Rabu, 10 Maret 2004

Ruh Kemanusiaan dalam Aktivitas Berkesenian

Dalam beberapa tahun terakhir ini, ada sebuah perkembangan menarik dalam disiplin psikologi. Setelah sekian lama dicengkeram oleh paradigma positivistik yang membuat psikologi menjadi kering dan mengabaikan sisi-sisi mendalam dari sisi lain kemanusiaan, kini psikologi mulai bertegur sapa dan bahkan berangkulan dengan beragam dimensi spiritualitas keagamaan. Ini sebenarnya adalah jalan kembali psikologi ke rumah tinggalnya yang sejati. Psikologi mula-mula memang merupakan suatu cabang metafisika yang membahas jiwa manusia. Namun, segi jiwa ini menjadi ditinggalkan, bahkan kemudian tidak diakui, ketika paradigma psikologi eksprimental dan behaviorisme menjadi paham yang berjaya, beriringan dengan pemikiran August Comte (1798-1857) yang mensponsori lahirnya positivisme.

Comte menerangkan istilah “positif” dengan membuat suatu pembedaan antara ‘yang nyata’ (reel) dengan ‘yang khayal’ (chimerique), ‘yang pasti’ (certitude) dan ‘yang meragukan’ (indecision), ‘yang tepat’ (precis) dan ‘yang kabur’ (vague), ‘yang berguna’ (utile) dan ‘yang sia-sia’ (oiseux), dan ‘yang mengklaim memiliki kesahihan relatif’ (relative) dan ‘yang mengklaim memiliki kesahihan mutlak’ (absolut). Pemikiran yang dalam wilayah filsafat menggeser refleksi epistemologis menjadi prinsip metode ilmiah ini menjadikan beberapa segi kemanusiaan menjadi kurang diperhitungkan—untuk tidak mengatakan tidak dihargai.

Jalan pulang psikologi menjadi lapang dimulai ketika Daniel Goleman mempopulerkan istilah EQ (Emotional Quotient, Kecerdasan Emosional) dan kemudian diikuti dengan konsep SQ (Spiritual Quotient, Kecerdasan Spiritual) yang dikampanyekan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall. Berbeda dengan pemikiran yang sudah mapan sebelumnya, yang menempatkan IQ sebagai tolok ukur kecerdasan, berkembang suatu kesadaran baru akan adanya keragaman bentuk kecerdasan. Bahkan, SQ kemudian diakui sebagai the ultimate intelligence.

Ketika masyarakat kebanyakan mengidentikkan kecerdasan manusia dengan kecerdasan IQ semata, yang dihargai hanyalah orang yang cerdas di bidang matematika atau bahasa, sementara orang yang memiliki kemampuan lain kurang mendapat penghargaan yang layak. Padahal tidak jarang orang yang memiliki IQ rendah mempunyai bentuk kecerdasan yang lain (pandai bergaul, berkemampuan dalam bidang kesenian atau olah raga yang baik, dan sebagainya). Fakta ini amatlah merugikan, karena penghargaan terhadap potensi kecerdasan orang-orang semacam ini menjadi kurang.

Adalah kemudian Dr. Howard Gardner, profesor pendidikan di Universitas Harvard, yang menunjukkan fakta bahwa kita tidak hanya memiliki “satu” kecerdasan, tetapi setidaknya tujuh, atau mungkin delapan. Atau mungkin bahkan lebih. Setiap kecerdasan memiliki nilai yang sama penting dan berharga dalam konteks kehidupan kemanusiaan. Kedelapan kecerdasan itu adalah: kecerdasan linguistik, kecerdasan matematis/logis, kecerdasan visual/spasial, kecerdasan musikal, kecerdasan fisik, kecerdasan inter-personal, kecerdasan intra-personal, dan kecerdasan naturalis.

Kedelapan macam kecerdasan ini selanjutnya menegaskan bahwa sosok manusia itu menyimpan potensi dan kekuatan yang luar biasa, lebih dari sekadar kemampuan akal-rasionalnya.

* * *
Berbagai penemuan mutakhir di bidang psikologi yang disebutkan secara ringkas tersebut di atas tentu tidak boleh hanya dilihat sebagai suatu perkembangan suatu disiplin ilmu belaka, tetapi juga harus dicermati sebagai suatu fenomena yang lebih besar maknanya, suatu arah penemuan kesadaran kemanusiaan yang semakin menghargai berbagai dimensi manusia yang begitu kaya. Bila sebelumnya kekayaan potensi manusia itu dibekap dalam kerangkeng positivisme dan materialisme, kini langkah pembebasannya telah mulai dilakukan.

Jamak diakui bahwa positivisme dan materialisme telah banyak menjatuhkan korban, terutama korban-korban kemanusiaan. Positivisme telah menumpulkan sensitivitas kemanusiaan dan menenggelamkan kemampuan manusia untuk berempati dan merengkuh makna inti keberadaannya yang hakiki. Bahkan, positivisme yang beroperasi dengan nalar formalistik dan sistem birokrasi kemudian semakin melanjutkan kisah nestapa kemanusiaan tersebut. Namun demikian, perkembangan pemikiran dalam psikologi yang sebenarnya juga diikuti dengan pergeseran paradigmatik dalam bidang yang lain (termasuk sains dan filsafat) telah memberikan arah baru bagi dinamika hidup dan pemaknaan terhadap keberadaan manusia itu sendiri.

Yang penting dicatat dalam soal ini adalah bahwa arah pemikiran tersebut di atas pada dasarnya dapat dipandang sebagai suatu modal dan landasan epistemologis yang semakin mengukuhkan untuk menegaskan bahwa manusia itu adalah makhluk berkebudayaan. Dalam kebudayaan, manusia hadir penuh seluruh dengan segala kemampuan, pergulatan, dan sisi kebebasannya untuk terus berkreasi. Sebagai makhluk budaya, manusia menyimpan kekuatan tak terkira yang dapat menjelma menjadi mahakarya yang luar biasa, baik dengan olahan kekuatan nalar, imajinasi, atau juga intuisi.

Pada titik inilah, kegiatan berkesenian menemukan konteks maknanya yang berharga dalam kerangka aktivitas kebudayaan manusia. Kesenian, dengan beragam wujudnya, adalah salah satu bentuk konkret dari pijar-pijar potensi cipta, rasa, dan karya manusia yang memuat sejumlah nilai tertentu. Di situ, tumpah seluruh upaya manusia untuk mengungkapkan diri, menyingkapkan pengertian, mengkomunikasikan gagasan dan pengalaman (estetik), dan menyatukan kekayaan nuansa hidup dalam suatu wadah yang dapat mempertemukan horison rasa dan pikiran manusia yang berasal dari ruang waktu yang berbeda. Sebagaimana halnya suatu karya semisal buku atau risalah tertentu, sebuah karya kesenian berusaha merawat kedalaman suatu pengalaman perasaan dan gagasan agar dapat melintasi rentang zaman dan aneka ruang yang lebih banyak.

Untuk itulah, setiap karya kesenian, dan karya peradaban yang lainnya, selalu menyimpan sifat keterbukaan terhadap khazanah kebudayaan yang lain, termasuk juga peradaban Islam itu sendiri. Dalam wawancaranya dengan Majalah Horison di tahun 1984, Gus Dur menyebutkan bahwa peradaban Islam itu berwatak eklektik, mampu menyerap karya kebudayaan lain. Gus Dur memberi contoh karya fabel dari al-Zais, yang termaktub dalam karyanya yang berjudul Kitâb al-Hayawân, yang merupakan empat jilid tebal yang memuat fabel-fabel yang banyak diambil dari tradisi Yunani, Romawi, dan India. Atau tentang bagaimana Imam Abû Hanîfah (pendiri mazhab Hanafî) membuat sebuah karya lengkung gapura (arcade) yang diambil dari model di Asia Tengah ketika ia memborong pembangunan pagar kota Baghdad.

Eklektisisme ini, dalam konteks keindonesiaan, juga muncul dalam karya para sunan Walisongo yang menghasilkan khazanah kesenian yang cukup bernilai. Sunan Kalijaga, yang hidup di sekitar akhir abad ke-14 misalnya, dikenal sangat berjasa dalam perkembangan wayang kulit yang bercorak islami seperti sekarang ini. Bahkan, Sunan Kalijaga juga berjasa dalam perkembangan seni suara, seni ukir, seni busana, seni pahat, dan kesusastraan. Dalam sebuah sumber disebutkan bahwa banyak corak batik yang oleh Sunan Kalijaga diberi motif burung. Burung dalam bahasa Kawi disebut kukula, yang kemudian ditulis dalam bahasa Arab menjadi dan qîla yang berarti “jagalah ucapanmu”.

Nilai-nilai moral bukanlah sesuatu yang asing dalam karya-karya kesenian. Bahkan, tidak jarang nilai-nilai moral itu menjadi suatu keharusan yang dituntut dalam suatu karya (meski gagasan semacam ini juga ditampik oleh sebagian kalangan yang menghendaki seni independen dan hanya mengabdi untuk seni itu sendiri, tidak usah terlalu dibebani oleh imperatif moral itu menyampaikan nilai tertentu). Lebih jauh lagi, dalam dunia tasawuf kesenian terkadang menjadi media ekspresi untuk menyampaikan gagasan atau pesan-pesan moral, atau bahkan menjadi media untuk menumpahkan ekspresi kecintaan total kepada Tuhan. Hal semacam ini dapat dilihat dalam karya berupa syair-syair yang menggambarkan nuansa keagamaan yang kental, seperti dalam salah satu syair Abû Nuwâs yang terkenal itu (hidup di abad ke-8, pada masa Khalifah Hârûn al-Rasyîd).

Sayangnya, apresiasi kita pada umumnya terhadap khazanah kesenian Islam itu sendiri masih jauh dari cukup. Diduga kuat, ada semacam nuansa subversif yang ditakutkan yang dapat saja muncul dari khazanah kesenian tersebut. Mengambil contoh Abû Nuwâs misalnya, kita kebanyakan hanya mengenal syair karya Abû Nuwâs yang berbunyi Ilâhî lastu li al-firdaws ahlâ... saja. Padahal, ia juga dikenal sebagai penggubah puisi pertama yang mengangkat tema minuman keras atau khamar (khumrayyât). Bahkan, puisi mujuniyyât-nya (yang berisi lelucon dan senda gurau) kadang melampaui batas kesopanan dan merendahkan ajaran agama, sehingga ia juga dicap sebagai penyair fasik atau zindik.

Selain Abû Nuwâs, seorang tokoh sufi terkemuka pendiri Tarekat Mawlawiyyah, Jalaluddin Rumi (1207-1273), yang juga sangat dikenal dengan puisi-puisi cintanya yang memukau, juga pernah dihujat masyarakat karena bersama seorang sahabatnya, Syamsuddin al-Thabrizi, mengembangkan tarian sama’, sebuah tarian berputar yang diiringi dengan musik, sesuatu yang oleh masyarakat dianggap sebagai sesuatu hal yang bertentangan dengan ajaran agama.

Selain sebagai media ekspresi moralitas dan spiritualitas tertentu, kesenian dalam sejarah peradaban Islam juga telah menjadi media untuk merawat salah satu dimensi penting dalam agama Islam itu sendiri. Seni kaligrafi misalnya sering disebut sebagai “seninya seni Islam” (the art of Islamic), suatu kualifikasi dari penilaian yang menggambarkan kedalaman makna yang esensinya berasal dari keseluruhan nilai dan konsep keimanan. Kaligrafi bahkan diakui dengan lebih umum tidak disebut kaligrafi Arab, tetapi kaligrafi Islam, karena pertumbuhan kaligrafi itu berkait erat dengan proses penulisan Alquran dan hadis Nabi. Contoh lainnya adalah syair-syair yang berisi riwayat dan pujian atas Nabi Muhammad saw. yang biasa dilantunkan umat Islam, seperti Burdah yang digubah oleh Ka‘b bin Zuhayr bin Abi Salma.

* * *
Yang menjadi soal saat ini adalah bagaimana memberdayakan berbagai khazanah kesenian Islam yang berharga itu untuk kemudian dibumikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Tentu hal ini pertama-tama mensyaratkan adanya atensi dan apresiasi yang cukup dari kita sendiri. Kita dituntut untuk terus menggali kembali kekayaan khazanah tersebut untuk kemudian dimaknakan dan dikontekstualisasikan dalam era kekinian. Penghargaan yang pantas terhadap karya-karya kesenian itu perlu dilakukan agar berbagai dimensi keilmuan sebagai sebuah karya peradaban Islam mendapat tempat yang layak.

Dari proses ini, kita akan dapat menemukan semangat eklektik, muatan nilai moral, dan kreativitas penciptaan, yang pada akhirnya dapat mengantarkan kita pada suatu pemahaman akan kekayaan karya kesenian sebagai bagian kerja kebudayaan manusia. Yang kemudian muncul dari situ adalah terasahnya sensitivitas kemanusiaan kita untuk menghargai, membaca pesan, dan menggali hikmah pengalaman dari berbagai peristiwa hidup yang berharga. Makna-makna luhur yang diikat, dan bahkan dilekatkan dalam-dalam, di dalam suatu karya kesenian, adalah bagian dari menara peradaban Islam yang mencita-citakan sosok manusia sempurna dan masyarakat utama.

Ini berarti bahwa sejatinya kegiatan berkesenian itu pada dasarnya adalah bagian dari upaya kita untuk melengkapi kualitas kemanusiaan kita, menjadi sosok manusia yang tidak hanya mampu bernalar dengan logika yang benar, tetapi juga menjadi sosok yang bisa menangkap kehalusan pesan kemanusiaan dalam setiap peristiwa dan pengalaman hidup. Sisi-sisi personal-eksistensial ditonjolkan, dipertemukan dengan normativitas dan historisitas setiap karya. Pada momen itulah, penyingkapan makna hakiki menjadi lebih memungkinkan.
Wallâhu a‘lam bishshawâb.


Read More..