akan kau hadapi ibarat belantara. Rambu-rambu menjadi tak begitu jelas dalam tatapan polosmu yang rapuh. Kau dapat dengan cukup mudah tersesat, seperti halnya juga kau akan dapat cukup mudah merasa terbuang dan terabaikan di tengah keramaian. Bahkan di beberapa tempat, jika kau amati, ada jeram, dengan pusaran ganas yang siap melumatmu ke arus kepentingan kelompok tertentu—kepentingan global, kepentingan kapital. Sialnya, mereka ini begitu piawai menyembunyikan kepentingan sepihak mereka dalam retorika dalam manis kata-kata. Dalam belantara dunia, mereka begitu lihai memoles citra, dengan disokong oleh siasat media, mengajakmu bergabung dalam kerumunan, rombongan bebek, massa yang tak kritis dan apatis, atau orang-orang yang miskin visi.

Saat menjadi remaja, aku begitu mencemaskan kau terlalu begitu mudah ditarik ke sana kemari oleh pelbagai pusaran ganas itu, tanpa kau sadar sepenuhnya akan bahaya yang mengintai di balik itu semua. Memang, masa remaja adalah semacam fase peralihan saat dimulainya perjalanan diri untuk menjadi manusia dewasa. Menurutku, sebenarnya perjalanan diri menuju dewasa itu tak akan pernah tiba di titik henti, karena setiap saat manusia akan terus berusaha mengatasi sikap-sikap kekurangannya. Karena itu, tak salah jika dikatakan bahwa perjalanan itu kemudian akan menjadi begitu menantang; menantangmu untuk betul-betul menjadi pribadi mandiri dalam membaca segala gelagat dunia, di tengah perubahan-perubahan diri yang kau alami dan mulai terbitnya pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang pada tingkat tertentu dapat mengombang-ambingkan pikiran dan perasaanmu.

Elva sayang. Memang aku percaya bahwa perjalananmu untuk menjadi pribadi mandiri tak akan sepenuhnya kau lalui sendiri. Aku tak akan membiarkanmu sendiri. Aku masih akan terus bersamamu. Doaku untuk kebahagiaanmu masih akan terus tulus kueja. Aku masih akan menjadi sahabatmu, mitramu, tempat kau berbagi bahagia dan lara. Pun, kelak kau juga akan bertemu dengan keping-dirimu; sosok yang akan menemani perjalanan hidupmu selanjutnya. Tapi satu hal, aku tak bisa henti bertanya: apakah bekal yang kuberikan buatmu sudah cukup memadai untuk perjalanan panjangmu? Apakah kau sudah cukup mengemasi peralatanmu untuk menghadapi tantangan dunia?

Elva sayang. Aku ingin menegaskan kepadamu bahwa bekal sederhana yang paling patut kau punya adalah semacam cermin. Aku sangat berharap kau dapat cukup sadar akan dirimu sendiri; kau betul-betul kenal dengan dirimu sendiri; kau dapat menjelaskan apa saja kelebihan dan potensi diri, selain juga kekurangan dan kelemahanmu; kau dapat merasakan kala kau berbuat sesuatu yang tak patut; kau dapat mengendus ketika egomu berusaha menguasai diri, ketika kau diam-diam berbohong pada dirimu sendiri—dan yang terpenting, kau mau mengakui semuanya. Cermin itu bukan untuk membuatmu narsis, tapi agar kau dapat lebih mudah menemukan permata dalam dirimu.

Aku teringat pelajaran-pelajaranku di awal kuliah dulu, sebuah pernyataan terkenal dari periode Yunani kuno: kenalilah dirimu sendiri (Gnothi se auton), yang menjadi dasar filsafat Sokrates. Menurut Sokrates, pengenalan diri bermanfaat untuk menghasilkan pengetahuan dan perilaku yang lebih baik, tepat, dan bijak. Dengan cermin yang kau punya, dengan menyelam ke relung-relung diri hingga ke palung terdalam, kau bahkan akan dapat menyingkap tirai diri yang kadang enggan kau akui, karena mungkin kau melihat itu sebagai semacam kekurangan yang tak mengenakkan. Berbagai segi negatif semacam itu, Elva sayang, bukannya harus kau tampik dan kau abaikan. Karena jika begitu, bisa jadi kau justru membiarkan si pengkritik-diri atau sisi gelapmu itu menguasai kesadaranmu. Jika mereka duduk bertakhta, kau akan kehilangan tenaga. Kau harus dapat mengelolanya, sebagai bagian dari perjalanan menuju ke kedewasaanmu.

Menurut para ilmuwan, kala seseorang menginjak remaja, ia akan lebih banyak menggunakan amigdala daripada korteks dalam otaknya untuk memproses informasi. Konon, amigdala ini lebih berkaitan dengan emosi dan insting; sedang korteks lebih pada kerja-kerja berpikir, bernalar, dan menyusun rencana ke depan. Pada masa itu emosimu akan cukup labil, mudah terombang-ambing, ketimbang fase lain dalam hidupmu. Tapi jika kau berhasil mengidentifikasi batas-batas kepantasan dari sikap dan perilaku yang kau lakukan, yang itu kau dapatkan setelah kau berhasil menyusun berbagai keping diri dalam dirimu secara lebih utuh, insya Allah kau akan dapat lebih mudah untuk berbenah. Kau akan lebih berpikiran dingin dan jernih mendengarkan kritik, dan menyikapi cercaan dan tindakan kasar tidak dengan dendam.

Tapi aku juga mesti mengingatkan, bahwa kau tak boleh sepenuhnya mengenyahkan bilik perasaan dalam dirimu. Perasaan, emosi, jika ditempatkan dan disikapi secara wajar dan benar, itu akan bernilai penting, untuk membuatmu berbagi haru dan empati, menanamkan sikap peduli, dan mengikis sikap apatis. Jangan sampai kau mengarungi perjalanan hidupmu hanya dengan nalar, tanpa sentuhan lembut perasaan. Aspek emosi dalam diri itu akan ikut menegaskan segi-segi manusiawimu, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Elvaku sayang. Aku berharap kelak, terutama di masa remajamu, kau akan suka menuliskan catatan harianmu, tapak-tapak kecilmu, di bukumu. Aku ingin di situ kau melakukan semacam solilokui, bertukar pikiran dengan cermin-diri, berbagi perasaan, kegundahan dan kebahagiaan dalam beragam ekspresi. Aku tahu bahwa di situ kau kadang akan menjumpai kesunyian. Tapi sunyi dalam solilokui adalah hening yang akan mengantarkanmu pada bening. Hening, yang akan memendarkan cahaya permatamu. Hening, yang akan mengingatkanmu untuk menghargai dan mensyukuri hidupmu. Masih ingatkah kau Elva, saat kuceritakan, bahwa ibumu tak menamaimu dengan bunga, bukan hanya karena bunga indah pun bahkan ada yang beracun, tapi karena dengan namamu ibumu ingin mengingatkanmu (dan mendoakanmu) tentang hal itu, bahwa hidupmu adalah beribu anugerah?

Elva sayang. Cinta terlalu luas, horison harapan nyaris tak berbatas. Hidup di zaman yang begitu bergegas ini membuatku tak menemukan wadah yang cukup lapang untuk menampung semua cinta dan harapan. Kadang aku gamang menyaksikan akan betapa beratnya deraan hidup, yang mungkin juga akan menamparmu, sementara kita kadang mengalami kesulitan untuk mengarifi hidup yang cuma sekali ini. Harapku, semoga aku telah dan akan dapat memberimu dunia kecil yang tak terlalu buruk—juga orang-orang di sekitarmu—yang bisa memberimu kehangatan dan perasaan damai, memberimu ruang dan kesempatan memperbaiki diri, tempat pikiran-pikiran dapat dipertemukan di satu ruang bijak bercahaya benderang, tempat harapan, keinginan, perasaan, dan pencarian diri-yang-autentik diberi layaknya penghargaan; dan semoga itu semua cukup menguatkanmu untuk menghadapi dunia.

Elva sayang. Penghargaan terhadap hidup serta sikap hidup dan komitmen yang menyertainya kupikir akan dapat menjadi modal berharga untuk melepasmu bergaul dengan dunia. Tentu nanti kau akan berhadapan dengan berbagai situasi konkret yang akan menuntutmu untuk berpikir jernih beribu kali, untuk menemukan sikap dan jalan keluar yang dewasa. Insya Allah, jika kau dapat bersikap jujur pada dirimu, terlatih berpikiran jernih, mengenali dirimu seutuhnya, kau akan lebih mudah membuat keputusan dan tak selalu jatuh dalam bimbang. Dan di setiap tangga, kukira kau harus terus berefleksi tentang apa yang telah kau lalui. Bukankah kau masih ingat salah satu ungkapan bijak kesukaanku, yang menyatakan bahwa hidup tanpa refleksi adalah hidup yang tak layak dijalani?

Elva sayang. Selamat menempuh garis perjalanan hidupmu. Semoga Tuhan selalu memberimu kebahagiaan.

Read More..

Minggu, 18 September 2005

Kisah Tragis Korban Kekerasan Anak

Judul buku : 24 Wajah Billy
Penulis : Daniel Keyes
Penerbit : Qanita, Bandung
Cetakan : Pertama, Juli 2005
Tebal : 700 halaman


Dalam masyarakat kita, anak masih sering cenderung dipandang sebagai milik orangtua, sehingga di satu sisi tindakan kekerasan terhadap anak seperti mendapat permakluman dan toleransi serta dipandang sebagai bagian dari pendidikan yang memang merupakan kewajiban orangtua. Selain itu, tindakan kekerasan terhadap anak secara umum juga lebih dipandang sebagai masalah internal keluarga, sehingga relatif menjadi tabu untuk dibicarakan secara lebih terbuka.

Padahal, kita tentu akan sepakat bahwa anak sebenarnya juga memiliki hak untuk dapat menikmati suasana hangat dalam keluarga, sehingga ia dapat mengembangkan potensi dirinya secara lebih sempurna. Kesadaran tentang hak-hak anak dan efek buruk kekerasan terhadap anak masih menjadi sesuatu yang cukup langka di masyarakat kita. Bentakan, tamparan, pengurungan, ataupun penelantaran (neglect), dipandang dalam kerangka pendisiplinan anak.

Novel karya Daniel Keyes yang berkisah tentang perjalanan hidup William S. Milligan ini secara tidak langsung mempertegas kepada kita betapa tindakan kekerasan terhadap anak dapat melahirkan tragedi berkepanjangan yang tidak sederhana. Akibat serangkaian trauma masa kecil dan kekerasan yang ia alami sejak anak-anak hingga remaja, Billy, demikian dia akrab dipanggil, mengidap kepribadian majemuk (dissosiative identity disorder). Gangguan kejiwaan yang diderita Billy yang mirip skizofrenia dan ditandai dengan gejala amnesia ini terungkap setelah ia ditahan atas tuduhan serangkaian pemerkosaan di kampus Ohio State University pada Oktober 1977. Sebelum menjalani proses pengadilan, sejumlah psikiater terkemuka menyatakan kondisi Billy yang berkepribadian majemuk itu, sehingga ia dipandang tidak layak menjalani proses persidangan. Setelah dirawat di RS Harding selama sembilan bulan, Billy divonis tak bersalah karena dinilai tidak waras.

Penyingkapan sosok-sosok pribadi yang tinggal dalam diri Billy, yang kesemuanya berjumlah 24 kepribadian, terjadi setelah ia dirawat secara baik oleh Dr. David Caul di Athens Mental Health Center. Di situlah “Sang Guru”, yang merupakan fusi dari seluruh sosok pribadi Billy, bercerita tentang suka duka perjalanan hidup Billy, tentang bagaimana seluruh kepribadian itu lahir satu-persatu. Di bagian inilah para pembaca awam akan dapat lebih mudah memahami mengapa kepribadian majemuk itu mungkin terjadi pada diri seseorang.

Riwayat keluarga Billy memang cukup rumit. Ayah kandungnya bunuh diri saat ia balita. Di tengah keterjepitan kehidupan ekonomi keluarganya, ibunya sempat rujuk dengan mantan suaminya, Dick Jonas, meski tak bertahan lama. Kehadiran ayah tiri lainnya yang baru, Chalmer, ternyata semakin memperburuk beban psikologis Billy. Chalmer tidak hanya suka membentak Billy dan ibunya, tetapi juga beberapa kali melakukan pelecehan seksual dan penyiksaan fisik kepada Billy. Bayang-bayang trauma dan ketakutan yang sangat terhadap perlakuan Chalmer inilah yang sepertinya banyak menjadi latar kemunculan sosok-sosok pribadi yang lain dalam diri Billy. Dapat ditegaskan bahwa pribadi-pribadi tersebut muncul sebagai reaksi atas trauma dan situasi tertekan yang bersifat kronis yang dihadapi Billy. Mereka “diciptakan” sebagai mekanisme pertahanan diri, dengan membangkitkan satu sisi tertentu dari diri Billy untuk menghadapi situasi yang tak tertanggungkan.

Terapi yang dijalani Billy setelah ia diputus tak bersalah dan upayanya untuk hidup sebagai orang normal memang tak berjalan mulus. Beberapa pemberitaan media yang cenderung menyudutkan Billy dan keterlibatan berbagai pihak menanggapi kasus yang sangat menggemparkan itu, baik pengacara, hakim, polisi, politisi, dokter, hingga petugas medis, cukup mengganggu proses terapi sehingga Sang Guru sempat menghilang. Padahal, kehadiran Sang Guru untuk memediasi dialog di antara sosok-sosok pribadi itu, untuk kemudian saling mengenal, berkomunikasi, dan saling membantu memecahkan masalah masing-masing, sangatlah diperlukan.

Bagian akhir novel yang edisi bahasa Inggrisnya terbit tahun 1982 ini berkisah tentang bagaimana Billy harus dirawat di tiga rumah sakit berpenjagaan maksimum selama dua setengah tahun, termasuk RS Lima, yang sempat membuat Billy cukup tertekan, hingga akhirnya kembali ditangani Dr. Caul di Athens. Selanjutnya, menurut Ensiklopedi Wikipedia, Billy bebas pada 1988 dan kini tinggal di California, memiliki Stormy Life Productions dan membuat film. Meski hingga kini masih berkepribadian majemuk, dia sempat menjadi penyelia dalam pembuatan film tentang kisah hidupnya sendiri, The Crowded Room, yang disutradarai Joel Schumacher.

Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Billy ini. Selain melengkapi novel-novel populer berlatar pribadi yang memiliki masalah mental yang belakangan cukup banyak terbit dan mendapat respons positif, termasuk novel Sybil karya Flora Rheta Schreiber yang berkisah tentang gadis dengan 16 kepribadian dan edisi bahasa Indonesianya hingga kini telah cetak ulang dua belas kali, secara khusus novel ini sekali lagi semakin mempertegas tentang efek buruk kekerasan terhadap anak. Meski bukan penyebab langsung, hampir semua penderita kepribadian majemuk memiliki riwayat kekerasan di masa kecilnya, seperti yang dialami Billy, yang dituturkan dengan sangat baik dan cukup detail oleh Keyes dalam buku ini.

Kekerasan terhadap anak itu sendiri sebenarnya masih menjadi persoalan yang cukup akut. Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur misalnya mengungkapkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak yang diungkap di media Jawa Timur sepanjang 2002 ada 210 kasus (Kompas, 24/04/2003). Sementara itu, Kak Seto Mulyadi, Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak, memaparkan bahwa di banyak tempat dan forum pertemuan dengan para orangtua, diperkirakan 50-60 persen orangtua mengaku melakukan child abuse dalam berbagai bentuk (Kompas, 09/01/2003).

Ditambah lagi dengan pola perlakuan yang kurang bijak terhadap anak yang menderita keterbelakangan mental atau bermasalah. Bukannya dihadapi dengan kesabaran ekstra dan lebih telaten, mereka kadang dieksploitasi, ditelantarkan, dan atau dibatasi ruang geraknya. Dalam kasus Billy misalnya, dia sering merasa dipersalahkan atas sejumlah perilakunya di rumah, baik oleh ayah tiri maupun ibunya, sehingga merasa betul-betul tersudut, kehilangan sosok pelindung, rasa nyaman, dan kehangatan di keluarga, hingga bahkan tak dapat mengenali dan mendefinisikan identitas dirinya secara utuh.

Karya yang disusun atas dasar wawancara dengan sosok Sang Guru dan puluhan narasumber lainnya ini tidak saja mengajak kita untuk berbagi haru dan empati, tapi juga untuk mencoba memulai berbuat sesuatu yang lebih konkret untuk masa depan kehidupan anak-anak kita yang lebih baik. Dibutuhkan ruang-ruang sosial yang cukup kondusif dan bebas dari teror kekerasan, di tingkat keluarga maupun yang lebih luas, agar proses pengenalan diri dan penggalian potensi anak dapat benar-benar mengantarkannya kepada titik yang lebih utuh dan manusiawi.


Read More..

Rabu, 31 Agustus 2005

Gelar Palsu dan Sistem Sosial yang Sakit

Meski desas-desus maraknya gelar akademik palsu telah cukup lama berkembang, baru belakangan kasus ini mencuat ke permukaan, di saat terbongkarnya aktivitas Institut Manajemen Global Indonesia (IMGI) yang berafiliasi dengan perguruan tinggi ilegal Northern California Global University (NCGU). IMGI, yang memiliki 53 cabang di berbagai daerah di Indonesia, dilaporkan telah mencetak sekitar sembilan ribu lulusan dengan berbagai gelar, mulai dari PhD, MBA, MSc, bahkan profesor, dengan membayar sejumlah biaya tertentu.

Ada apa sebenarnya di balik fenomena ini? Apakah ini menunjukkan gairah dan ketertarikan masyarakat pada dunia pendidikan, atau justru sebaliknya, cara pandang yang sakit pada makna pendidikan atau gelar akademik dalam tatanan masyarakat kita? Kasus ini mungkin hanya semacam puncak gunung es dari realitas yang lebih kompleks, yang semakin membuat kita bertanya-tanya tentang dunia pendidikan dan capaian kemajuan masyarakat kita.

Pertama sekali, dalam konteks ini, mungkin akan cukup menarik jika kita mengundang seorang tokoh yang dikenal lantang mengkritik institusi sekolah, yang terkenal dengan karyanya berjudul Deschooling Society (1971), yakni Ivan Illich (1926-2002). Illich mengkritik keras dengan menyatakan bahwa sekolah selama ini hanya menjadi pelayan kapitalisme. Sekolah tidak mengembangkan semangat belajar, menanamkan kecintaan pada ilmu, atau mengajarkan keadilan. Sekolah lebih menekankan pengajaran menurut kurikulum yang telah dipaket demi memperoleh sertifikat—selembar bukti untuk mendapatkan legitimasi bagi individu untuk memainkan perannya dalam pasar kerja yang tersedia.

Bila dibawa ke dalam konteks Indonesia masa kini, mungkin kritik pedas Illich akan terkesan ekstrem. Tapi hal yang sangat jelas dari kritik Illich adalah berkuasanya sekolah sebagai satu-satunya institusi yang mempunyai otoritas untuk memberi legitimasi tingkat pendidikan seseorang. Situasi semacam ini, pada titik tertentu, seperti mungkin yang terjadi di negeri kita saat ini, membuat masyarakat menjadi lebih menghargai gelar akademik ketimbang prestasi atau kompetensi. Sementara orang-orang yang cukup memiliki gelar atau sertifikat akademik tertentu dapat lebih mudah memiliki akses pekerjaan dan partisipasi dalam sistem sosial, mereka yang memiliki prestasi nyata dan kompetensi unik akan menghadapi hambatan teknis yang lebih untuk berkembang dan berkiprah.

Memang benar bahwa sistem sosial kita membutuhkan sebuah sistem atau patokan untuk mengukur kapabilitas seseorang untuk masuk di dunia kerja atau berpartisipasi lebih jauh dalam sistem sosial masyarakat. Akan tetapi, ketika sistem dan patokan yang dibuat menjadi begitu formal dan kaku, yang itu berarti mempersempit ruang gerak mereka yang punya kompetensi tapi tanpa legitimasi formal, maka yang terjadi adalah, meminjam istilah Ignas Kleden (1988: xxx), semacam klerikalisasi. Istilah ini ingin menunjukkan bahwa sejauh ini proses-proses pendidikan tidak mengarah pada pembentukan kelompok masyarakat terdidik yang dapat berperan secara produktif bagi perkembangan kehidupan peradaban bangsa. Pendidikan lebih menjadi panggung penobatan gelar-gelar akademik, untuk kemudian para lulusannya berpartisipasi secara luas dalam birokrasi.

Tak berlebihan kiranya untuk mengaitkan produk dunia pendidikan kita dengan birokrasi; karena sejauh menyangkut fenomena gelar palsu ini, kalangan birokrat, juga kalangan elite sosial masyarakat, terbukti cukup meminati gelar-gelar akademik—terlepas itu diperoleh secara sungguh-sungguh, palsu, atau setengah palsu—yang mungkin saja terasa menambah bobot kewibawaan dan prestise sosial mereka.

Dari sini tampak jelas betapa gelar akademik sebagai bagian dari produk pendidikan ternyata berada dalam status feodal baru—sesuatu yang sebenarnya cukup berseberangan dengan cita-cita pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang semestinya dapat membawa masyarakat untuk terus mentradisikan pola pikir yang jernih, proporsional, dan mengedepankan nilai objektif, justru terjebak dalam simbolisme gelar yang dangkal.

Carut-marut yang berada di balik fenomena gelar palsu ini menggugah kita untuk mempertanyakan kembali peran dunia pendidikan untuk membawa masyarakat ke capaian dan tatanan sosial yang lebih baik dan sehat. Tentu saja jalan keluarnya tidak hanya harus dilakukan dari jalur pembenahan dunia pendidikan itu sendiri. Di satu sisi, dalam konteks gelar palsu dan status simbolik/feodalisme produk pendidikan, ada dimensi kultural yang patut dipertimbangkan. Ini semakin menegaskan perlunya pendekatan-pendekatan atau strategi (kebijakan) pendidikan yang lebih integratif dengan tatanan budaya masyarakat. Bagaimanapun, sulit ditampik bahwa dalam pengertian tertentu fenomena gelar palsu ini juga menunjukkan raibnya aspek nilai dalam proses-proses pendidikan kita; pendidikan cenderung terlepas dari agenda besar bangsa untuk menuju masyarakat yang lebih beradab, dengan terlalu mengaitkan pendidikan dengan dunia kerja.

Di samping itu, tentu ada pula faktor-faktor objektif yang berkait dengan kebijakan tertentu dalam tatanan sosial masyarakat kita, untuk memberi ruang partisipasi yang terbuka bagi mereka yang tak memiliki label atau legitimasi formal (gelar). Bagaimanapun juga ini harus terus dipikirkan dan dicarikan jalan keluar, baik untuk memperluas partisipasi masyarakat maupun untuk mempromosikan cara pandang yang lebih objektif dalam menghargai talenta dan potensi setiap individu dalam masyarakat.

Dengan perbaikan yang lebih menyeluruh dan mendalam kita dapat berharap bahwa dunia pendidikan kita akan benar-benar dapat mengantarkan masyarakat ke titik kemajuan peradaban yang lebih manusiawi.


Tulisan ini dimuat di Radar Madura, 27 Oktober 2008.

Read More..

Jumat, 26 Agustus 2005

Derrida, Dekonstruksi, dan Ironi Kebenaran

Judul Buku : Derrida
Penulis : Muhammad Al-Fayyadl
Pengantar : Goenawan Mohamad
Penerbit : LKiS
Cetakan : Pertama, Agustus 2005
Tebal : xxx + 244 halaman

9 Oktober 2004, seorang filsuf terkemuka dari Prancis meninggalkan kita semua. Namanya telah begitu mendunia: Jacques Derrida. Salah satu konsep kunci yang diperkenalkannya ke dalam khazanah filsafat, “dekonstruksi”, telah begitu sering dikutip dalam berbagai forum dan media oleh berbagai kalangan, terutama untuk menggambarkan semangat perlawanan dan sikap anti-kemapanan. Dekonstruksi juga diyakini sebagai semacam jimat pembebasan yang cukup ampuh untuk menghadapi klaim-klaim kebenaran yang dibangun atas dasar arogansi.

Buku ini hadir ke khalayak Indonesia untuk mengundang para pembacanya berbagi kegelisahan dan keprihatinan seperti yang telah digeluti Derrida selama ini, sebagaimana tergambar dalam filsafat dan pemikirannya. Dalam karya ini Derrida hadir sebagai sebuah nama yang merepresentasikan salah satu gugus pemikiran alternatif, di tengah situasi dunia yang cenderung tak menoleransi yang lain, the Other, dan mengarahkan semuanya ke pusaran teleologi modernisme yang tunggal dan seragam.

Di antara simpul-simpul pemikiran Derrida yang mewartakan pembebasan, sikap rendah hati, dan penghargaan atas yang lain itu, terdapat butir-butir pemikiran filosofis yang sebenarnya sangatlah canggih membedah, tajam berargumen, cermat menelisik, dan kadang cukup rumit. Meski demikian, yang menarik dari karya ini adalah bahwa ia dapat bertutur dengan cukup bernas dan mengalir tentang bagaimana Derrida menyampaikan dan membangun argumen menyangkut sejumlah persoalan filosofis yang didiskusikannya itu.

Empat bab dalam buku ini secara berkesinambungan memberikan gambaran yang jernih dan utuh tentang dasar-dasar kritik dan keberatan Derrida atas strukturalisme yang kemudian mengantarkan Derrida pada bangunan filsafat yang dikembangkannya, yang banyak bertumpu pada strategi dekonstruksi, serta tentang bagaimana dekonstruksi itu sendiri membawa pada sejumlah konsekuensi di berbagai wilayah kehidupan.

Garis besar kritik Derrida atas tradisi filsafat Barat berpusat pada serangannya terhadap metafisika kehadiran (logosentrisme) yang begitu dominan. Namun demikian, uraian dalam buku ini tidak secara eksplisit masuk dari term metafisika kehadiran itu, melainkan dimulai dari kritik dan ketidakpuasan Derrida atas strukturalisme, pemikiran yang diilhami oleh Ferdinand de Saussure dan di tahun 1960-an berkembang serta begitu populer di Eropa. Bagi Derrida strukturalisme memang telah membukakan gerbang bagi penjelajahan intelektual yang dilakukannya; strukturalisme adalah pemikiran yang menyingkirkan subjek sebagai pusat wacana dengan menekankan pada aspek struktural bahasa yang lebih bersifat objektif. Sayangnya, menurut Derrida, Saussure dengan strukturalismenya itu tak sepenuhnya berhasil mengelak dari logosentrisme; strukturalisme masih merindukan pusat dan selalu ingin bernostalgia dengan asal usul (origins, arché). Ini terlihat jelas dalam kecenderungan fonosentrisme strukturalisme, yang begitu memuja suara (phōnē), yang menjadi cerminan dari “kehadiran-diri” (self-presence) si penutur.

Melanjutkan strukturalisme yang mengarahkan fokus kupasan ke bahasa, Derrida meradikalkan makna teks, tulisan, dan metafor. Dalam hal ini Derrida menggunakan strategi dekonstruksi untuk melawan kecenderungan fondasionalisme dan pengacuan pada subjek atau asal usul tertentu, dan kemudian menggantikannya dengan intertekstualitas. Dengan dekonstruksi, yang dalam buku ini dijelaskan melalui komentar-komentar kritis Derrida atas filsuf-filsuf terkemuka semisal Nietzsche, Freud, Heidegger, dan Levinas, ditunjukkan bahwa makna sebuah teks selalu tertunda, berada dalam suatu usaha penataan dan khaos tiada henti, dan karena itu tak dapat mencapai titik makna yang utuh dan bulat. Secara positif, dekonstruksi menumbangkan hierarki konseptual yang menstruktur dalam teks dan menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi (tekstualitas laten) yang sebelumnya terbungkam.

Dengan demikian, dekonstruksi mengantar kita semua ke dalam suatu penjelajahan makna yang tak terbatas dan tak mencapai titik pungkas. Bukan suatu nihilisme, tetapi semacam parodi, atau ironi, tentang kebenaran, di tengah hasrat berlebih manusia untuk mencapai kepenuhan makna.

Di tengah masih cukup langkanya karya tulis yang mengupas segi-segi pemikiran konseptual yang dituturkan dengan jernih, tajam, dan kontekstual di Indonesia, tak heran jika Goenawan Mohamad memuji karya ini sebagai “sumbangan yang amat berharga dalam khazanah penulisan filsafat dalam bahasa kita”. Fayyadl, penulis buku ini, dengan sangat fasih dan penuh empati membawa kita ke titik-titik penting pemikiran Derrida, untuk bersama-sama terus menyadari betapa wajah kebenaran itu relatif, dan karena itu kita harus selalu rendah hati dalam mengungkapkan setiap nilai kebenaran yang kita temukan.

Read More..

Kamis, 11 Agustus 2005

Tradisi Membaca di Kalangan Masyarakat Madura

Membaca: Lokomotif Peradaban

Saya berasal dari sebuah negeri yang resminya sudah bebas buta huruf, namun yang bisa dipastikan masyarakatnya sebagian besar belum membaca secara benar—yakni membaca untuk memberi makna dan meningkatkan nilai kehidupannya. Masyarakat kami adalah masyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat, membaca untuk harga-harga, membaca untuk melihat lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepakbola, membaca karena ingin tahu berapa persen discount obral di pusat perbelanjaan, dan akhirnya membaca sub-title opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekadar hiburan.1


Demikianlah curhat yang disampaikan Seno Gumira Ajidarma saat berpidato dalam penerimaan South East Asia (SEA) Write Award 1997. Seno bertanya perihal keberadaan dan aktivitasnya saat itu; apakah ada gunanya menjadi penulis dalam masyarakat semacam itu—dalam masyarakat yang Seno sebut “masyarakat tidak membaca”?


Secara implisit, dalam pidatonya itu Seno mengeluhkan belum kokohnya tradisi membaca “yang benar” dalam masyarakat Indonesia. Membaca masih diletakkan dalam kerangka aktivitas yang teramat sederhana, dalam fungsi-fungsi praktis sehari-hari yang nilai manfaatnya kurang berjangka panjang. Padahal, nilai guna membaca, jika sudah mentradisi, akan memberikan dampak yang mendalam baik bagi perkembangan masyarakat pada umumnya, dan secara lebih spesifik, pada peningkatan mutu (kehidupan) manusia dalam pengertian yang lebih utuh, dalam konteks agenda pemberdayaan pendidikan sebagai bagian dari kerja-kerja pembangunan kebudayaan.


Sungguh tak berlebihan jika dinyatakan bahwa tradisi membaca (termasuk tradisi menulis) juga turut memberikan sumbangan yang cukup signifikan bagi berkembangnya peradaban modern. Renaisans Eropa, yang merupakan cikal-bakal peradaban modern, antara lain didukung oleh tiga penemuan penting kala itu: kompas, mesiu, dan mesin cetak.2 Kompas memungkinkan orang untuk bertualang ke pelbagai penjuru dunia; mesiu menjadi piranti penting untuk menaklukkan suku atau bangsa lain—sehingga dimulailah periode kolonialisme bangsa Eropa; sementara mesin cetak memicu terjadinya “deklerikalisasi ilmu pengetahuan, di mana ilmu pengetahuan yang tadinya hanya merupakan monopoli kaum clerus (yaitu mereka yang menerima tahbisan dalam gereja) kemudian dapat dikuasai dan dinikmati oleh semua golongan lain yang berkepentingan dengannya”.3


Adalah seorang Jerman bernama Johannes Gutenberg (lahir sekitar tahun 1400 dan meninggal pada 1468) yang pada tahun 1450 menemukan mesin cetak.4 Mesin cetak ini telah benar-benar mengantarkan Eropa saat itu pada gerbang kebudayaan yang lebih maju, sehingga dalam sejarah peradaban Eropa momen penemuan mesin cetak itu populer disebut Revolusi Gutenberg.


Mengapa penemuan mesin cetak menjadi begitu revolusioner? Sebagaimana disebut di atas, mesin cetak telah memungkinkan terjadinya deklerikalisasi ilmu, massifikasi sumber-sumber pengetahuan yang sebelumnya hanya didominasi oleh para pemuka agama. Masyarakat kebanyakan kemudian memperoleh akses yang cukup terhadap sumber-sumber pengetahuan. Produk mesin cetak yang berupa buku atau yang semacamnya itu pada gilirannya membuka kesempatan yang lebar bagi potensi-potensi kemanusiaan di level yang bersifat massif untuk menemukan ruang kreatifnya. Dengan tertuangnya butir-butir pengetahuan dalam bentuk buku, yang kemudian dikonsumsi relatif secara lebih luas di masyarakat, tercipta kesempatan untuk lebih mengaktifkan kesadaran, analisis logis, dan pola pemaparan sebuah persoalan secara lebih analitis dan panjang.


Melalui buku, pernyataan-pernyataan dan wacana dapat dikaji ulang dan diperkarakan secara lebih kritis, rinci dan meyakinkan. Akibatnya muncul pula peluang untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran menjadi sistem gagasan yang luas dan mendalam. Dalam budaya lisan hal ini sulit untuk dilakukan, oleh sebab kalimat-kalimat hanya didengar dan diingat. Sedang ingatan tak pernah cukup mampu merekam kalimat-kalimat panjang, apalagi mudah lupa. Dalam alam modern menulis dan membaca, lalu, berfungsi bagai bahan bakar yang menghidupkan dan menjalankan mesin kesadaran, atau bagai air yang menyuburkan pemikiran.5


Tentu saja, dalam perjalanannya kemudian, peradaban Eropa yang salah satunya didukung oleh tradisi membaca (dan menulis) itu kemudian mengalami lika-liku dan pasang surutnya sendiri, baik dalam konteks tradisi baca-tulis itu sendiri, maupun dalam hal berbagai implikasi budaya yang ditimbulkannya.


Dalam ruang lingkup yang lebih sederhana, “keterampilan” membaca merupakan salah satu bentuk keterampilan dalam belajar, selain misalnya keterampilan menyimak, mencatat, dan menulis. Belajar dalam hal ini berkaitan dengan setidaknya kegiatan menghimpun pengetahuan teoretis maupun praktis. Dimensi teoretis yang dimaksudkan di sini, selain dimensi praktis yang sangat erat dengan aktivitas dan kebutuhan hidup sehari-hari, menyangkut belajar dalam arti pencarian manusia terhadap sesuatu yang berkaitan dengan nilai-nilai dan hal-hal yang berada di luar jangkauan pencerapan indera. Dalam pengertian ini, membaca kemudian menjadi semacam “sumber atau sumur inspirasi yang membuat atau mendorong orang terus merindukan kebaruan makna”.6


Masyarakat Tidak Membaca


Ada kejahatan yang lebih buruk dari membakar buku.
Salah satunya ialah tidak membaca buku.
Joseph Alexandrovitch Brodsky (1940-1996)


Tapi benarkah masyarakat Indonesia pada umumnya memang merupakan masyarakat tidak membaca, sebuah masyarakat yang seperti dikeluhkan Seno hanya membaca dalam pengertian yang “dangkal”? Ditilik dari sejarah, tradisi membaca itu sendiri pada mulanya memang bersifat elitis, dikuasai oleh para pemuka agama. Seperti sudah disinggung sebelumnya, penemuan mesin cetak telah membalik eksklusivitas sumber pengetahuan dengan terbukanya akses bagi masyarakat kebanyakan terhadap sumber-sumber ilmu. Begitulah yang terjadi di Eropa.


Sejarah perkembangan kebudayaan di Indonesia juga kurang lebih sejajar. Tradisi baca-tulis yang sudah cukup lama dikenal di Nusantara mula-mula merupakan bagian dari kehidupan istana. Dengan kata lain, semacam elitisme. Tradisi membaca dan menulis identik dengan para pujangga istana. Sayangnya, menurut pengamatan Ignas Kleden, tradisi baca-tulis, atau lebih umumnya lagi, pendidikan, di Indonesia, tidak seperti di Barat, tidak berhasil menciptakan demokratisasi pendidikan dengan terdesaknya kekuatan-kekuatan feodal oleh “borjuasi” baru yang terbentuk dari basis tradisi baca-tulis (pendidikan) tersebut. Justru kaum terdidik di Indonesia, yang terbentuk oleh kebijakan-kebijakan kolonial (politik etis) Belanda, masuk dalam kategori status feodal yang lain.


Yang ironis ialah bahwa sementara perluasan baca-tulis di Barat telah mengakibatkan deklerikalisasi ilmu pengetahuan, maka perluasan baca-tulis di Indonesia justru memperkuat proses klerikalisasi, di mana orang-orang berilmu diresmikan dengan gelar-gelar akademis dan kemudian berpartisipasi secara luas dalam birokrasi, tetapi tidak langsung terlibat dalam kerja dan proses-proses yang bersifat produktif.7


Salah satu wujud dari kecenderungan proses klerikalisasi ini dapat dilihat dalam maraknya orang-orang yang berburu gelar akademis di berbagai lembaga pendidikan tinggi, terutama dari kalangan birokrat, dalam beberapa tahun terakhir ini, dengan maksud lebih untuk meningkatkan citra diri atau gengsi sosial dan juga untuk keperluan praktis (baca: kenaikan pangkat). Jika memang dimaksudkan sebagai tindakan untuk memperkaya wawasan pengetahuan, biasanya kemudian terlihat betapa terdapat kontradiksi antara pilihan tindakan orang tersebut dengan pandangan dan sikap kesehariannya yang masih belum cukup menghargai bahan kepustakaan sebagai sebentuk simbol dari etos keilmuan. Seiring dengan hal ini, masyarakat secara relatif cenderung lebih memberikan penghargaan dan apresiasi terhadap gelar-gelar akademik daripada terhadap keterampilan atau penguasaan pengetahuan.


Maka tak heran bila masyarakat Indonesia pada umumnya masih memandang buku sebagai sesuatu yang mewah. Bahkan di kalangan insan pendidikan pun, buku belum mendarah-daging untuk dilibatkan dalam proses-proses pembelajaran. Kegiatan membaca dan menulis dirasakan sebagai aktivitas elitis yang memberatkan baik oleh siswa atau guru di sekolah dan dianggap sebagai kegemaran sekelompok orang yang biasa disebut orang-orang serius, intelektual, dan pemikir.


Buku, dewasa ini, adalah seperti tokek; ia termasuk jenis makhluk yang terancam punah. Terutama di Indonesia, di sebuah masyarakat yang dengan cepat, bahkan langsung, bergerak dari suatu keadaan pra-literer ke dalam keadaan pasca-literer, dari suatu lingkungan yang tak pernah membaca ke dalam suatu lingkungan yang tak hendak membaca, di mana media televisi mengisi hampir, setidaknya dalam dugaan saya, 50% dari waktu senggang malam hari orang Indonesia yang berpendidikan sekolah menengah.

…Tetapi di Indonesia, telenovela dengan wajah-wajah yang rupawan, film silat dengan pukulan-pukulan yang ajaib, dan puluhan kuis yang tidak menginginkan kecerdasan, semuanya begitu gilang gemilang, dan orang-orang bisa duduk di depannya, bersama-sama, rukun dan terpukau. Lagipula di rumah kelas menengah kita, mana ada sebuah kamar yang menyediakan buku?8


Tak salah jika dikatakan bahwa kehadiran televisi telah semakin memerosotkan sisa-sisa kekuatan tradisi membaca masyarakat Indonesia. Kehadiran televisi, terutama dalam 10 tahun terakhir ini, memang telah benar-benar menjelma sebagai daya tarik tersendiri bagi masyarakat, dengan sajian sinetron dan telenovela, tayangan-tayangan misteri, infotainment, atau berbagai kuis dan reality show.9


Tentu saja yang berperan membentuk “masyarakat tidak membaca” di Indonesia bukan hanya proses sejarah dan tatanan budaya Indonesia saat ini. Faktor-faktor objektif menyangkut keberadaan industri perbukuan, peran pemerintah (termasuk regulasi yang berkaitan dengan dunia perbukuan), suasana pendidikan di sekolah, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan sebagainya, turut memiliki andil dalam soal ini.


Selain beberapa konteks makro Indonesia yang terjadi selama ini, sebagaimana diuraikan secara singkat di atas, benarkah tradisi membaca memang berakar pada minat baca yang rendah? Tidak adakah faktor lain yang ikut menentukan? Dalam paparan berikut ini, tulisan ini ingin lebih memfokuskan pembicaraan dalam konteks masyarakat Madura.


Madura dan Kemiskinan


..."kata orang, minat baca di Indonesia tergolong rendah. Apa itu betul? Mungkin saja tidak. Mungkin saja jawabannya terletak pada sulitnya akses terhadap buku dan mahalnya harga buku tersebut."


Demikian petikan dari mailing list 1001buku, sebuah kelompok diskusi di dunia maya (internet) yang merupakan jaringan relawan dan pengelola perpustakaan anak yang bertujuan mengantarkan lebih banyak buku pada belia yang kurang beruntung. Komunitas 1001buku didasari prinsip kerja sukarela (volunteerism) individu membantu komunitas, dan komunitas membantu komunitas.10 Kemunculan komunitas semacam ini antara lain didasari atas kesadaran bahwa aksesibilitas masyarakat terhadap buku masih relatif sulit sehingga yang perlu dilakukan adalah upaya-upaya untuk membuka akses buku bagi masyarakat.


Kurang lebih semacam inilah yang terjadi di Madura. Keterbatasan akses masyarakat terhadap buku11 dan belum menguatnya tradisi membaca di Madura setidaknya berkaitan dengan dua hal: tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat yang belum membaik seiring dengan belum mapannya kualitas dunia pendidikan dan kurang maksimalnya peranan pusat-pusat pendidikan dan pembelajaran di Madura yang diharapkan dapat memajukan tradisi membaca dalam masyarakat.


Hal yang pertama, aksesibilitas masyarakat terhadap buku (atau, dalam domain yang lebih luas, pendidikan) sangat berkait dengan soal kesejahteraan ekonomi masyarakat. Persentase penduduk miskin di Madura menurut data tahun 2001 berjumlah 844.541 jiwa atau 26,54%.12 Tentu saja penulis tidak ingin secara gegabah berkesimpulan bahwa ada korelasi yang cukup signifikan antara tingkat kemiskinan dan daya beli masyarakat terhadap buku atau minat baca—karena tradisi membaca di Madura juga berkait dengan belum kokohnya komunitas ilmiah, seperti akan disinggung di bagian lain dalam tulisan ini. Akan tetapi, yang ingin ditegaskan di sini adalah bahwa kemiskinan, sebagaimana dinyatakan oleh Amartya Sen, seorang intelektual India peraih Nobel Ekonomi 1998, memperkecil kemungkinan akses atau kemampuan seseorang untuk memperbaiki kualitas hidupnya (baik itu dalam soal pendidikan, pemenuhan gizi dan makanan, pekerjaan yang layak, kesehatan, juga partisipasi politik). Kemiskinan telah mengurangi “perangkat kapabilitas” (capability set) seseorang untuk dapat secara bebas membuat pilihan yang lebih baik guna mencapai suatu taraf hidup yang lebih sejahtera dan manusiawi.13


Salah satu contoh dampak yang jelas tentang bagaimana kemiskinan cenderung menutup akses masyarakat untuk mendapat kehidupan yang lebih baik, dalam konteks dunia pendidikan, terlihat dalam relatif tingginya persentase angka putus sekolah di tingkat SD pada tahun 1994 hingga 1998 (tingkat nasional). Tingkat pendaftaran di jenjang SD di periode itu dibanggakan, karena memang cukup tinggi, yakni sekitar 93,90% sampai 95,37%. Meski begitu, tingkat kelulusannya amat rendah (antara 26,39% sampai 30,57%), atau hanya sepertiga tingkat pendaftaran. Ini berarti dua pertiga anak-anak yang bersekolah di SD putus sekolah. Dalam analisis atas data tersebut, Dr. Francis Wahono SJ, yang dipresentasikan dalam sebuah seminar pendidikan di Yogyakarta tahun 2000 lalu, menegaskan penelitian dan pernyataan banyak orang bahwa ada kaitan erat antara beban ekonomi masyarakat dan kegiatan pendidikan. Jelasnya, lantaran kesulitan finansial, ujung-ujungnya adalah demi membantu ekonomi orangtua, anak-anak terpaksa memasuki pasar kerja yang keras kompetisinya.14


Dalam konteks inilah, keterpencilan anak usia sekolah dari pusat-pusat pendidikan yang diakibatkan oleh ketidakmampuan mereka untuk tetap bertahan di sebuah institusi pendidikan mendorong untuk semakin menjauhkan mereka dari tradisi membaca. Pandangan ini memang terkesan agak menyederhanakan persoalan. Tapi sulit dipungkiri bahwa di pusat-pusat pendidikan (formal) itulah, dengan segala keunggulan dan pelbagai persoalan yang dihadapinya, setidaknya di Madura, tradisi membaca diharapkan dapat disemaikan. Tatanan sosial masyarakat Madura masih belum cukup memungkinkan untuk, misalnya, memulai memupuk semangat baca dari level kecil di keluarga atau lingkungan masyarakat sebagai alternatif dari ketidakmampuan ekonomi masyarakat yang putus sekolah tersebut.


Sementara kemiskinan telah mempersempit akses masyarakat untuk lebih dekat dengan dunia pendidikan (formal) yang diharapkan dapat menghidupkan semangat minat dan tradisi membaca, lembaga pendidikan formal (baca: sekolah) di Indonesia selama ini masih diduga kuat tidak terlalu berperan signifikan dalam menumbuhkan minat baca. Dalam sebuah seminar bertajuk “Minat Baca dan Keluarga” yang digelar di Jakarta tahun lalu pada acara Pesta Buku Jakarta 2004 diungkap bahwa sekolah tidak selalu menumbuhkan minat baca siswa. Kondisi kualitas buku pelajaran yang memprihatinkan, padatnya kurikulum, dan metode pembelajaran yang menekankan penghafalan materi, semua itu justru malah “membunuh” minat membaca siswa. Riris K Toha-Sarumpaet, guru besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI yang menjadi salah satu pemateri dalam seminar itu, menyatakan bahwa kurikulum pendidikan yang ada sekarang cenderung mencekoki anak dengan materi sehingga ruang untuk menumbuhkan minat baca siswa menjadi menyempit.15


Peran Pesantren


Situasi semacam ini membuat upaya untuk menumbuhkan minat dan tradisi membaca di Madura menjadi semakin rumit. Akan tetapi, dengan mempertimbangkan bahwa dalam masyarakat Madura lembaga-lembaga pendidikan, baik yang formal maupun nonformal, lebih banyak terpusat dalam lembaga pondok pesantren (dan atau pendidikan formal keagamaan, baik itu Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, ataupun Madrasah Diniyah, yang biasanya juga berbasis pesantren),16 maka sebenarnya kita dapat berharap bahwa institusi pesantren dapat turut berperan lebih strategis dalam menumbuhkan minat baca masyarakat Madura.


Masyarakat Madura pada umumnya memang amatlah lekat dengan pesantren, sehingga tak berlebihan jika dikatakan bahwa hampir semua orang yang terlahir di Madura dalam hal dunia pendidikan bersentuhan langsung dengan pesantren. Persoalannya, dalam konteks minat baca, sejauh mana peranan pesantren selama ini dalam proses penyemaian tradisi tersebut? Apakah minat baca di kalangan pesantren itu sendiri sudah cukup baik?


Sejauh pengetahuan-terbatas penulis, belum ada sebuah penelitian serius yang mencoba mencermati institusi pesantren di Madura dalam hubungannya dengan penumbuhan minat baca masyarakat. Meski begitu, berdasarkan pengamatan penulis selama ini, ada beberapa hipotesis yang ingin disampaikan dalam uraian berikut.


Pertama, persoalan minat baca di kalangan pesantren sejauh ini masih belum terlalu menjadi suatu titik permasalahan yang cukup mendapat perhatian dari para pengelola pesantren itu sendiri. Jika diamati dari sisi internal mekanisme pendidikan di pesantren yang dipraktikkan di Madura, tradisi membaca memang kurang mendapat ruang. Salah satu metode pembelajaran khas pesantren dan yang cukup banyak dipergunakan adalah metode wetonan atau bandongan, atau sistem ceramah. Kiai membacakan sebuah kitab di hadapan sejumlah besar santri, sementara santri mendengarkan dan mencatat. Metode musyawarah belum cukup banyak dipraktikkan di pesantren di Madura.


Sementara itu, sejauh menyangkut perpustakaan, atas pengamatan selintas penulis, kita mengetahui bahwa belum banyak—untuk tidak mengatakan belum ada—pesantren yang memiliki fasilitas perpustakaan yang cukup memadai. Perpustakaan terkesan hanya menjadi semacam pelengkap dalam tatanan institusi pendidikan di pesantren.


Sepertinya, secara umum dapat dikatakan bahwa kemunculan perpustakaan secara lebih mapan di sebuah pesantren, khususnya di Madura, lebih banyak karena didorong oleh masuknya sistem pendidikan formal yang disponsori negara (baca: Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional) ke dalam sistem pendidikan pesantren. Seiring dengan mulai kokohnya berbagai khazanah pengetahuan “baru” di pesantren (yang oleh orang-orang pesantren kebanyakan lazim disebut “ilmu umum”), maka kebutuhan akan bacaan-bacaan “ilmu umum” pun menjadi semakin meningkat, sehingga perpustakaan di pesantren mulai bermunculan.


Nah, dalam perkembangan selanjutnya, perpustakaan-perpustakaan di pesantren, baik yang berbasis kepada sistem pendidikan formal maupun perpustakaan yang dikelola pesantren itu sendiri, kurang mendapatkan perhatian yang signifikan. Memang bisa saja alasannya ada beberapa kemungkinan. Bisa karena anggaran untuk pengembangan perpustakaan di pesantren atau lembaga pendidikan di pesantren itu terbatas; sementara ada kebutuhan lain yang lebih mendesak di pesantren. Atau bisa karena memang perhatian yang kurang terhadap pengembangan perpustakaan itu sendiri. Terhadap beberapa kemungkinan ini, penulis lebih cenderung berkesimpulan bahwa yang lebih dominan adalah yang kedua, bahwa perpustakaan memang kurang begitu diperhatikan, karena walau bagaimanapun, jika perhatian terhadap perpustakaan itu tinggi, atas dasar kesadaran bahwa investasi pengembangan minat baca pada dasarnya merupakan sebuah langkah strategis yang akan sangat berguna, maka yang terjadi tentu akan lain.


Walaupun begitu, dalam situasi kurang diperhatikannya perpustakaan di pesantren, minat baca santri bukan berarti rendah. Seperti sudah ditegaskan sebelumnya, minat baca juga cukup turut dipengaruhi oleh keterbatasan akses. Beberapa pengalaman pribadi penulis menunjukkan bagaimana sebenarnya minat membaca santri (atau masyarakat Madura pada umumnya) sebenarnya tidaklah seburuk yang diduga, ketika, misalnya diberikan akses ke bahan kepustakaan yang tepat.17 Demikian pula, seiring dengan semakin mudahnya akses informasi dan komunikasi, komunitas santri di pesantren-pesantren di Madura pun menjadi relatif semakin lebih mudah mengakses bahan-bahan bacaan di luar sistem atau perpustakaan di pesantren itu sendiri.


Jika perpustakaan di pesantren kurang mendapat dukungan kebijakan dari pihak pengelola pesantren (baca: kiai), kira-kira apa yang melatarinya? Persoalan ini adalah poin kedua yang ingin dipaparkan di bagian ini. Menurut dugaan penulis, setidaknya ada dua hal yang membuat pihak pengelola pesantren kurang memberi perhatian pada pemberdayaan fasilitas perpustakaan (dan minat baca).


Pertama, penulis menduga kuat bahwa pihak pengelola pesantren memiliki pandangan yang kurang “bersahabat” dengan “huruf Latin”; sementara perpustakaan secara umum lebih identik dengan buku-buku berhuruf Latin. Kita telah mafhum bahwa pesantren adalah institusi yang lebih berkonsentrasi pada pengembangan ilmu-ilmu keagamaan yang terutama berbasis kitab kuning dan menggunakan bahasa Arab. Di kalangan pesantren sendiri, bahasa Arab diposisikan secara relatif “agak suci”, karena bahasa Arab adalah bahasa al-Qur’an. Sementara itu, huruf Latin dipandang, meski tidak secara eksplisit, membawa pengetahuan dan sistem epistemologi yang bersifat “asing” dan pada titik tertentu dapat mengancam keutuhan warisan pengetahuan berbasis huruf Arab. Mungkin pula ada semacam sisa-sisa stigma negatif, bahwa huruf Latin itu dibawa oleh para penjajah Belanda yang notabene kaum kafir. Kutipan berikut, meski ditulis dengan gaya personal, menggambarkan hal tersebut:


Aku tidak tahu persis apa yang dibaca oleh anakku itu. Apa pun yang mengalir dalam sungai huruf Latin itu, aku anggap tak begitu penting. Pengetahuan sejati ada dalam kitab-kitab berhuruf Arab. Itulah sungai yang jelas hulunya, dan ke mana alirannya bermuara. Aku menerima seluruh ilmu dari ayah mertua melalu jalan yang jelas dan pasti. Jalan itu disebut sanad, yang berarti sandaran. Aku jadi ingat pujian kepada Nabi itu: Yâ RasûlalLâhi ya sanadî / Anta BâbulLâhi mu‘tamadî (Hai utusan Tuhan, Engkaulah sandaranku / Engkau pintu Tuhan; Engkaulah peganganku).18


Pasase tersebut di atas juga menggambarkan salah satu kekhasan epistemologi tradisi keilmuan pesantren, yakni sangat dihargainya mata rantai (genealogi) intelektual yang jelas dalam sistem pewarisan suatu ilmu atau riwayat; bahwa muara dari suatu ilmu yang dipelajari itu dapat dilacak hingga dapat disandarkan kepada sumber utama teks (ulama terkemuka di zaman dahulu), atau bahkan kepada Nabi itu sendiri. Sementara itu, hal semacam ini tidak dimiliki oleh sistem epistemologi tradisi keilmuan yang diperkenalkan lewat buku-buku berhuruf Latin itu.19


Dalam situasi demikian, kebijakan pihak pengelola pesantren terhadap penguatan perpustakaan dan pengembangan strategis minat baca santri menjadi terkesan setengah hati. Di satu sisi pemahaman bahwa minat baca itu penting tak diragukan lagi memang ada, karena, minimal, mendapatkan basis pembenaran yang cukup kuat dalam norma Islam,20 tapi di sisi yang lain ada kekhawatiran yang cukup kuat bahwa penguatan minat membaca di kalangan santri dapat memberikan dampak yang kurang baik terhadap beberapa segi kehidupan pesantren.


Persepsi kurang baik terhadap buku-buku berhuruf Latin dapat ditemui dalam beberapa kasus. Dalam beberapa kesempatan perbincangan informal, penulis menemukan beberapa pandangan dari kalangan pesantren yang menyatakan bahwa salah satu penyebab mulai menurunnya kemampuan santri untuk mengakses khazanah kitab-kitab kuning adalah mulai dibacanya buku-buku berhuruf Latin di pesantren. Buku-buku ini dipandang secara pelan-pelan telah menggeser titik perhatian dan ketertarikan santri yang sebelumnya hanya menyatu pada kitab kuning. Memang belum ada sebuah penelitian yang lebih serius tentang dugaan kecenderungan semakin menurunnya kemampuan santri dalam membaca kitab kuning—meskipun fakta ini sepertinya cukup sulit ditampik. Namun demikian, mencari kambing hitam dengan semata menunjuk pada mulai masuknya buku-buku berhuruf Latin ke pesantren tentunya merupakan sebuah pandangan yang terburu-buru dan terlalu menyederhanakan persoalan.


Selain dituding sebagai biang merosotnya kemampuan santri dalam membaca kitab kuning, kehadiran buku-buku berhuruf Latin di pesantren juga dipandang turut mengundang berseminya gugus-gugus pengetahuan yang secara relatif cukup berseberangan dengan semangat epistemologis tradisi keilmuan pesantren—meskipun hal ini tentu masih merupakan sebuah persoalan yang bersifat debatable. Dalam bentuknya yang paling vulgar, buku-buku berhuruf Latin ini pada titik tertentu menjadi representasi dari pemikiran-pemikiran liar yang secara berlebihan merayakan kuasa nalar—sesuatu yang selama ini diidentikkan dengan pemikiran Barat yang amat “rasional” dan “liberal”.21


Di pesantren itu sendiri, kehadiran buku-buku berhuruf Latin ini cukup disambut secara hangat oleh kalangan santri, utamanya karena relatif dapat memberi warna baru dalam suasana semangat keilmuan di pesantren yang cenderung kurang semarak. Ini juga didukung dengan mulai banyaknya alumni pesantren yang melanjutkan ke perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi di luar Madura. Bahkan, beberapa pesantren di Madura juga telah memiliki perguruan tinggi. Di situlah kemudian perkembangan dan persentuhan santri dengan buku-buku berhuruf Latin semakin intens. Dari perspektif yang lain sebenarnya ini juga berarti bahwa interaksi warisan keilmuan pesantren menjadi semakin kaya dengan khazanah ilmu-ilmu sosial (“ilmu umum”). Sialnya, apa yang kemudian tampak sebagai hasil dari interaksi antara santri dengan buku-buku berhuruf Latin ini (baca: pemikiran “asing”) adalah bahwa ternyata para santri, setidaknya menurut pandangan kebanyakan masyarakat Madura (terutama kiai dan juga santri senior atau alumni), mulai terlepas dari ikatan tradisi keilmuannya sendiri yang selama ini dirawat dan dilestarikan di pesantren.


Hal kedua yang melatari kurang diperhatikannya soal minat baca dan perpustakaan di pesantren adalah lantaran adanya semacam paralelitas dengan kurang kokohnya pesantren di Madura sebagai sebuah basis komunitas ilmiah. Artinya, pengembangan berbagai tradisi keilmuan yang ada di pesantren dalam kerangka sistemik masih belum cukup mapan. Manajemen perencanaan dan pengembangan yang berkaitan dengan khazanah keilmuan pesantren dalam hubungannya dengan perkembangan zaman belum mendapat sentuhan yang cukup serius di kebanyakan pesantren di Madura. Sedikit sekali terlihat adanya rencana-rencana strategis berjangka panjang dalam rangka menghidupkan komunitas ilmiah di pesantren. Karena itu, cukup wajar jika perpustakaan kemudian kurang begitu diperhatikan.


Salah satu indikator masih lemahnya kebanyakan pesantren di Madura sebagai basis komunitas ilmiah adalah masih belum kuatnya tradisi menulis (berkarya melalui tulisan). Sekadar ilustrasi sederhana, jika dihitung, mungkin akan lebih banyak ditemukan kiai/santri yang sekaligus orator daripada kiai/santri yang sekaligus penulis. Perbandingan ini bukannya ingin mendiskreditkan profesi orator. Akan tetapi, khazanah pemikiran yang disampaikan melalui media tulisan relatif lebih leluasa untuk diperbincangkan secara lebih mendalam daripada materi orasi, sehingga dapat lebih mengembangkan dan mempersubur etos penelitian dan semangat bereksplorasi (kultur riset).22


Komunitas ilmiah yang rapuh di pesantren ini pada tingkat tertentu menjadikan potensi-potensi intelektual yang ada di pesantren kadang mengalami cukup kesulitan untuk dapat mengasah kemampuannya. Sosok-sosok potensial itu relatif sulit menemukan ruang-ruang kreatif. Kalaupun kemudian dari pesantren terlihat ada riak-riak semangat dan etos pengembangan keilmuan, itu belumlah cukup banyak dan, yang paling penting, belum menubuh ke dalam sistem dan mekanisme proses pendidikan di pesantren itu sendiri.


Agenda dan Harapan


Di tengah situasi semacam ini, bagaimanakah kemudian agenda dan harapan kita ke depan agar tradisi membaca dapat menjadi bagian yang menyatu dengan dunia kehidupan sehari-hari masyarakat Madura? Jika difokuskan pada sisi pesantren, sungguh banyak hal yang saat ini mesti dibenahi oleh pesantren itu sendiri, yang, baik secara langsung atau tidak, berkaitan dengan pengembangan tradisi membaca. Sebagian berkaitan dengan aspek manajerial pesantren, bagaimana mengelola berbagai potensi yang sangat kaya di pesantren; sebagian lagi dengan aspek kultur keilmuan, bagaimana menghidupkan semangat belajar dan bagaimana menyikapi nilai dan khazanah pesantren; sebagian lainnya berkaitan dengan akses dan fasilitas, bagaimana mengefektifkan dan membuka akses dan peluang terhadap fasilitas penunjang yang dibutuhkan.


Dalam kaitannya dengan upaya penguatan tradisi membaca, hal yang menurut hemat penulis cukup mendasar adalah soal penyikapan dan pemosisian yang lebih bijak terhadap hadirnya buku-buku berhuruf Latin dengan berbagai sistem epistemologi yang diusungnya itu. Khazanah dan nilai-nilai khas pesantren tentu saja adalah sesuatu yang amat berharga untuk begitu saja diabaikan. Penghargaan terhadap sanad atau genealogi keilmuan misalnya, sebagai sesuatu yang khas dalam epistemologi tradisi intelektual pesantren, pada dasarnya merupakan nilai lebih tersendiri yang patut dipertahankan. Sementara kehadiran buku-buku berhuruf Latin dengan berbagai bangunan pengetahuan yang dibawanya itu sepertinya merupakan sesuatu yang tak dapat dielakkan. Mungkin memang masih akan cukup sulit untuk menerimanya sebagai sesuatu yang bukan-produk-asing. Akan tetapi, menutup akses terhadap buku-buku berhuruf Latin yang dipandang “berbahaya” kadang belum tentu efektif dan belum tentu merupakan langkah yang tepat untuk melestarikan nilai dan khazanah tradisi pesantren. Selain melalui media penguatan internal dan sosialisasi yang lebih baik tentang nilai-nilai dan epistemologi tradisi pesantren terhadap santri, misalnya, mungkin akan lebih tepat jika dibuat pengaturan yang lebih bersifat kompromis.23


Setelah titik soal yang lebih bersifat paradigmatis ini diposisikan secara lebih bijak, tentu saja juga diperlukan sebuah iklim dan tradisi yang baik bagi pengembangan komunitas ilmiah di pesantren. Kegairahan belajar, mengkaji, dan mengolah warisan tradisi harus terus diupayakan, terutama dalam konteks pembentukan mekanisme sistemik yang lebih terencana—dan di situ, membaca memang harus menjadi tradisi. Komunitas ilmiah di pesantren ini diharapkan dapat meluas ke level masyarakat secara umum. Menurut hemat penulis, jika pesantren secara internal telah benar-benar mampu memperkuat tradisi intelektualnya (komunitas ilmiah), terutama dalam mengolah dan mengapresiasi berbagai warisan intelektual Islam klasik dengan pembacaan yang kaya, sekaya warisan Islam klasik itu sendiri, maka pesantren akan lebih mampu untuk ikut memberikan warna dalam perkembangan pemikiran dan laju perubahan zaman.


Selain aspek struktur makro dalam tatanan pesantren tersebut, langkah taktis jangka pendek yang dapat dilakukan adalah maksimalisasi fungsi perpustakaan yang sudah ada saat ini, baik yang berada di lingkungan pesantren maupun di lembaga sekolah formal. Dalam pengamatan selintas, penulis berkesimpulan bahwa perpustakaan yang ada selama ini di Madura, mungkin juga di tempat lainnya, belum banyak melakukan upaya-upaya yang bersifat proaktif untuk ikut menyemarakkan tradisi membaca. Perpustakaan hanya seperti sekadar gudang buku yang siap dipinjamkan. Idealnya, perpustakaan secara proaktif juga ikut memberikan motivasi kepada masyarakat di sekitarnya untuk menghidupkan tradisi membaca, misalnya dengan membentuk klub baca yang mengapresiasi dan mempromosikan karya-karya bermutu.24


Pengelolaan perpustakaan dalam konteks Madura juga perlu memerhatikan segi keterbatasan dana. Ini sebenarnya masalah klasik yang dihadapi oleh lembaga-lembaga pendidikan di Madura pada khususnya. Untuk itu, hubungannya dengan penyediaan bahan-bahan kepustakaan di perpustakaan, kiranya dalam proses pengadaan koleksi pustaka harus betul-betul melalui pemilihan yang baik. Bahan pustaka yang akan dibeli harus benar-benar bagus dan cocok untuk komunitas anggota perpustakaan yang bersangkutan. Harus ada semacam prioritas, bahan pustaka macam apa yang lebih penting dikoleksi sebuah perpustakaan. Untuk perpustakaan sekolah misalnya penulis berpandangan bahwa idealnya koleksi perpustakaan yang ada dirancang untuk dapat mendukung berbagai mata pelajaran yang ada. Pemilihan bahan bacaan yang tepat ini menjadi penting bukan hanya karena alasan efektivitas dana, tapi juga karena bacaan yang kurang tepat dengan kebutuhan dan ketertarikan anggota komunitas perpustakaan kemungkinan tidak akan mendapat respons yang maksimal. Tentu saja ini kemudian menuntut adanya seseorang yang memiliki wawasan buku yang cukup memadai.


Sementara itu, dalam konteks proses pembentukan masyarakat ilmiah yang sadar akan nilai penting buku, bersepakat dengan gagasan Hernowo, perlu juga dilakukan semacam intensifikasi revolusi paradigmatik: bahwa buku sebaiknya didorong untuk dipersepsikan sebagai sesuatu yang lebih familiar, sebagai makanan. Lebih tepatnya lagi, buku adalah makanan ruhani yang diperlukan untuk memupuk kepribadian sehingga mengantarkan seseorang pada tingkat kedewasaan dan kematangan diri.25 Dengan revolusi paradigmatik ini, diharapkan buku kemudian tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang elitis, tetapi juga menjadi semacam kebutuhan untuk lebih memperkaya kehidupan batin seseorang. Dalam hubungannya dengan media perpustakaan, revolusi paradigmatik semacam ini membutuhkan dukungan penyediaan bahan-bahan kepustakaan yang lebih bersifat populer. Jenis kepustakaan semacam ini diharapkan dapat menjadi pintu masuk ke dalam kultur membaca yang lebih baik, menuju berbagai jenis kepustakaan yang lebih beragam dan terfokus.


Revolusi paradigmatik semacam ini menjadi amat penting jika dihadapkan dengan kenyataan, terutama di Madura, bahwa kerap kali orang-orang yang sudah cukup memiliki kemampuan ekonomi yang baik (kelas menengah) tidak terlalu tertarik untuk membeli buku sebagai makanan ruhaninya. Ironisnya, penulis menduga kuat bahwa kecenderungan semacam ini juga terjadi di kalangan terdidik di Madura.26 Kenyataan ini semakin mempertegas bahwa diperlukan upaya-upaya dini untuk lebih mengakrabkan bahan-bahan kepustakaan kepada anak didik. Karena itu, pembenahan lembaga perpustakaan mestinya juga harus dimulai dari perpustakaan yang diperuntukkan untuk usia anak-anak. Perpustakaan tingkat Sekolah Dasar (atau Madrasah Ibtidaiyah) misalnya harus lebih diprioritaskan untuk dibenahi terlebih dahulu baik fasilitas maupun pengelolaannya.


Terkait dengan hal itu, sejalan dengan sebuah pendapat yang penulis dapatkan belakangan, penulis secara pribadi berkesimpulan bahwa upaya-upaya untuk menanamkan minat baca sejak dini sebaiknya dimulai dengan bacaan-bacaan dongeng kepada anak.


Sastrawan Taufiq Ismail berpendapat, pengembangan budaya baca harus dimulai dari cerita anak-anak. Setelah itu dilanjutkan dengan pengenalan pada karya-karya sastra, kemudian baru ke buku-buku lain seperti biografi, agama, sejarah, dan sebagainya. "Selain memupuk minat baca, cerita anak-anak juga menanamkan nilai-nilai luhur yang ada dalam sistem budaya, sekaligus memberikan kearifan hidup bagi pembacanya," kata Taufiq Ismail ketika tampil pada salah satu sesi Seminar Kebahasaan dalam kaitan Sidang ke-38 Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia (Mabbim) di Batu (Malang), Selasa (9/3).27


Ini sebenarnya baik jika dimulai di level keluarga.28 Sementara itu, di perpustakaan tingkat sekolah dasar, koleksi-koleksi kepustakaan mestinya diperbanyak dengan buku-buku cerita anak yang menarik. Di tingkat yang lebih lanjut, seperti anjuran Taufiq Ismail di atas, pengenalan buku sastra dan buku “ilmiah” yang mengandung unsur sejarah dapat diperkenalkan kepada siswa-siswa di sekolah.


Upaya untuk mencari alternatif pembudayaan tradisi membaca di luar lingkungan pendidikan formal dan pesantren mungkin juga baik dilakukan, selain juga di keluarga, yakni dengan menghidupkan taman-taman bacaan di pusat-pusat pemukiman masyarakat. Ini mungkin merupakan pekerjaan rumah pemerintah daerah di masing-masing kabupaten.29 Tentu saja dukungan dan partisipasi semua pihak di masyarakat menjadi suatu keharusan untuk menciptakan suatu iklim tradisi membaca yang baik.


Berbagai ruang persemaian tradisi membaca, terutama sejak dini, sepertinya saat ini memang masih belum mendapatkan fokus ruang yang cukup solid. Yang bisa dilakukan sementara ini adalah maksimalisasi ruang dan peluang.

* * *

Beberapa hal yang dituturkan dalam tulisan ini menyangkut tradisi membaca dalam masyarakat Madura lebih merupakan hipotesis-hipotesis awal yang sebenarnya sangat membutuhkan penelitian, pengujian, dan diskusi lebih lanjut.


Dari gambaran sekilas tersebut di atas terlihat betapa upaya untuk menghidupkan tradisi membaca dalam masyarakat Madura bertalian erat dengan banyak aspek: dimensi paradigmatik, iklim pendidikan, kondisi sosial-budaya, keterbatasan dana (individu atau lembaga), ketersediaan akses dan fasilitas, dan sebagainya. Namun jika kita bersepakat bahwa tradisi membaca itu penting untuk meningkatkan kualitas manusia dan kemajuan peradaban, tentu tak ada pilihan lain yang harus dilakukan kecuali mulai membenahi semuanya dari hal-hal yang paling sederhana, yang paling mungkin kita lakukan, sesuai dengan posisi dan peran kita di masyarakat.


WalLâhu a‘lam.


Catatan Kaki

  1. Pidato Seno Gumira Ajidarma dalam Penerimaan South East Asia (SEA) Write Award 1997. Lihat, Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, Yogyakarta: Bentang Budaya, Cet. I, Oktober 1997, hlm. 112.
  2. Sebuah ilustrasi singkat tapi menarik tentang perkembangan awal Renaisans Eropa dalam konteks penemuan kompas, mesiu, dan mesin cetak ini dapat dibaca dalam karya Jostein Gaarder, Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat, Bandung: Mizan, Cet. II, Desember 1996, hlm. 219-220.
  3. Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta: LP3ES, Cet. II, 1988, hlm. xxviii.
  4. Riwayat hidup Johannes Gutenberg dapat dibaca dalam Encarta Reference Library Premium 2005, sebuah ensiklopedi multimedia berbasis Windows berkapasitas sekitar hampir 3 giga bytes yang diterbitkan oleh Microsoft, terutama pada entri “Johannes Gutenberg” dan entri “Printing”. Di situ juga digambarkan secara detail mesin cetak temuan Gutenberg itu, termasuk pula gambar contoh hasil cetakan awal yang dibuat dengan menggunakan mesin cetak tersebut.
  5. I. Bambang Sugiharto, “Tafsir dalam Permainan”, dalam Ahmad Sahal, dkk (Ed.), Utan Kayu: Tafsir dalam Permainan (Karya Pilihan Komunitas Utan Kayu), Jakarta: Yayasan Kalam, 1998, hlm. 109-110.
  6. Wilson Nadeak, “Membaca, Menulis, dan Tradisi”, Kompas, 10 April 2005.
  7. Ignas Kleden, Op. Cit., hlm. xxix-xxx.
  8. Goenawan Mohamad, “Buku, Iman dan Pembebasan”, pidato pada ulang tahun Penerbit Mizan Bandung di bulan April 2003. Naskah lengkap pidato panjang Goenawan penulis download dari situs Penerbit Mizan, www.mizan.com.
  9. Menarik dicermati bahwa hadirnya televisi sebagai sebuah kekuatan budaya sebenarnya juga terjadi di Barat. Televisi, yang merupakan sebuah produk teknologi peradaban modern—yang seperti disebutkan sebelumnya lahir dari tradisi baca-tulis—secara cukup ironis telah meminggirkan tradisi baca-tulis itu sendiri. Kian hari terjadi pergeseran dari pola membaca ke pola menonton. Jika dalam pola membaca yang lebih dominan adalah aktivasi kesadaran analitis-logis, maka dalam pola menonton yang berperan besar adalah gambar/imaji, yang dengan demikian “berbicara lebih langsung dan lebih menyentuh totalitas persepsi (kognitif, afektif, imajinatif)”. Tak heran jika dalam situasi seperti ini kekuatan-kekuatan tak sadar (hasrat, kehendak, dst.) menguasai kesadaran. Uraian selengkapnya, baca, I. Bambang Sugiharto, Op. Cit., hlm. 110-112.
  10. Tentang komunitas 1001buku yang didirikan pada Mei 2002 ini, dengan berbagai aktivitasnya,, silakan baca selengkapnya di http://groups.yahoo.com/group/1001buku/. Laporan sekilas tentang komunitas milis ini sempat diturunkan oleh Kompas, 31 Januari 2003, “Minat Baca Kurang? Ah, Masaaak…!”.
  11. Buku yang dimaksudkan dalam konteks masyarakat Madura di sini adalah buku berhuruf Latin, untuk dibedakan dengan kitab (buku berhuruf Arab).
  12. Data ini didapat dari situs Biro Pusat Statistik Jawa Timur, http://jatim.bps.go.id. Perinciannya, di Kabupaten Bangkalan persentase penduduk miskin berjumlah 19,16%, Sampang 45,69%, Pamekasan 20,08%, dan Sumenep 21,21%. Di tingkat Jawa Timur sendiri, persentase penduduk miskin berjumlah 20,91%. Sementara itu, penduduk miskin tahun 2004 di Kabupaten Sumenep berjumlah 222.206 dari 1.033.389 jiwa (21,50%). Sumber: updating PKIB Kabupaten Sumenep 2004. Penulis kurang begitu paham dengan frasa “penduduk yang diduga miskin” dalam data tabel yang penulis dapat dari BPS Sumenep ini.
  13. Penekanan pada pentingnya akses, kebebasan, dan pilihan, sangat tampak dalam pemikiran Amartya Sen. Uraian selengkapnya yang ditulis dengan detail dan cukup filosofis dapat dibaca dalam Amartya Sen, Inequality Reexamined, Cambridge: Harvard University Press, Cet. V, 1998, terutama hlm. 39-87.
  14. Laporan selengkapnya dapat dibaca di Harian Kompas, 6 Oktober 2000, “Putus Sekolah, Kemiskinan, Anggaran Pendidikan”. Untuk analisis yang lebih aktual, baca Dwi Pudji Rijanto, “Kemiskinan dan Putus Sekolah”, Kompas, 4 April 2005. Sebuah penelitian tentang profil kehidupan siswa dari keluarga miskin dapat dibaca dalam tulisan Dedi Supriadi, “Masalah Pendidikan untuk Anak Miskin”, Jurnal Prisma, No. 5 Tahun XXIII, Mei 1994, hlm. 56-61. Sementara itu, di wilayah Jawa Timur, menurut data Departemen Pendidikan Nasional, untuk tahun pelajaran 2001/2002-2002/2003, angka putus sekolah tingkat SD mencapai 33.064 orang (1,02%) dan untuk tingkat SLTP mencapai 35.817 orang (3,32%). Berkaitan dengan hal tersebut, siswa lulusan SD yang terus melanjutkan ke jenjang SLTP di Jawa Timur untuk tahun pelajaran 2002/2003 berjumlah 71,59%, sedangkan siswa lulusan SLTP yang terus melanjutkan ke jenjang SMU berjumlah 85,42%. Data diakses dari situs Depdiknas, www.depdiknas.go.id. Sementara itu, persentase penduduk Madura usia 10 tahun ke atas yang berpartisipasi dalam dunia pendidikan (tahun 2003) tergolong rendah di antara kabupaten lain di Jawa Timur. Penduduk yang tidak/belum pernah bersekolah di Kabupaten Sampang mencapai 39,35% (terendah se-Jawa Timur), Sumenep 32,97%, Bangkalan 25,19%, dan Pamekasan 19,32%. Persentase tingkat buta huruf di Madura juga cukup tinggi; Sampang 39,72% (tertinggi se-Jawa Timur), Sumenep 30,42% (nomor urut kedua di Jawa Timur), Bangkalan 24,06%, dan Pamekasan 22,26%. Sumber: hasil Susenas 2003 Provinsi Jawa Timur. Data didapat dari BPS Sumenep.
  15. Baca laporannya di Kompas, 22 Juni 2004, “Sekolah Tidak Selalu Tumbuhkan Minat Baca”.
  16. Menurut data tahun 2003, di Kabupaten Sumenep terdapat 261 lembaga pesantren, 457 Madrasah Diniyah, 515 Madrasah Ibtidaiyah, 142 Madrasah Tsanawiyah, dan 42 Madrasah Aliyah (dapat diperbandingkan bahwa di Sumenep terdapat 737 Sekolah Dasar, 44 SMP, dan 23 SMU). Di sini terlihat bahwa jumlah pendidikan keagamaan (yang biasanya mayoritas berbasis pondok pesantren) relatif lebih banyak. Data diperoleh dari situs Pemerintah Kabupaten Sumenep, www.sumenep.go.id. Sementara, menurut data di situs Pemerintah Kabupaten Pamekasan (www.pamekasan.go.id), di Pamekasan pesantren berjumlah 165, dan madrasah berjumlah 372 (tanpa perincian yang jelas). Patut pula dicatat bahwa lembaga pendidikan berbasis pesantren tidak hanya lebih banyak secara jumlah, tapi wilayah persebarannya juga relatif lebih merata.
  17. Seorang sepupu penulis yang kebetulan cukup akrab dengan dunia sastra dan seni pernah bercerita bahwa ia pernah meminjamkan buku Siti Nurbaya karya Marah Rusli kepada tunangannya yang nyantri di sebuah pesantren di Pamekasan, dan ternyata buku itu dikembalikan dalam keadaan agak lapuk karena ternyata dibaca bergilir oleh banyak santri. Pengalaman yang tak jauh berbeda juga penulis alami.
  18. Ulil Abshar-Abdalla, “Kitab Kawin-Mawin”, Jurnal Kalam, No. 19/2002, hlm. 122. Esai menarik ini adalah semacam refleksi pribadi Ulil atas perjalanan hidupnya baik sebagai santri maupun sebagai putra dari seorang kiai dalam bergaul dengan berbagai elemen produk kebudayaan urban.
  19. Penghargaan terhadap kejelasan genealogi intelektual di pesantren misalnya terlihat dalam praktik penuturan mata rantai guru yang menjadi rujukan dari sebuah kitab yang sedang dipelajari, yang biasa disampaikan oleh seorang kiai setelah tamat mengajarkan suatu kitab tertentu. Biasanya perujukan bisa sampai tiba pada ulama yang menulis kitab tersebut. Praktik semacam ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh proses pengujian autentisitas hadis yang memegang teguh prinsip kejelasan sanad sehingga perujukan betul-betul dapat terbukti berujung kepada Nabi. Secara normatif, dalam Ushul Fiqh terdapat sebuah kaidah yang menyatakan bahwa sebuah teks yang perawinya, saat meriwayatkan sebuah teks, lebih mengandalkan hafalan yang disampaikan gurunya dipandang lebih kuat daripada teks yang perawinya dikenal lebih mengandalkan catatan tertulis yang diperoleh tanpa adanya seorang guru. Lihat, Sayf al-Dîn Abû al-Hasan ‘Alî ibn Abî ‘Alî ibn Muhammad al-Âmidî, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Beirut: Dâr al-Fikr, 1981, jilid ketiga, hlm. 260. Kaidah yang berkaitan dengan proses tarjîh (memilah dalil-dalil yang akan digunakan dalam proses penentuan suatu hukum) ini penulis duga kemudian memengaruhi dan dipergunakan dalam tradisi pewarisan keilmuan di kalangan muslim tradisional. Syekh Muhammad Yâsîn ibn Muhammad ‘Îsâ al-Fâdânî al-Makkî misalnya sampai menulis risalah khusus yang memuat genealogi intelektual dari setiap kitab yang dipelajarinya. Penulis menemukan dua risalah beliau, yang berjudul Asânid al-Fiqhiyyah (tanpa tempat, tahun, dan penerbit) dan al-‘Aqd al-Farîd min Jawâhir al-Asânid (Surabaya: Dâr al-Saqâf, Cetakan II, tanpa tahun). Dalam dua kitab ini ditulis secara lengkap mata rantai guru yang menjadi rujukan dalam proses belajar suatu kitab, yang meliputi tidak hanya kitab hadis saja, tapi juga fikih, tafsir, tawhid, tasawuf, sejarah, nahwu, balaghah, dan sebagainya.
  20. Kalangan kaum muslim biasanya selalu menghubungkan etos membaca dengan wahyu pertama al-Qur’an yang menyerukan perintah membaca. Tentang hal ini dapat dibaca dalam karya Dr. M. Quraish Shihab, “Falsafah Dasar Iqra”, dalam “Membumikan” al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, Cet. XXVI, Oktober 2003, hlm. 167-171.
  21. Lazimnya, filsafat dipandang sebagai salah satu aktor penting dalam menyuplai pemikiran-pemikiran liar tersebut. Padahal, sebagai catatan, kondisi “rasionalitas” dan mungkin juga “liberalitas” dalam khazanah pemikiran (filsafat) Barat sendiri sebenarnya tidaklah seragam dan sesederhana yang dibayangkan orang-orang pesantren kebanyakan. Kecenderungan terakhir dalam pemikiran filsafat Barat yang akrab disebut dengan posmodernisme misalnya justru semakin memperlihatkan digugatnya epistemologi pemikiran Barat yang dipandang terlalu angkuh dan teramat percaya pada ideologi rasionalisme, positivisme, dan termasuk modernisme. Semacam kesalahpahaman yang juga umum menggejala di pesantren atas disiplin filsafat adalah menyederhanakan pandangan bahwa filsafat hanya berkaitan dengan masalah teologi.
  22. Ulil Abshar-Abdalla pernah mengulas soal minimnya karya tulis dari kalangan pesantren dalam tulisannya, “Pesantren dan Budaya Tulis”, dalam kumpulan tulisannya, Membakar Rumah Tuhan: Pergulatan Agama Privat dan Publik, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. II, Mei 2000, hlm. 132-137. Dalam pengamatan Ulil, karya-karya dari pesantren biasanya ditulis dengan bahasa Arab dan atau bahasa daerah (Jawa, dan sebagainya). Sayangnya, di tengah minimnya karya-karya tersebut, penghargaan dan apresiasi terhadap karya yang ada kurang begitu baik, sehingga mungkin tidak mempersubur iklim kepenulisan di pesantren. Sementara di sisi yang lain Ulil melihat bahwa terjadi kemerosotan penguasaan santri dan kiai atas bahasa Arab sebagai alat ekspresi mereka. Ulil juga menilai rendahnya penghargaan dan apresiasi terhadap karya dari pesantren, bahkan oleh kalangan pesantren sendiri.
  23. Sejauh berkaitan dengan perpustakaan, misalnya, mungkin pihak pengelola pesantren dapat memantau bahan-bahan kepustakaan yang dikoleksi atau dengan memberi sistem klasifikasi dan rekomendasi bacaan yang pas dan atau bacaan pembanding. Yang penting digarisbawahi di sini adalah bahwa pada dasarnya tradisi baca-tulis yang ideal sebagai basis dan sokoguru perkembangan pendidikan dan peradaban, menurut hemat penulis, secara epistemologis harus berakar pada prinsip kejernihan nalar dan keberimbangan, kejujuran ilmiah dan ketulusan moral. Baca, M. Mushthafa, “Bahasa, Yang Menjelma Jendela”, Jawa Pos, 17 November 2002.
  24. Dalam sebuah diskusi di Perpustakaan Madrasah Aliyah 1 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep awal Juni 2005 lalu penulis mencontohkan misalnya dengan membuat agar suasana perpustakaan betul-betul mendorong dan memicu rasa ingin tahu dan semangat membaca pengunjungnya. Misalnya, dengan menempelkan resume (tinjauan, resensi) buku-buku bagus yang direkomendasikan oleh pustakawan atau guru di sekolah yang pas untuk dibaca komunitas anggota perpustakaan di tempat itu, menempelkan kisah hidup para penulis sukses dan ternama, menampilkan kutipan pendek dari sebuah buku menarik, menggelar diskusi (buku) di perpustakaan, dan semacamnya. Bandingkan dengan tulisan Hernowo berjudul “Agar Perpustakaan Tak Jadi Kuburan” di situs Penerbit Mizan Bandung, www.mizan.com.
  25. Hernowo, Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza, Bandung: Mizan, Cet. I, Februari 2003, hlm. 20-23. Juga, Hernowo, Mengikat Makna, Mengubah Paradigma Membaca dan Menulis Secara Radikal, Bandung: Mizan, Cet. III, Maret 2002, hlm. 83-106.
  26. Dalam pengamatan selintas penulis, ini bahkan juga terjadi di kalangan kiai di Madura. Penulis menduga kuat bahwa tidak banyak kiai yang memiliki kecintaan pada buku sehingga sampai terus berusaha menambah koleksi kepustakaannya (selain kitab). Sebuah data menarik yang cukup berkaitan perlu juga diungkapkan di sini, yang menunjukkan bahwa daya beli dan minat baca masyarakat Indonesia, khususnya bacaan surat kabar, masih rendah dibandingkan dengan daya beli dan minat untuk membeli rokok yang sangat tinggi. Sebagai bahan perbandingan dalam nilai rupiah, belanja masyarakat Indonesia untuk membeli surat kabar kurang lebih hanya Rp 1,9 triliun/tahun. Sementara itu, untuk membeli rokok mencapai Rp 47 triliun/tahun. Data diperoleh dari posting seorang anggota milis “komunitas pantau”, tanggal 17 Juni 2005. Lihat, http://groups.yahoo.com/group/pantau-komunitas/. Data tersebut dapat juga diakses di http://mediacare.blogspot.com.
  27. Dikutip dari berita di Harian Kompas, 10 Maret 1999, berjudul “Budaya Baca Harus Dimulai dari Cerita Anak-Anak”. Baca juga, Susanto Edi Yuniarto, “Menumbuhkan Minat Baca dengan Dongeng”, Kompas, 30 Januari 2003. Biro Pengabdian Masyarakat P.P. Annuqayah mulai akhir 2003 hingga awal 2005 terlibat dalam penyebaran komik Gebora, komik anak-anak terbitan Common Ground Indonesia (sebuah LSM internasional yang bergerak di bidang pengelolaan konflik) di sentra-sentra pendidikan anak (seperti Madrasah Ibtidaiyah, Taman Kanak-Kanak) di Kabupaten Sumenep dan Pamekasan. Dua belas seri komik yang bercerita tentang lika-liku klub bola anak-anak dengan tema rekonsiliasi ini (yang masing-masing berjumlah 2000 eksemplar) mendapat sambutan yang luar biasa hangat dari anak-anak di berbagai tempat tersebut.
  28. Sialnya, institusi keluarga juga menghadapi serbuan hebat dari media televisi. Saat ini, mungkin sudah amat jarang sekali orangtua yang akan sempat mendongeng (atau membacakan dongeng) sebelum tidur untuk anak mereka karena anak lebih banyak dibiarkan “dididik” oleh televisi. Baca, M. Mushthafa, “Menghargai Sejarah”, Jawa Pos, 13 April 2003.
  29. Di situs resmi Pemerintah Kabupaten Sumenep (www.sumenep.go.id) penulis sempat men-download beberapa arsip, masing-masing yang berjudul “Visi dan Misi Pendidikan di Kabupaten Sumenep”, “Tujuan Dinas Pendidikan Sumenep”, dan “Info Kebijakan Pendidikan”. Di ketiga arsip tersebut sama sekali tidak tercantum secara khusus visi dan agenda kerja soal pengembangan minat baca. Akan tetapi, dalam buku Peraturan Daerah Kabupaten Sumenep Nomor 18 Tahun 2001 tentang Program Pembangunan Daerah Kabupaten Sumenep Tahun 2001-2005 yang diterbitkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sumenep (2001) memang tercantum program pengembangan perpustakaan daerah dengan berbagai rencana kegiatan. Entah bagaimana realisasinya di lapangan.

Tulisan ini dimuat di Jurnal Edukasi, No. IV, Agustus 2005.

Read More..