Minggu, 29 Februari 2004

Bercermin pada Kisah Rumi

Judul buku: The Way of Love: Jalan Cinta Rumi
Penulis: Nigel Watts
Penerjemah: Hodri Ariev
Penerbit: Gramedia, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2003
Tebal: xvi + 237 halaman


Orang-orang ternama memang kerap menyimpan kisah perjalanan hidup yang menarik. Lika-liku kehidupan mereka penuh romantika, pasang-surut, dan menapaki tangga-tangga proses hidup yang tidak selalu mulus. Buku ini adalah sebuah sketsa biografis Jalaluddin Rumi (1207-1273), seorang sufi besar yang dikenal dengan puisi-puisi cintanya yang memukau. Model penyajiannya yang berbentuk novel menjadi daya tarik tersendiri dari buku ini, bagi peminat sufisme pada umumnya maupun pengagum Rumi pada khususnya.

Novel berjudul The Way of Love ini tidak menyajikan seluruh rentang perjalanan Rumi sepanjang hidupnya, tapi lebih menekankan pada romantika persahabatan Rumi dengan Syams dari Tabriz, seorang penyair sufi pengelana. Bisa dimengerti mengapa Nigel Watts, penulis novel ini, memilih untuk membidik segi kehidupan Rumi yang satu ini. Syams adalah sosok yang sangat berpengaruh dalam perkembangan spiritual Rumi, bahkan dialah yang mengubah haluan hidup Rumi untuk masuk ke kehidupan sufi.

Kisah novel ini dibuka dengan peristiwa meninggalnya Baha Walad, ayah sekaligus guru pertama Rumi yang sangat dicintai Rumi dan masyarakat kota Konya (sekarang di wilayah Turki), tempat mereka tinggal. Rumi sangat terpukul dengan kematian ayahnya itu. Setelah melewati masa berkabung, tibalah saatnya bagi Rumi untuk menggantikan posisi ayahnya sebagai syeikh dan pembimbing masyarakat Konya. Rumi merasa tidak siap, sampai kemudian datang Sayyid Burhan, murid dan sahabat ayahnya, yang kemudian menemani Rumi belajar dan menempa diri.

Kehausan Rumi untuk mendalami pengetahuan agama mengantarkannya pada pengembaraan selama tujuh tahun, bersama istri dan anaknya, Burhan, dan Husam sahabatnya. Rombongan kecil ini berkelana mencari orang-orang saleh untuk menimba pengetahuan dan kebijaksanaan. Di akhir pengembaraan itu, Rumi sempat berjumpa Syams di pasar Damaskus yang muncul dengan pakaian compang-camping sebagai pengemis.

Tapi kehadiran Syams yang betul-betul menghujam dalam kehidupan Rumi dimulai ketika Syams datang menemui Rumi di Konya, setelah Syams diberi tahu oleh Ruknuddin Sanjabi, seorang saleh, bahwa putera Baha Walad di Konya akan menjadi sahabatnya mendalami rahasia-rahasia besar Allah.

Persahabatannya dengan seseorang semacam Syams memang begitu dirindukan Rumi. Dimulailah kemitraan mereka berdua menggapai jalan cinta menuju Tuhan. Rumi mabuk di jalan itu. Rumi, yang semula seorang fakih terkemuka dan menjadi guru masyarakat kota Konya, meninggalkan jubah keprofesorannya, menyelam ke kedalaman dunia sufi bersama Syams, Sang Matahari dari Tabriz. Rumi, yang saat itu hampir mendekati usia 40 tahun, mulai menuliskan puisi-puisi cinta sebagai ungkapan dari penemuan-penemuan mistiknya bersama Syams. Kelak, Rumi menulis sebuah buku berjudul Dîwân Syams-I Thabrîz untuk mengenang dan menghormati sahabatnya itu. Karya ini juga diakui menjadi buku pokok untuk memahami ajaran-ajaran sufi Rumi, selain Masnawî.
Namun demikian, kehadiran Syams dalam kehidupan Rumi bagi sebagian masyarakat Konya dianggap sebagai bencana. Syams dipandang menghancurkan kehidupan Rumi, bahkan menjerumuskannya ke dalam perbuatan-perbuatan yang tidak pantas. Misalnya, bersama Syams, Rumi mengembangkan tarian sama’, sebuah gerakan berputar yang diiringi dengan musik yang kemudian menjadi bagian dari tradisi Tarekat Maulawiyah, yang oleh masyarakat Konya dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Kebencian masyarakat Konya terhadap Syams sempat membuat Syams pergi meninggalkan Rumi. Tapi Rumi mencari Syams dan akhirnya kembali ke Konya. Syams dan Rumi juga pernah diadili di Konya atas dasar tuntutan beberapa masyarakat yang mengeluh atas perilaku mereka.

Akhir yang mengenaskan adalah ketika ternyata Syams dibunuh oleh ‘Ala’uddin dan beberapa santrinya, putera kedua Rumi yang mengkhawatirkan keadaan ayahnya. Sultan Walad, putera sulung Rumi yang menuturkan semuanya. Tapi, rahasia akhirnya tersingkap. Dalam keterpukulan Rumi atas tragedi besar itu, tumbuhlah rasa tawakal dan kesadaran baru bahwa kematangan spiritual dirinya memang harus melewati ujian perpisahan dengan Syams tercinta.

Ini kemudian dirumuskan dalam teori Rumi tentang kefanaan, yang diungkapkan sebagai berikut: “Apakah arti ilmu tauhid? Hendaklah kau bakar dirimu di hadapan Yang Maha Esa. Seandainya kau ingini cemerlang bagai siang hari, bakarlah eksistensimu (yang gelap) seperti malam; dan luluhkan wujudmu dalam Wujud Pemelihara Wujud, seperti luluhnya tembaga dalam adonannya.”

Meski tidak memuat seluruh perjalanan hidup Rumi, buku ini menjadi sangat menarik dalam formatnya sebagai novel. Dengan gaya bertutur yang lincah dan menggugah, kisah hidup Rumi menjadi lebih tersaji dengan penuh kedalaman dan detail yang menyentuh. Sebagai sebuah buku biografi, tidak salah bila Nigel Watts memilih format novel, karena dengan begitu akan bisa menampung dimensi-dimensi emosional dan kedalaman perasaan yang juga lekat dalam ajaran-ajaran dan dunia sufisme. Pembaca akan lebih mudah terlibat dalam suasana hidup tokoh yang dikisahkan, masuk ke dalam kemelut perasaan dan pergolakan batinnya. Mutiara kebijaksanaan akan lebih mudah ditemukan dalam ungkapan-ungkapan yang menyapa hati, seperti dalam novel ini.

Pemilihan fokus cerita pun sangat tepat. Sosok Syams dari Tabriz yang begitu dicintai dan dihargai Rumi bisa menjadi isyarat betapa memang benar bahwa Syams telah mengubah hidupnya. Perjumpaan, persahabatan, ketulusan, dan perpisahan Rumi dengan Syams dapat menjadi cermin cemerlang yang memberi kemilau permata hikmah hidup yang fitri.


Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 29 Februari 2004.

Read More..

Senin, 16 Februari 2004

Merawat Khazanah Budaya Lokal

Setelah diterbitkannya Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, banyak yang berharap bahwa konsep otonomi daerah yang sudah diatur oleh UU No. 22/1999 terutama dalam bidang pendidikan akan dapat dibicarakan dengan lebih leluasa oleh putera-putera daerah sendiri. Ada sebentuk harapan bahwa kekayaan nuansa dan kekhasan warna khazanah lokal di daerah akan dapat dijelajahi dengan lebih mendalam untuk kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam praktik pendidikan di daerah.


Namun demikian, sejauh ini perbincangan soal pendidikan di daerah yang secara khusus ditangani oleh Dewan Pendidikan masih banyak terfokus pada masalah-masalah teknis seperti ketersediaan guru di sekolah terpencil, bantuan dana pendidikan, dan semacamnya. Mungkin saja ini adalah persoalan-persoalan yang memang mendesak di daerah, setelah sekian lama sentralisme politik Orde Baru memburatkan dampak yang mewujud dalam terlantarnya pengelolaan pendidikan terutama di daerah pelosok (baca: pemerataan pendidikan).


Tulisan singkat ini ingin membuka kembali perbincangan tentang salah satu segi dari otonomi pendidikan di daerah—yang salah satu wujudnya adalah dibentuknya Dewan Pendidikan—dalam hubungannya dengan pengelolaan khazanah lokal, khususnya di Kabupaten Sumenep. Perlu ditegaskan bahwa tulisan ini berpegang pada asumsi bahwa praktik pendidikan tidak dapat dilepaskan dari aktivitas pembudayaan. Pendidikan bukan hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi berupa penyediaan tenaga kerja. Usaha pendidikan bukan hanya dilakukan untuk menjadi pelayan bagi sistem ekonomi kapitalistik, karena bila demikian maka pendidikan hanya akan terjerat dalam jaringan sistem ketergantungan global yang menjadi ciri hubungan internasional saat ini (Abdurrahman Wahid, 1984, “Pembebasan Melalui Pendidikan: Punyakah Keabsahan?: Tinjauan Sepintas Atas Sebuah Pendekatan”, kata pengantar dalam buku Paulo Freire, Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan, PT Gramedia, Jakarta, hlm. xvi-xvii).


Bila pendidikan dilihat sebagai kerja kebudayaan, maka salah satu konsekuensinya dalam konteks otonomi daerah adalah perlunya penggalian khazanah kebudayaan lokal untuk dijadikan titik-tolak praktik pendidikan sekaligus dengan menjadikan pendidikan sebagai media sosialisasi khazanah kebudayaan lokal lintas-generasi. Ini tentu saja mengandaikan tersedianya bahan-bahan mentah yang nantinya akan diolah baik untuk kepentingan penanganan pendidikan di daerah.


Contoh konkret yang bisa diajukan dalam konteks Sumenep di sini adalah persoalan sejarah. Sumenep memiliki sejarah yang cukup panjang yang merentang berabad-abad hingga kini. Sejarah suatu masyarakat sebagai bagian dari wujud keberadaban manusia dapat menjadi bagian dari kesadaran warganya untuk bertindak dan mengelola tanah kelahirannya. Sejarah memuat nilai dan menghimpun berbagai kearifan. Persoalannya saat ini sejarah lokal mengalami himpitan luar biasa dari arus globalisasi untuk menemukan ruang sosialisasinya yang efektif. Berbagai fasilitas sosial yang dapat merujukkan pengalaman aktual para generasi baru kepada tatanan nilai para pendahulunya kurang mendapat tempat yang cukup diperhatikan. Museum-museum sudah terlalu kering dan hambar, pelajaran sejarah lokal di sekolah tidak ditemukan, dan kesenian-kesenian daerah kalah dengan musik-musik populer. Pun, tak ada lagi cerita sebelum tidur tentang legenda-legenda masyarakat daerah, karena para orang tua sudah digantikan perannya oleh sang kotak ajaib bernama televisi (M. Mushthafa, “Menghargai Sejarah”, Jawa Pos, 13 April 2003).


Sungguh menggembirakan ketika tersiar kabar melalui situs resmi Pemda Sumenep (www.sumenep.go.id, update berita tanggal 3 September 2003) bahwa Pemerintah Daerah melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan akan meluncurkan buku sejarah tentang Sumenep. Buku sejarah yang disusun melibatkan tokoh-tokoh budaya terkemuka seperti H. D. Zawawi Imron, Edi Setiawan, RB. Ahmad Rifa’i, dan sejarawan Edi Mukarram ini akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang kurang cukup menemukan media memadai untuk menyelami sejarah masyarakatnya. Menurut penulis, buku sejarah semacam ini berfungsi tidak hanya “untuk meluruskan kebenaran sejarah Sumenep, karena dilihat dari beberapa sumber buku sejarah yang ada terjadi kesimpang siuran,” seperti dinyatakan oleh Kepala Dinas Pariwisaata dan Kebudayaan Sumenep, Iskandar Sulkarnain, tapi juga dapat menjadi pengaya wawasan dan sudut pandang sebagai suluh untuk membawa Sumenep ke masa depan yang lebih gemilang.


Berkaitan dengan hal ini, tidak ada salahnya bila kemudian dibuka kemungkinan dimanfaatkannya buku sejarah Sumenep tersebut untuk dijadikan sebagai bagian dari pelajaran formal di sekolah di Kabupaten Sumenep. Kemungkinan ini akan menarik dilanjutkan untuk didiskusikan bila menimbang beberapa hal (M. Mushthafa, “Pendidikan Nilai dan Khazanah Lokal”, Kompas, 24 April 2003). Pertama, dari segi kegunaan, dimasukkannya pelajaran sejarah lokal (Sumenep) di sekolah akan dapat menjadi bagian dari proses sosialisasi yang saat ini cukup sulit menemukan media yang berdaya guna. Khazanah sejarah yang juga bisa disebut tradisi ini pada titik tertentu dapat menjelma visi dan orientasi bersama yang dapat mengarahkan gerak maju masyarakat. Dalam ranah tersebut pula dimungkinkan terjadinya proses dialog-kreatif baik bersifat personal-eksistensial maupun sosial-kolektif antara kondisi konkret kekinian yang dihadapi masyarakat dan nilai-nilai keberadaban yang termuat dalam sejarah yang menjadi muasal akar hidup masyarakat itu sendiri. Kedua, saat ini juga telah tersedia sejumlah sumber tentang Madura pada umumnya selain buku sejarah Sumenep yang diterbitkan Pemda tersebut, seperti disertasi Prof. Kuntowijoyo berjudul Madura 1850-1940 yang diterbitkan oleh Penerbit Mata Bangsa Yogyakarta (ulasan tentang buku ini, lihat M. Mushthafa, “Determinasi Ekologi dalam Sejarah Madura”, Sinar Harapan, 13 September 2003), Carok karya Dr. A. Latief Wiyata yang diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta (ulasan tentang buku ini, lihat M. Mushthafa, “Carok, Ketika Malo Tada’ Ajina”, Gatra, 14 April 2002), Lebur yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia Jakarta, atau buku klasik Hubb de Jonge yang diterbitkan oleh Gramedia, Madura dalam Empat Zaman.


Belum lagi bila kemudian Pemerintah Daerah Sumenep memiliki political will untuk melibatkan kalangan muda, sebutlah misalnya kalangan mahasiswa, untuk bergabung dalam proses penggalian khazanah lokal ini. Wujudnya bisa dengan menginventarisasi karya-karya akademik atau penelitian semacam skripsi yang berhubungan dengan Sumenep untuk kemudian diolah dan dikumpulkan oleh Pemerintah Daerah. Bila ini dilakukan, akan terjadi keberuntungan ganda (simbiosis-mutualisme) antara pemerintah dan kalangan muda Sumenep: para muda akan merasa dihargai dengan kerja budaya yang dilakukannya dan pemerintah dapat memetik manfaat langsung dari mereka dengan himpunan data dan sejumlah analisis dari beragam perspektif yang bisa saja menjadi bahan pertimbangan untuk kebijakan publik tertentu. Ini berarti, medan partisipasi pembangunan daerah pada umumnya akan diperluas, tidak hanya dengan menjadikan sekelompok tertentu sebagai objek, tapi juga sebagai subjek untuk berbagi sudut pandang dan aspirasi. Hal semacam ini juga diharapkan dapat menarik perhatian para putera muda daerah untuk ikut intens memikirkan masa depan daerahnya, mengembalikan orientasi mereka kepada pembangunan daerah.


Ada arah timbal-balik yang manfaatnya akan dapat dirasakan oleh kedua belah pihak. Ini kira-kira tidak sama misalnya dengan program beasiswa kepada para mahasiswa yang diberikan oleh Pemda Sumenep yang selama ini sudah dilakukan (meskipun ada keluhan bahwa penyebaran informasinya masih kurang terbuka sehingga proses seleksinya kurang kompetitif), tapi tidak dibarengi dengan upaya untuk mengarahkan para penerima beasiswa itu untuk kepentingan daerah (misalnya dengan ditugasi untuk menulis semacam masukan saran atau pemikiran, tentu dengan bobot yang tidak main-main, kepada Pemerintah Daerah).

* * *

Hal-hal yang sudah dipaparkan secara singkat dalam uraian di atas bertolak dari asumsi bahwa saat ini kita sudah memiliki seperangkat aturan, lembaga, maupun juga keleluasaan yang dapat mengakomodasi kekayaan khazanah lokal, terutama dalam bidang pendidikan. Tak ada salahnya bila kemudian perangkat-perangkat tersebut lebih dimaksimalkan fungsi dan kegunaannya, dan dijadikan momentum untuk memperluas medan partisipasi dan jangkauan sudut pandang tentang pembangunan (pendidikan dan kebudayaan) di daerah. Khazanah yang terpendam sebaiknya terus gigih digali, dan apa yang sudah dimiliki terus dimanfaatkan dan ditindaklanjuti untuk dijelajahi nilai-nilai kegunaannya di masa kini.


Pada saat kecanggihan teknologi informasi dan globalisasi menyedot massa ke dalam arus global, amatlah penting untuk lebih menancapkan akar kedirian kita ke ranah tradisi yang lebih kukuh. Dalam persoalan ini, kita tidak bisa berharap bahwa tugas semacam ini akan dilakukan oleh orang lain.


Tulisan ini dimuat di Harian Radar Madura, Minggu, 15 Februari 2004.

Read More..