Sabtu, 24 Mei 2003

Agenda Kekuasaan dan Agenda Peradaban

Dahulu, ketika negeri ini masih berada dalam cengkeraman rezim totaliter Orde Baru, banyak orang yang mengimpikan datangnya babak pembebasan: sebuah ajang ekspresi bebas tuduhan subversi yang memberi ruang luas bagi ekseprimentasi gagasan dan harapan suci. Sang Mesiah pun datang dengan nama Reformasi. Nabi tanpa kitab suci ini pun dikutip di mana-mana, yang seperti menjanjikan pembebasan semua warga negara untuk merayakan otonominya.

Gelora gairah tibanya reformasi dirasakan melecut semua hal, dari konstelasi politik nasional hingga lokal. Di tingkat lokal, lalu-lintas peristiwa terjalin amat kental karena secara langsung melibatkan persepsi dan partisipasi masyarakat bawah terhadap manuver elit-elit masyarakatnya. Angin perubahan yang dihembuskan arus reformasi pada beberapa kasus lokal terlihat begitu kuat, terutama menyangkut perubahan konfigurasi-konfigurasi politik yang direpresentasikan oleh kekuatan partai politik. Sebuah partai yang dahulu menjadi kekuatan mayoritas bisa jadi terpuruk habis kekuatannya karena sudah tidak mempunyai kesempatan untuk membodohi rakyat, atau dukungannya beralih ke partai lain yang baru didirikan.

Partai politik pun menjadi sebuah kekuatan politik baru yang cukup mendapat peluang terbuka untuk menggalang kekuatannya tanpa harus cemas pada ancaman politik dan intimidasi pihak penguasa yang dulu bekerja sama dengan kekuatan militer. Fenomena di daerah memperlihatkan bahwa berbagai kekuatan elit masyarakat yang pada masa Orde Baru bersikap netral (mungkin apatis, sinis, atau pesimis) terhadap kekuatan partai politik mulai keluar ke forum publik dan mencari tempat yang cocok di berbagai kekuatan politik yang ada. Paska-pemilu pun konstelasi semakin berubah: pos-pos kekuasaan yang cukup signifikan dipegang kelompok yang dulu terpinggirkan. Di sinilah pluralisme kekuatan politik betul-betul terlihat.

Pertanyaan sederhana yang cukup menggelitik bisa diajukan dalam konteks kiprah baru para elit masyarakat ini di kancah partai politik dan kekuasaan: apa yang sudah dan dapat diperankan mereka untuk memanfaatkan peluang reformasi guna memperbaiki kehidupan masyarakat? Tentu yang paling berhak menjawab hal ini adalah para elit sendiri sehingga pertanyaan ini mesti dilihat dari sisi reflektif-introspektif, bukan dari sudut pandang interogatif.

Tumpahnya berbagai kekuatan elit masyarakat ke kancah partai politik adalah bagian dari euforia reformasi, ketika sentralisme kekuasaan pecah berkeping-keping. Kepingan-kepingan itu tentu saja dipandang cukup layak diperebutkan sehingga dalam level tertentu terlihat betapa perebutan bola kekuasaan sedemikian keras. Ini yang terkadang membuat kita khawatir: akankah iklim kebebasan berekspresi hanya akan memperkokoh primordialisme dan komunalisme?

Kembali ke soal partai politik, mungkin kita perlu mundur sedikit ke belakang menyegarkan ingatan dan pengertian kita tentang apa sebenarnya partai politik, keterbatasan dan jangkauan perannya. Dalam buku klasik para mahasiswa ilmu politik yang ditulis oleh Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, dinyatakan bahwa partai politik bertujuan ‘untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka’ (1996: 161). Jelas bahwa partai memang lebih mengagendakan penguasaan pos-pos kekuasaan, tentu dengan niat untuk mewujudkan orientasi nilai bersama (visi dan misi) yang dimiliki kelompok tersebut.

Persoalan yang bisa diajukan adalah bagaimana bila nyatanya pengelola partai politik itu sendiri, terutama di daerah, masih relatif miskin visi dan orientasi sehingga yang terjadi hanya semacam seremonialisme dan birokratisme. Dugaan ini terutama muncul dalam konteks partisipasi dan sosialisasi politik. Bagaimanapun, selain agenda kekuasaan yang terepresentasi dalam momen pemilu, partai politik juga (mestinya) mengemban fungsi komunikasi dan sosialisasi politik. Artinya, partai politik juga harus dapat membantu masyarakat untuk ‘memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik’ (Miriam Budiardjo, 1996: 163). Dalam ungkapan sederhana, partai politik harus bisa memberi pengertian yang proporsional bagi masyarakat terhadap persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi mereka sehari-hari di daerah (ekonomi, sosial, dan politik). Kemampuan pembacaan inilah yang saat ini dibutuhkan, sehingga akhirnya masyarakat dapat memiliki sikap kritis dan menjadi modal awal untuk advokasi diri mereka sendiri.

Kenyataannya, partai politik lebih suka membiarkan rakyat buta warna: mereka lebih suka tetap dijadikan bebek, sehingga suara mereka nanti tetap dapat dijaring dalam pemilu.

Jalan pembebasan dan arah perbaikan yang lebih maju yang dtempuh via partai politik memang tidak bisa diabaikan signifikansinya. Tapi di tengah mandulnya fungsi-fungsi partai politik ini, mestinya para elit masyarakat dapat menimbang dan lebih menegaskan kembali pilihan keterlibatannya untuk memperjuangkan masyarakat ini, sehingga langkah-langkah yang diambilnya tidak sia-sia. Apalagi bila sebenarnya beberapa elit tersebut sudah memiliki peran yang cukup definitif di komunitasnya.

Catatan terakhir yang hendak dirangkum uraian singkat ini adalah bahwa di atas segalanya, agenda reformasi dan agenda politik terpenting pada dasarnya selalu bertumpu pada agenda peradaban. Politik adalah salah satu segi kehidupan kemanusiaan, seperti juga ekonomi atau agama. Cukup tepatlah kiranya kemudian untuk mengatakan bahwa dengan demikian politik juga harus diletakkan dalam kerangka agenda peradaban, penciptaan masyarakat yang lebih beradab yang mampu bersifat tanggap, jernih, dan proporsional. Partai politik adalah salah satu media ke sana, dengan segala keterbatasan dan kelebihannya.

Dengan melihat politik sebagai sebuah kerja peradaban, maka konsen politik pada dasarnya bukan hanya pada soal “kekuasaan”. Politik bukan hanya kerja sesaat untuk menggenggam tampuk otoritas kekuasaan, tapi politik adalah kerja antar-generasi untuk menjunjung martabat kemanusiaan dengan sinaran permata-suci keberadaban. Karena itulah, kepedulian terhadap soal pencemaran lingkungan, peningkatan taraf pendidikan (kemampuan baca-tulis, minat belajar), konservasi warisan budaya, juga dibutuhkan.

Setelah reformasi lima tahun berlalu, sebagian besar masyarakat kembali terjebak dalam lalu-lintas keseharian yang tak kalah pelik, dan terkadang melupakan bahwa apa yang hendak direformasi itu bukan hanya mengacu kepada orang-orang, melainkan sejumlah sikap dan perilaku, sejumlah cara pandang, ketika masyarakat diperlakukan hanya sebagai objek tak berkesadaran dan ditelantarkan begitu saja.

Tulisan ini dimuat di Harian Pontianak Post, 23 Mei 2003.

Read More..

Minggu, 11 Mei 2003

Remaja, Kenali Diri Hadapi Globalisasi

Judul buku : It’s My Life!: Diary Plus Buat Remaja
Penulis : Tian Dayton
Penerbit : Kaifa, Bandung
Cetakan : Kedua, Februari 2003 (Cet. I November 2002)
Tebal : 278 halaman


Kaum remaja saat ini menghadapi tantangan masa depan yang cukup berat. Ketika persaingan hidup semakin ketat dan tuntutan kreativitas juga semakin mengemuka, kaum remaja masih harus berhadapan dengan godaan arus global yang memanfaatkan kerapuhan psikologi mereka. Rayuan globalisasi ini biasanya bekerja dengan pencitraan-pencitraan identitas diri menurut kepentingan kapital yang hanya dapat melahirkan generasi-generasi penurut, tidak kritis, apatis, dan miskin visi masa depan. Sulitnya lagi, dari segi usia, masa remaja merupakan medan pencarian identitas diri, ketika sang remaja juga diliputi tuntutan tanggung jawab, egoisme, dan keinginan ekspresi kebebasan yang meluap.

Globalisasi jelas-jelas memfasilitasi—atau mungkin, lebih tepatnya, memanfaatkan—dimensi-dimensi semacam ini untuk menancapkan pengaruhnya. Sarana yang paling ampuh tentu adalah media komunikasi dengan efek pencitraan yang dimilikinya. Dalam situasi seperti ini, seorang remaja menjadi cukup tidak mudah untuk merumuskan kediriannya secara lebih independen dan berdasar pada pembacaan diri yang jernih. Apalagi globalisasi juga diiringi dengan tarikan yang cukup kuat ke arah gaya hidup tertentu yang juga mengglobal. Krisis identitas inilah yang pada akhirnya dapat menjadi benih bagi krisis kemanusiaan di abad ini.

Dalam konteks tersebut di atas, buku ini sungguh patut diacungi jempol karena menyediakan sebuah ruang penjelajahan diri yang cerdas dan menyenangkan untuk kaum remaja. Buku ini format dasarnya berbentuk catatan harian, tapi sudah disusun sedemikian rupa oleh penulisnya sehingga di satu sisi dapat mengungkapkan dan mengeksplisitkan identitas diri melalui tulisan, dan di sisi yang lain dapat memanfaatkan langkah pengenalan diri tersebut untuk memberikan motivasi, visi, dan kekuatan jiwa menghadapi tantangan masa depan.

Ada lima wilayah yang dibidik buku ini dalam proses penjelajahan pengenalan diri kaum remaja: diri sendiri, keluarga dan teman, pengelolaan perasaan, kemandirian menjalani hidup, dan visi masa depan. Setiap bagian, atau bahkan sub-bagian tertentu, diawali dengan semacam orientasi singkat terhadap makna masing-masing bagian tersebut dari perspektif psikologi remaja. Kemudian ada semacam panduan pertanyaan atau daftar isian untuk menjelajahi kisi-kisi diri. Di bagian pertama tentang diri sendiri misalnya ada sejumlah pertanyaan tentang citra diri: bagaimana diri sang remaja dicitrakan, baik secara positif maupun negatif, oleh anggota keluarga, teman, dan guru. Lalu ada sejumlah pertanyaan lanjutan berkenaan dengan citra diri tersebut.

Soal citra diri ini kemudian juga dipertajam pada bagian citra tubuh. Untuk soal ini sang remaja diberi pengantar pembuka dengan sedikit eksplorasi dan contoh catatan seorang remaja dalam mencitrakan tubuhnya. Sudah lazim diketahui bahwa di zaman sekarang ini citra tubuh seorang remaja khususnya begitu gencar diserbu oleh definisi-definisi global dengan berbagai kepentingannya: bahwa misalnya seorang gadis remaja yang cantik adalah yang langsing, berkulit putih, berambut lurus, dan sebagainya. Pada bagian ini ada satu kisah pendek Santi tentang bagaimana dia mempersepsikan tubuhnya yang kegemukan. Dengan pengantar dan cerita ini, sang remaja dapat berekspresi dengan motivasi kepercayaan diri yang cukup baik ketika tiba untuk menuliskan isian tentang citra dirinya.

Salah satu bagian yang cukup labil dalam kehidupan remaja adalah hubungannya dengan keluarga dan teman. Menginjak usia remaja, seseorang akan lebih terikat dengan teman-teman sepermainannya sehingga kadang mengabaikan keutuhan relasi keluarga. Dalam buku ini disediakan ruang eksplorasi yang cukup untuk mengukuhkan ikatan cinta, kasih sayang, dan harapan masa depan keluarga. Ada contoh penggambaran bagaimana posisi dan kedekatan sang remaja dengan masing-masing anggota keluarga (juga dengan teman) dan harapan ideal yang diinginkan.

Selain masalah keluarga dan teman, aspek emosi adalah sisi yang juga cukup rentan. Remaja sering digambarkan terlalu mengedepankan perasaan dan kurang mampu berpikiran jernih. Pada bagian inilah sang remaja dibantu untuk satu-persatu memuntahkan dan mengidentifikasi luapan emosi yang pernah dialaminya. Tantangan kemandirian dan visi masa depan juga mendapat tempat. Menghadapi masa depan, sang remaja dikuatkan, didorong, dan diyakinkan untuk dapat menyingkirkan rasa minder dan memanfaatkan anugerah dan potensinya secara baik.

Buku ini dapat menjadi sahabat yang tepat untuk remaja, terutama karena biasanya seorang remaja mula-mula selalu berjumpa dengan rasa bingung bagaimana harus memulai melangkah. Buku ini memberikan jawaban cerdas dan kreatif, dan seperti hendak menegaskan kembali sebuah pernyataan terkenal dari periode Yunani kuno: kenalilah dirimu sendiri (Gnothi se auton), yang menjadi dasar filsafat Sokrates. Menurut Sokrates, pengenalan diri bermanfaat untuk menghasilkan pengetahuan dan perilaku yang lebih baik, tepat, dan bijak. Dengan melakukan petualangan cerdas ke relung-relung diri hingga ke palung terdalam, sang remaja dipersilakan untuk menyingkap tirai diri yang kadang enggan diakui karena terasa kurang mengenakkan. Justru dengan menumpahkan melalui catatan harian yang terpandu di buku ini sang remaja sebenarnya dapat berekspresi dan menyehatkan batin dan kepercayaannya.

Kritik terhadap buku ini adalah bahwa buku ini kurang menyediakan ruang untuk menggali dimensi sosial dan religius remaja. Bisa jadi karena sang penulis berasumsi bahwa dimensi personal-eksistensial lebih penting dan menonjol pada sosok remaja. Memang ada satu halaman tempat sang remaja diminta menulis “surat untuk Tuhan”. Tapi sekiranya dimensi religius ini, seperti juga dimensi sosial, digali lebih mendalam, maka sisi sang remaja tersebut akan lebih terungkap dari perspektif yang lebih utuh dan manusiawi.

Tapi tentu saja buku ini tetap amat layak diapresiasi. Selain cara penyajiannya yang sangat pas untuk remaja, baik dari segi tuturan bahasa maupun tata letak, buku ini juga dapat menjadi media bagi remaja untuk belajar berekspresi melalui tulisan, sebuah kemampuan yang cukup mendasar dalam proses belajar.


Read More..