Minggu, 27 Juni 2004

Biara Spiritual Karen Armstrong

Judul buku : Menerobos Kegelapan: Sebuah Autobiografi Spiritual
Penulis : Karen Armstrong
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : Pertama, Mei 2004
Tebal : 558 halaman


Merefleksikan perjalanan hidup adalah bagian dari pertanggungjawaban kita dalam menjalani hidup itu sendiri. Ketika alur hidup yang telah lalu dibiarkan tidak direfleksikan, tapak-tapak kita menjadi semakin rapuh dan tak bermakna.

Buku ini mengisahkan perjalanan spiritual Karen Armstrong, seorang pemikir lintas agama yang intens mengkaji soal-soal spiritualitas dan studi agama. Buku ini merupakan kelanjutan dari autobiografinya yang terbit pada 1981, Through the Narrow Gate, yang bertutur panjang lebar tentang kehidupannya di biara (1962-1969).

Sebagai sebuah sekuel, buku ini menjadi semakin menarik karena perkembangan kehidupan spiritual Armstrong dan karier intelektualnya sejak penulisan buku itu menjadi semakin kaya dan mengagumkan. Dari tangannya lahir karya-karya besar, di antaranya A History of God, Holy War, Muhammad, dan Buddha.

Di bagian prakata, Armstrong meringkas pengalamannya ketika hidup sebagai biarawati Katolik Roma selama tujuh tahun. Armstrong menggambarkan bagaimana pilihannya itu pada waktu itu tergolong radikal dan berani, di tengah-tengah latar keluarganya yang bukan tergolong keluarga yang saleh, serta dalam latar perubahan sosial di Inggris pasca Perang Dunia Kedua.

Sialnya, kehidupan Armstrong di biara justru tidak bisa memberikan apa yang dicarinya. Di satu sisi, biara pada tahun 1960-an masih berada dalam kendali rezim tradisional yang berada pada titik terburuknya, sebelum kemudian mendapat pembaruan dari Konsili Vatikan Kedua. Armstrong merasakan kesulitan yang cukup menekan ketika dalam ritual dan doa-doa yang dijalaninya dia ternyata cukup sering tidak bisa merasakan kehadiran Tuhan yang diharapkan datang menyapanya. Akhirnya, pada 1969, setelah melalui pergulatan hebat, Armstrong memilih untuk keluar dari biara.

Sekitar separuh dari bagian awal buku ini Armstrong menuturkan kegelisahannya ketika ia kembali ke kehidupan awam. Pada tahun-tahun itu Armstrong menjalani kehidupan awamnya dengan sulit, mengalami semacam kejutan budaya, yang bahkan menjadi traumatis. Perlu penyesuaian yang cukup menuntut ketegaran untuk dapat berintegrasi kembali dengan suasana hidup yang berbeda. Armstrong merasa seperti terlunta di kamp pengasingan setelah meninggalkan rumah spiritualnya di biara, terkurung dalam dirinya sendiri, tak mampu melarikan diri, atau menjangkau orang lain.

Tapi kemudian datanglah sebuah momen berkah. Di tahun 1972, dalam salah satu kuliahnya, Armstrong tersentuh dengan puisi T.S. Elliot berjudul Ash Wednesday. Puisi yang menggambarkan perjalanan hidup dengan menggunakan ibarat pendakian sebuah tangga spiral inilah yang kemudian menginspirasikan Armstrong untuk terus bertahan, bertawakal, dan memaknai momen kegelisahannya itu secara lebih positif. Namun tekanan kembali datang. Pada tahun 1975 tesisnya di universitas ditolak dan kemudian pada tahun 1976 dia didiagnosis menderita epilepsi. Armstrong semakin kehilangan momentum kebangkitannya kembali. Beruntunglah bahwa pada masa-masa sulit itu Armstrong masih bisa beraktivitas, mengajar di Bedford College dan kemudian menjadi guru di sebuah sekolah menengah.

Pada akhirnya, ketika menulis Through the Narrow Gate (1981), Armstrong tersentak dan ditarik kembali ke dalam suatu perasaan rindu akan yang sakral, seperti yang dulu pernah mengantarnya ke biara. Tak lama berselang, Armstrong kemudian terlibat kerja sama dengan British Channel 4 dalam sebuah pembuatan serial televisi berjudul Opinions. Di situlah kemudian gagasan-gagasan orisinal Armstrong tersemai. Tahun 1983 Armstrong kemudian menjalin kontrak untuk membuat serial dokumenter tentang kehidupan St. Paulus. Dalam riset yang berpusat di Yerusalem itu, Armstrong menemukan banyak hal yang jauh melampaui dari apa yang didapatnya di biara, tentang peran St. Paulus dan perkembangan Kristen awal. Selain itu, riset yang oleh Armstrong pertama diyakini akan dapat membongkar intoleransi dogmatis gereja itu juga telah mengantarkannya untuk berkenalan dengan agama Yahudi. Dari situ terbitlah buku The First Christian (1983).

Persentuhan Armstrong dengan agama Yahudi dan Islam, selain dalam kunjungannya ke Yerusalem selama melakukan riset tentang St. Paulus itu, semakin intens ketika di tahun 1985 dia mendapat kesempatan untuk meneliti tentang Perang Salib, yang meski gagal ditayangkan tapi menghasilkan sebuah karya memukau berjudul Holy War (1988). Pada kesempatan inilah ketertarikannya pada Islam khususnya menjadi semakin bertambah. Armstrong merasa malu bahwa selama ini dia dibesarkan dalam ketidaktahuan tentang Yudaisme dan Islam.

Penjelajahan Armstrong ketika menulis buku A History of God (1993) yang dimulai pada tahun 1989 semakin memperkaya perspektif spiritualitas yang telah didapatnya. Pada saat penulisan buku tersebut Armstrong juga sempat menerbitkan buku Muhammad (1992) yang mendapat sambutan baik di kalangan muslim. Dari situ Armstrong kemudian semakin yakin bahwa perspektif empati akan sangat berguna untuk mempelajari tradisi agama lainnya. Bahwa hal penting yang harus diingat dalam mempelajari teologi adalah kesiapan untuk menyediakan sebuah ruang kosong dalam pikiran kita sehingga dalam keheningan kesadaran akan Wujud Ilahiah itu akan mengungkapkan dirinya, hingga akhirnya menjadi bagian dari kita sendiri.

Pengisahan Armstrong yang jujur, berani, dan lugas sungguh sayang dilewatkan. Kisah perjuangannya menerobos kegelapan dan meniti tangga menuju taman cahaya spiritualitas yang menyejukkan dari biara Katolik Roma hingga ke biara spiritual yang dibangunnya sendiri secara perlahan dan sabar ini pada satu sisi semakin menegaskan makna penting refleksi diri agar orientasi hidup dan transformasi diri kita tetap terjaga. Yang paling penting, buku ini menuturkan pesan kepada kita tentang bagaimana menghayati dan memaknai keberagamaan dan spiritualitas dalam tatanan zaman yang seperti tak menyediakan ruang bagi yang transenden di satu sisi, dan fakta pluralitas dan pergaulan lintas sosial yang semakin terbuka di sisi lain. Melalui kisah pengembaraan Armstrong ini kita diingatkan kembali bahwa keberagamaan dengan dasar empati dapat membimbing kita ke suatu kesadaran teologis yang dapat menghadirkan sikap yang lebih manusiawi dan bermoral.


Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos. 11 Juli 2004.


Read More..

Senin, 21 Juni 2004

Merengkuh Kembali Makna Keimanan Sejati

Judul buku : The Heart of Islam: Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan
Penulis : Seyyed Hossein Nasr
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : Pertama, November 2003
Tebal : lviii + 406 halaman

Keberagamaan setiap saat selalu tertantang oleh gerak kemajuan zaman. Pada Abad Pertengahan dan Modern, agama digempur oleh berbagai argumentasi filsafat rasional untuk dijungkalkan ke alam ketakbermaknaan dan nihilisme, sehingga muncul wacana tentang wahyu dan akal (agama dan filsafat). Pada era global ini, tantangan agama-agama adalah picu kekerasan dan konflik, kehidupan pluralistik, dan tanggung jawab merawat kedamaian dunia.

Belakangan ini, Islam sering kali dituding sebagai biang yang berperan penting dalam aksi-aksi teror dan kekerasan, seperti dalam peristiwa 11 September atau ledakan bom di Bali. Ini membuat Islam menjadi tertekan oleh serentetan stigma negatif. Akibatnya, salah paham semakin menjadi-jadi, dan partisipasi Islam sebagai sebuah agama dan gugus peradaban bagi keberlangsungan dunia yang lebih baik menjadi terhambat.

Dalam konteks dan formasi sosial yang demikian, Seyyed Hossein Nasr melalui karya terbarunya yang berjudul The Heart of Islam ini menyajikan sebuah paparan yang tidak saja bersifat apologis atau reaktif terhadap situasi tersebut, tetapi juga menegaskan spirit universal Islam yang terpendam sedemikian rupa dalam ajaran-ajarannya. Yang dilakukan Nasr dalam buku ini tidak saja upaya klarifikasi bagi orang di luar Islam atas salah tafsir yang terjadi, tapi juga kontekstualisasi dan refleksi atas sejumlah ajaran Islam menghadapi tantangan global yang begitu menantang.

Nasr membuka uraiannya dalam buku ini dengan dimensi teologis Islam. Dalam bagian ini Nasr menekankan keterhubungan Islam dengan gugus agama besar lainnya, yakni Yahudi dan Kristen. Nasr menegaskan bahwa Islam mengimani Tuhan Yang Esa (monoteis) dan juga mengakui nabi-nabi sebelum Muhammad (nabi kaum muslim). Ini berarti bahwa Islam adalah bagian tak terpisahkan dari rumpun agama Ibrahim dan memandang dirinya terkait erat dengan kedua agama tersebut. Meski begitu, Islam mengklaim sebagai pelengkap kedua agama itu dan sebagai bentuk terakhir dari pesan monoteisme Ibrahim. Islam adalah agama primordial sekaligus agama terakhir, sehingga ini menggambarkan karakter universal Islam serta kemampuannya untuk menyerap secara intelektual dan kultural berbagai hal dari tradisi sebelumnya.

Universalitas keimanan yang diakui Islam ini selanjutnya mendapatkan dukungan dari pengalaman historis Islam itu sendiri, manakala Islam mengalami kontak langsung dengan hampir semua agama mayoritas yang ada: Yahudi dan Kristen di Arab, agama Zoroaster dan Manichaeisme di Persia, Hindu dan Buddha di India, dan juga agama-agama Cina. Ini menjadikan budaya Islam berkembang ke arah perspektif keagamaan yang mendunia dan kosmopolitan.

Salah satu wujud keterbukaan ini terlihat dalam beragam corak keberislaman yang berkembang di seantero dunia: ada Sunni, Syi’ah, Wahhabi, dan sebagainya. Yang menarik, kekayaan spektrum Islam ini menjadi kompleks saat Islam berhadapan dengan hegemoni Barat dalam bentuk kolonialisme, yang dimulai dari penyerangan Napoleon atas Mesir pada tahun 1798. Bermunculanlah beragam respons terhadap kemunduran posisi umat Islam dalam kancah dunia. Nasr mencatat tiga sikap umat Islam yang berkembang. Ada kelompok yang berpandangan bahwa kaum muslim menjadi lemah karena penyimpangan yang terjadi dari ajaran keimanan yang murni, ada kelompok yang meyakini Mahdiisme, dan ada kelompok yang mendukung proses modernisasi Islam.

Meski demikian, Nasr mencatat bahwa ketiga sikap tersebut bukanlah yang dipilih oleh kebanyakan umat Islam. Menurut Nasr, “muslim tradisional” lebih memilih untuk merawat keberlangsungan tata cara hidup dan pemikiran Islam tradisional, bukannya mengedepankan reaksi dan apologi. Tentu saja ini tidak menafikan perlunya langkah pembaruan. Kelompok ini bukannya menentang apa saja yang datang dari Barat, tetapi lebih kepada penolakan atas pengaruh merusak dari budaya modern Barat yang mengancam nilai-nilai Islam—sama halnya juga bahwa ada sejumlah hal yang mengancam nilai-nilai Kristen dan Yahudi di Barat.

Pada bagian ini Nasr menggarisbawahi bahwa muslim tradisional ini tidak mengenal aksi-aksi kekerasan dalam menjaga keberlangsungan Islam. Tindakan yang islami adalah mempertahankan dan melakukan pembelaan diri. Kekerasan, bila bukan untuk pembelaan diri, dengan dalih apa pun tidak dibenarkan Alquran dan syariat.

Mengenai fenomena “fundamentalisme” yang kerap melancarkan aksi kekerasan atas nama agama, Nasr memberi catatan bahwa kita perlu melihat konteks terjadinya tindakan-tindakan kekerasan yang dimotori kaum fundamentalis itu dengan cara yang sama yang dengannya Barat mampu meletakkan peristiwa semacam pembersihan etnis oleh Serbia dalam konteksnya, dengan tidak mengidentifikasi kejadian tersebut sebagai tindakan yang hanya terkait dengan agama semata. Artinya, harus diklarifikasi latar belakang kejadian tersebut, dan jangan langsung secara apriori dikaitkan dengan agama. Nasr juga melancarkan kritis yang pedas bahwa sebenarnya tidak cuma fundamentalisme dalam agama yang berpotensi dogmatis, ekstrem, dan fanatik, tetapi juga fundamentalisme sekuler yang juga mampu mendatangkan agresi terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Di bagian yang lain, Nasr juga berbicara tentang Hukum Tuhan, dan menegaskan bahwa syariat tidak hanya suatu hukum positif yang konkret, tapi juga suatu kumpulan nilai dan kerangka bagi kehidupan keagamaan kaum muslim yang mengandung nilai-nilai etis dan etos keagamaan itu sendiri. Inilah yang menjadi landasan bagi terciptanya suatu ummah (komunitas) yang diridai Tuhan. Dengan demikian, Nasr mengingatkan bahwa dari perspektif Islam, nilai suatu masyarakat di mata Tuhan terletak pada kualitas kebajikannya, ketinggian moralnya, dan bukan pada jumlah kekuasaannya.

Di tiga bab terakhir dari tujuh bab buku ini, Nasr menegaskan komitmen Islam terhadap nilai cinta, kedamaian, keadilan, dan tanggung jawab kemanusiaan.
Uraian dan refleksi Nasr yang begitu gamblang sepanjang buku ini bermakna penting karena Nasr mengajak kita untuk menemukan dan merengkuh kembali makna keberimanan dan keberislaman yang sejati dalam konteks sosial global saat ini. Yang khas dari Nasr adalah perspektif filosofis dan perennial yang begitu kental, sehingga paparannya tampak sebagai langkah introspeksi dan evaluasi diri terhadap berbagai segi ajaran mendasar agama untuk dikembalikan ke jantung maknanya yang hakiki. Langkah meneguhkan kembali nilai-nilai kebajikan dan kebijaksanaan dalam agama semacam inilah yang amat diperlukan saat ini menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks dan berat.



Tulisan ini dimuat di Harian Surya, 20 Juni 2004.

Read More..