Jumat, 25 April 2003

Pendidikan Nilai dan Khazanah Lokal

Beberapa tahun yang lalu, dunia pendidikan kita diramaikan oleh diskusi soal format baru pendidikan moral di sekolah. Bila sebelumnya moral selalu dikaitkan dengan nilai-nilai dasar Pancasila (sebagai filosofi atau pandangan-dunia bangsa Indonesia) yang kemudian disajikan dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (sebelumnya disebut Pendidikan Moral Pancasila), maka diskusi tersebut berusaha memberi ruang yang lebih terbuka bagi pemaknaan moral bagi peserta didik. Gagasan yang melandasi usaha ini adalah bahwa pendidikan moral di sekolah yang berlangsung sebelumnya terlalu negara-sentris, kering, hambar, bahkan cenderung ideologis dan pro-status quo. Reformasi di bidang pendidikan moral di sekolah ini juga dipandang mendesak karena diduga salah satu biang terpuruknya bangsa ini dalam krisis multi-dimensi diakibatkan oleh kegagalan pendidikan moral di sekolah.

Formulasi substansi dan materi pengajaran pendidikan moral yang lama memang terlalu berpola deduktif, khas kebijakan politik Orde Baru yang ingin melakukan kontrol di semua bidang kehidupan. Pemaknaaan nasionalisme, misalnya, jarang sekali dikaitkan dari sudut pandang kelompok-kelompok masyarakat yang begitu beragam. Nasionalisme disajikan dalam bentuknya yang negara-sentris. Separatisme dimaknai secara hitam-putih tanpa dilihat dari perspektif yang lebih luas. Sementara itu, nilai-nilai seperti kejujuran, ketulusan, dan semacamnya, sering kali tampil sekadar semacam petuah tanpa eksplorasi mendalam dari segi raison d’être-nya, eksplisit maupun implisit.

Momentum lahirnya kebijakan otonomi daerah, yang diatur dalam UU No. 22/1999, seperti memberi nafas baru bagi dunia pendidikan kita yang terengah-engah. Berdasarkan undang-undang tersebut, wewenang terbesar bidang pendidikan berada di tangan pemerintah daerah, baik kebijakan menyangkut alokasi budget maupun kebijakan yang bersifat strategis di bidang kurikulum. Apalagi dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, maka perangkat pemulihan daya pendidikan semakin tersedia.

Dari perspektif otonomi pendidikan ini, menarik untuk didiskusikan peluang pengembangan pendidikan moral atau pendidikan nilai di sekolah yang berbasis pada sumber daya atau khazanah setempat, yakni yang bisa berupa sejarah atau pemikiran yang bersumber dari kearifan lokal. Asumsi dasarnya adalah bahwa dalam warisan sejarah dan pemikiran lokal itu terdapat sejumlah etos dan nilai moral yang inheren dan betul-betul hidup dalam masyarakat, sehingga ada keterjalinan yang cukup kuat antara peserta didik dengan kurikulum yang disajikan. Bahkan, khazanah yang juga bisa disebut tradisi ini pada titik tertentu dapat menjelma visi dan orientasi bersama yang dapat mengarahkan gerak maju masyarakat. Dalam ranah tersebut pula dimungkinkan terjadinya proses dialog-kreatif baik bersifat personal-eksistensial maupun sosial-kolektif dengan nilai-nilai keberadaban yang menjadi muasal akar hidup masyarakat itu sendiri.

Selain karena memang didukung oleh instrumen kebijakan yang cukup memungkinkan itu, peluang pengembangan ini menjadi cukup terbuka karena belakangan kita relatif semakin mudah mengakses khazanah lokal melalui buku-buku ilmiah populer. Beberapa penerbit seperti Kepustakaan Populer Gramedia (kelompok Penerbit Gramedia) cukup antusias menerbitkan buku bernuansa sejarah dan antropologi bertema budaya lokal, seperti Cilacap: 1830-1942 karya Susanto Zuhdi, Tapanuli: 1915-1940 karya Lance Castles, dan Makassar Abad XIX karya Edward L. Poelinggomang. Sementara Penerbit Mata Bangsa di Yogyakarta misalnya menerbitkan disertasi Prof. Kuntowijoyo berjudul Madura 1850-1940, dan penerbit LKiS menerbitkan buku Carok karya Dr. A. Latief Wiyata. Buku-buku tersebut setidaknya sudah bisa menjadi bahan awal untuk mengangkat khazanah lokal yang selama ini kurang diperhatikan untuk disajikan kepada siswa di sekolah. Belum lagi bila pemerintah daerah nantinya membaca peluang ini dan mengeksplorasi serta memberdayakan karya-karya putra daerah di seantero perguruan tinggi yang mengupas khazanah lokal tersebut. Karya-karya semacam ini yang bersifat ilmiah dan berbasis penelitian serius kemungkinan besar akan cukup banyak ditemukan di lingkungan akademik kita.

Dengan memberi ruang kepada khazanah dan sejarah lokal ini, berarti dunia pendidikan kita berusaha mempertautkan kembali keterputusan dunia pendidikan dengan proses pembudayaan yang menjadi titik akhir dari pendidikan moral itu sendiri. Proses internalisasi nilai-nilai moral tidak lagi akan bercorak terlalu deduktif, tetapi bisa lebih bersifat induktif sehingga secara perlahan dan mendalam dapat diturunkan ke lubuk pemahaman peserta didik. Alur induksi nilai-nilai tersebut menjadi mungkin karena nilai-nilai itu sendiri memang sudah terjangkarkan secara cukup baik dalam jalan panjang wawasan kebudayaan masyarakat.

Memang dalam proses penerapannya nanti kreativitas pemerintah (dalam hal ini terutama mungkin adalah Dewan Pendidikan di masing-masing kabupaten) akan banyak dituntut, terutama dalam meramu bahan-bahan untuk bidang studi ini. Demikian juga penyediaan fasilitas pendukung dan sistematisasi bahan mentah yang relatif masih belum terstruktur. Tantangan ini di sisi yang lain juga dapat meningkatkan kepedulian putra daerah bagi pengembangan pendidikan dan konservasi khazanah lokal yang belakangan terancam punah dilibat arus globalisasi.

Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 23 April 2003.

0 komentar: