Minggu, 07 September 2003

Familiisme Politik Orde Baru



Judul Buku: Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik
Penulis : Saya Sasaki Shiraishi
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia Jakarta bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation
Cetakan: Pertama, April 2001
Tebal: x + 290 halaman
Harga: Rp 30.000,-


Di antara sekian banyak kosakata yang kerap kali digunakan dalam bidang politik terselip ungkapan-ungkapan yang memiliki hubungan erat dengan dunia keluarga. Dalam otobiografi mantan Presiden Soeharto misalnya terdapat ungkapan yang menyebutkan bahwa menteri-menteri di pemerintahannya disebutnya sebagai anak-anaknya. Dalam sebuah konflik atau pertentangan yang bersifat sosial atau politik dikenal ungkapan ‘penyelesaian dengan cara kekeluargaan’.

Gejala seperti ini bagi orang kebanyakan mungkin dianggap sesuatu yang wajar dan biasa—mungkin disebut-sebut sebagai kekhasan ‘budaya timur’. Akan tetapi, bagi Saya Sasaki Shiraishi, penulis buku ini, hal itu bukan suatu kebetulan yang tak ada artinya. Dalam buku ini Shiraishi menunjukkan secara jernih dan argumentatif bahwa ada suatu hubungan yang erat antara politik dan keluarga di Indonesia, dan itu berpengaruh bagi keberlangsungan pengelolaan dan proses hidup bernegara di negeri ini.
* * *

Buku ini sendiri, yang semula adalah disertasi di Departemen Antropologi Cornell University pada tahun 1997, ditulis dengan tujuan meneliti dan mencari kemungkinan untuk menerobos, dan akhirnya menyingkap, susunan antropologis dan kultural masyarakat Orde Baru Indonesia yang amat tertekan dan tertindas. Mengapa dalam bayang-bayang ketertindasan itu masyarakat tetap bisa dikendalikan untuk tidak melawan secara frontal.

Kesimpulan penting yang diajukan buku ini adalah bahwa ada sebuah ideologi samar yang nyaris tak disadari yang menuntun dan membimbing jalannya sejarah politik di Indonesia—tidak hanya pada masa Orde Baru. Itulah ideologi keluarga atau familiisme. Gambaran sederhana yang dapat diberikan tentang ideologi ini adalah fakta bahwa dalam proses interaksi kehidupan berbangsa di Indonesia ada semacam isomorfisme antara hubungan guru dan murid, presiden dan rakyat atau pembantu pemerintahannya, pimpinan militer dan pasukannya, ketua organisasi dan anggotanya, dengan pola hubungan yang diatur oleh prinsip-prinsip yang sama dan dinyatakan dalam bahasa kekeluargaan yang menunjuk kepada bapak/ibu dan anak. Bahasa kekeluargaan ini ditopang oleh gagasan tentang keluarga, yang menyamakan sekolah sebagai keluarga, ABRI sebagai keluarga, perusahaan sebagai keluarga, dan bangsa sebagai keluarga (hal. 5).

Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah konsep keluarga yang mana yang dominan dalam ideologi familiisme ini, sementara di Indonesia ada keragaman khazanah budaya yang juga meliputi sistem keluarga yang tiada terkira.

Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan ketika secara cukup tajam dan argumentatif, penulis buku ini secara historis melacak ideologi familiisme di Indonesia yang ternyata berasal-usul dari masa sebelum kemerdekaan. Familiisme dalam politik ini sudah menjadi suatu perdebatan antara tokoh nasionalis Jawa yang juga pendiri Taman Siswa, Soetatmo Soerjokoesoemo, yang didukung kuat oleh Ki Hajar Dewantara, dengan seorang tokoh nasionalis Hindia, Tjipto Mangoenkoesoemo. Model familiisme Soetatmo adalah model Soeharto, Bapak-tahu-segala (Fathers-knows-best) yang reaksioner dan model Tjipto adalah model hubungan bapak-anak yang revolusioner (hal. 131).

Peristiwa Rengasdengklok yang melibatkan Soekarno dan merupakan detik-detik revolusioner menuju momen proklamasi oleh penulis buku ini digambarkan secara jernih sehingga menunjukkan gaya hubungan bapak-anak yang revolusioner. Saat itu Soekarno (sebagai bapak) ditangkap, diculik, dan dibawa oleh anak buahnya sendiri dipaksa untuk mengikuti kemauan mereka untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Akan tetapi, model revolusioner hubungan bapak-anak ini tidak bertahan lama karena begitu kuatnya pengaruh kuat familiisme ala Ki Hajar Dewantara yang diinvestasikan melalui media Taman Siswa selama masa pra-kemerdekaan. Model familiisme Ki Hajar inilah yang dominan, hingga secara pasti diperankan oleh Soeharto dalam peristiwa G-30-S tahun 1965. Dalam peristiwa ini, menurut analisis dan penafsiran penulis buku ini, Soeharto bertindak mengamankan kehangatan hidup keluarga (bangsa) yang terenggut oleh semangat revolusioner yang berlebihan ini dan menempatkan hubungan bapak-anak dalam pola yang harmonis: ayah yang bijak, ibu yang penuh perhatian, anak yang tahu-diri, tugas dan tanggung jawab. Inilah gerakan dan pola pikir yang bersifat kontra-revolusioner dalam pola hubungan bapak-anak.
* * *

Memulai rezim Orde Baru yang dibangunnya, Soeharto kemudian menempatkan dirinya sebagai Bapak Tertinggi (Supreme Father) bagi bawahannya dan rakyat Indonesia. Prinsip harmoni dalam keluarga merupakan kunci pengaturan negara yang memungkinkan rakyat (anak) tak berani menentang pemerintah (bapak)—anak yang tahu diri.

Pengaruh pemikiran-pemikiran Ki Hajar yang dalam buku ini disebut sebagai gabungan dari kreasi pemikiran Jawa-Belanda seringkali terlihat dari pernyataan Soeharto, seperti seringnya penggunaan semboyan tut wuri handayani. Arti petikan tersebut yang tidak lain adalah “membimbing dari belakang” pada dasarnya bermakna pemberian kesempatan bagi seorang anak untuk membina diri sendiri secara wajar dengan bimbingan orang tua (bapak) di belakang yang siap memberi petunjuk bila ada kesalahan. semboyan yang seringkali dikutip dalam panggung politik di Indonesia.

Akan tetapi, sayangnya, ketika dialihkan ke dalam khazanah politik nasional, semboyan itu ternyata tidak lagi dipahami sebagai upaya bimbingan dari belakang, malah mengisyaratkan adanya mata yang siap menghukum dan mengawasi dari belakang, yang siap menerkam kebebasan si anak itu sendiri.

Sementara itu, bapak-bapak Orde Baru yang merupakan bapak dari generasi kontra-revolusioner mewarisi corak dualisme bahasa kolonial antara komitmen terhadap hukum peraturan organisasi di satu pihak dan toleransi dan kesewenang-wenangan atas nama ikatan keluarga di pihak lain. Aturan dan peraturan hukum disiasati, sehingga lahirlah ungkapan terkenal: semua bisa diatur.

Ideologi familiisme ini selama Orde Baru dibangun melalui sarana sekolah, birokrasi, perusahaan, kantor, dan semacamnya. Pelajaran Bahasa Indonesia yang menurut penulis buku ini sama sekali belum memiliki acuan sosiologis yang jelas juga disusupi familiisme dalam proses pengajarannya terhadap anak-anak sekolah.
* * *

Dengan meminjam terminologi dan pola kerangka pikir yang digunakan penulis buku ini, saat ini kita semua sedang menyaksikan pola hubungan bapak-anak yang cukup rumit dan membingungkan. Para bapak sedang ribut berebut kursi kekuasaan dan membiarkan anak-anaknya terlantar. Sementara itu, beberapa anak malah mengancam memisahkan diri, dan yang lain sibuk bertengkar memperebutkan sepiring nasi.

Haruskah keluarga bangsa ini hancur lebur atas nama reformasi dan demokratisasi? Buku ini memang telah cukup bagus dan dengan cerdas memaparkan kekurangan-kekurangan pola hubungan bernegara yang telah menerpurukkan bangsa ini dalam krisis berkepanjangan. Karena itulah, dari buku ini, kita bersama hendaknya dituntut mendefinisikan ulang pola hubungan hidup bernegara ini dalam kerangka sistem negara yang lebih ajek. Kritik yang diajukan buku ini sehubungan dengan menguatnya pola ideologi familiisme adalah ketika kekeliruan dalam dunia politik dilihat semata sebagai soal individu—seperti dalam keluarga. Bertolak dari ini, saat ini kita semua mesti berpikir tentang landasan sistemik yang bersifat struktural untuk menghadang segala kemungkinan buruk dari sistem kultur yang sedemikian ini.

Dari paparan di atas, buku ini menampakkan nilai signifikansinya dalam kehidupan bangsa ini. Dengan menggunakan data-data lapangan berupa peristiwa-peristiwa keseharian di tingkat keluarga yang sederhana (menjemput di terminal, arisan, pernikahan, kelahiran, dan sebagainya) hingga buku-buku dan majalah, buku ini berhasil mengungkap satu sisi budaya politik yang tanpa sadar menyeret bangsa Indonesia ke titik krisis yang belum juga teratasi. Buku ini memberikan peringatan dan pelajaran sejarah bangsa demi membangun masa depan bangsa dan kebudayaannya yang lebih baik.


Tulisan ini dimuat di Harian Sinar Harapan, 6 September 2003.


0 komentar: