Selasa, 07 Oktober 2003

Tragedi Cendekiawan Orde Baru

Judul buku : Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru
Penulis : Daniel Dhakidae
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2003
Tebal : xxxviii + 790 halaman


Buku ini merupakan kajian komprehensif atas pergulatan kaum cendekiawan Indonesia berhadapan dengan negara Orde Baru, dengan diletakkan dalam kerangka dialektika kekuasaan, modal, dan kebudayaan. Daniel Dhakidae, penulis buku ini, di awal buku ini menyatakan bahwa memang cukup sulit untuk mengidentifikasi kaum cendekiawan ini, kecuali bahwa mereka diikat oleh mimpi, cita-cita, dan angan-angan tentang suatu jenis kehidupan dan bagaimana menghidupkan sekaligus menghidupi mimpi-mimpinya itu.

Untuk itulah secara cerdas Dhakidae menggunakan pendekatan analisis wacana politik untuk membedah perjalanan panjang kaum cendekiawan Indonesia. Pendekatan ini menitiktekankan pada sistem diskursif (juga termasuk budaya wacana kritis) yang berhubungan dengan kaum cendekiawan itu, dengan meneliti bagaimana kemunculan dan perjalanan sebuah situasi dan pergulatan mereka yang memungkinkannya terjadi dengan meneropong cara kerja dan efek yang ditinggalkannya.

Meski mengambil fokus rentang waktu masa Orde Baru, Dhakidae mencoba mengulas secara cukup tajam bagaimana kaum cendekiawan Indonesia bergulat dengan kaum kolonial, saling merebut wacana untuk mendapatkan kuasa. Pada bagian ini Dhakidae menfokuskan pada kebijakan politik etis yang cukup signifikan mengubah konfigurasi politik pra-kemerdekaan.

Proses pengambil-alihan wacana juga merupakan ciri yang melekat saat Orde Baru dimulai, ketika negara mendesakkan developmentalisme demi hegemonia militaris. Dalam buku ini Dhakidae menyebut Orde Baru sebagai sistem neo-fasisme militer. Ini tidak lain karena militer memegang peran sebegitu penting, bahkan dimulai sejak proses kelahiran Orde Baru di akhir tahun 1960-an, yang dalam operasionalisasinya bekerja bersama Golongan Karya. Keduanya begitu identik. Hegemoni tentara ini juga menyusup dalam sejarah resmi, ketika disahkan bahwa ABRI lahir pada tanggal 5 Oktober 1945 (padahal ini adalah tanggal kelahiran Tentara Keamanan Rakyat). Ada klaim keberperanan ABRI di awal kemerdekaan, tapi ketika konflik tentara yang memuncratkan darah dalam peristiwa tahun 1965 meledak maka organisasi sipil (PKI) yang dipersalahkan.

Kehadiran negara yang menggurita ini perlahan menguasai medan wacana politik sehingga seluruh lapis masyarakat terikat dalam suatu diskursus politik neo-fasis militer seperti ketenangan, harmoni, jalan tengah, upaya menghindari konflik, dan semacamnya. Menghadapi situasi ini sulit sekali—untuk tidak mengatakan tidak mungkin—menemukan kelompok “cendekiawan bebas”, karena mereka berhadapan dengan aparat ideologis dan aparat represif negara yang begitu kuat.

Di bab empat Dhakidae memberi ilustrasi yang cukup bagus, ketika mengurai perjalanan organisasi profesional kaum cendekiawan, Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS), dan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI). Seperti juga organisasi yang lain, kedua organisasi ini terkadang kehilangan otonominya untuk bersikap objektif dan kembali kepada landasan moral kerja-kerja intelektual, dan hanya menjadi pengesah kebijakan negara. Keterikatan organisasi profesional ini salah satunya terlihat ketika organisasi ini selalu diketuai oleh orang yang duduk di pemerintahan dan didominasi oleh kalangan birokrat yang bahkan kurang memiliki kualifikasi kecendekiawanan.

Kaum cendekiawan ilmu sosial sering mengalami existential schizzophrenia, kepribadian yang terpecah secara eksistensial. Terjadi kompartementalisasi antara diri seorang ilmuwan yang “ekonom” atau “sosiolog”, “pejabat”, “ilmuwan”, “manusia”, dan “warga negara”. Ruang diri yang enggan saling menyapa ini menggerogoti nilai-nilai moral absolut yang mestinya dimiliki oleh seorang cendekiawan, yang seperti dinyatakan oleh Julien Benda, berkait dengan nilai keadilan, kebenaran, dan akal, yang akan membentuk sikap seimbang, lepas dari kepentingan, dan rasional.

Kuasa negara juga terlihat dalam kontrol terhadap bahasa. Contohnya label PKI yang begitu mudah menyudutkan seseorang ke dalam stigma ekstra-negatif. Ketika Marsinah mengorganisasi gerakan buruh di tahun 1993, dia dituduh PKI. Ini sesuatu yang sulit diterima akal: bagaimana seorang yang baru berusia 20 tahun dan lahir jauh sesudah tragedi pembantaian PKI dituduh demikian? Ini yang disebut dengan disfemisme, ketika label PKI menjelma reifikasi entitas tersendiri yang lebih nyata dari kenyataan itu sendiri.

Di bagian lain, buku ini juga mengkaji dinamika pers serta kelompok-kelompok agama dan intelektual yang menjadi pos kaum cendekiawan berhadapan dengan negara.
Buku bagus ini (semoga) menandai dimulainya kembali tradisi penelitian serius di kalangan intelektual Indonesia. Yang terpenting, buku ini dapat menjadi bahan pelajaran yang berharga bagi bangsa yang sedang berbenah diri ini. Keterlibatan kaum cendekiawan di era reformasi sudah tidak lagi berada dalam bayang-bayang hegemoni negara. Tapi sejauh ini ada beberapa kritik yang menyayangkan keterlenaan mereka di atas euforia, sehingga kurang memberikan pengaruh signifikan dalam arus perubahan. Atau, mungkin saja kaum cendekiawan Indonesia masih tersubordinasi oleh kekuatan-kekuatan politik yang saling berebut wacana untuk menuai kuasa.



Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 5 Oktober 2003.


0 komentar: