Minggu, 27 Oktober 2002

Kembalinya Seorang Penulis

Judul Buku: Kumpulan Kolom dan Artikel Selama Era Lengser
Penulis : Abdurrahman Wahid
Pengantar: A. Mustofa Bisri
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, September 2002
Tebal: xx + 240 halaman


Gus Dur adalah sosok multidimensional. Secara objektif ini dapat dilihat dari berbagai posisi “formal” yang pernah digelutinya, mulai dari komentator bola, juri Festival Film Indonesia, aktivis LSM, kolumnis, kiai, hingga Presiden RI. Tapi figur Gus Dur secara mendasar memiliki basis identifikasi sebagai seorang intelektual yang dibesarkan dalam tradisi keagamaan (Islam, khususnya pesantren) yang kental. Lebih dari itu, Gus Dur juga adalah seorang yang intens menuangkan gagasannya dalam tulisan. Esai-esai Gus Dur sudah banyak muncul sejak tahun 1970-an. Bahkan di era itu Gus Dur aktif menulis tulisan panjang di Jurnal Prisma, sebuah jurnal ilmu sosial terkemuka.

Tapi dalam era reformasi, sejak Gus Dur terserang stroke di awal 1998 hingga terus menduduki kursi kepresidenan pada Oktober 1999 sampai akhirnya dilengserkan pada bulan Juli 2001, tulisan-tulisan Gus Dur raib dari media. Buku ini menandai kembalinya seorang penulis bernama Abdurrahman Wahid yang lekat dengan sejumlah ciri pemikiran dan style tulisannya.

Meski buku ini adalah kumpulan kolom dan artikel, buku ini tetap menarik diapresiasi, lantaran memiliki satu sisi unik dan kontekstual. Sekitar separuh bagian dari buku ini adalah kolom-kolom yang berisi refleksi Gus Dur terhadap perjalanan sejarah kebangsaan Indonesia. Dengan racikan yang kurang lebih seirama dengan gaya Gus Dur yang kontroversial, Gus Dur mengangkat ke permukaan beberapa sisi sejarah Indonesia yang selama ini dibiarkan tanpa peluang untuk dikritisi. Bahkan, pada beberapa bagian Gus Dur mencoba memberikan pemikiran spekulatif perihal keterkaitan beberapa segi sejarah tersebut dengan perilaku sosial-politik bangsa Indonesia saat ini.

Perihal berdirinya Kerajaan Majapahit, misalnya, Gus Dur mengemukakan bahwa penuturan sejarah selama ini tidak memberi penjelasaan mengapa Raden Wijaya, pendiri kerajaan besar di nusantara ini, membelot dari mertuanya, Kertanegara, raja Singosari. Gus Dur menduga kuat bahwa bisa jadi ada motif agama yang mendasari pertentangan ini, karena Raden Wijaya dalam merintis Majapahit dibantu oleh Angkatan Laut Cina yang nota bene beragama Islam. Pertanyaan besarnya adalah mengapa faktor agama selama ini diabaikan dalam setiap penjelasan sejarah berdirinya kerajaan-kerajaan di nusantara. Apakah demi merawat mitos persatuan dan kesatuan bangsa ini justru berpaling dari realitas kesejarahan yang dimilikinya?

Faktor agama ini juga berhasil diendus Gus Dur dalam peristiwa Perang Bubad, yang melibatkan Kerajaan Sunda dan Majapahit. Pecahnya pertempuran tersebut menurut Gus Dur bukanlah kehendak Hayam Wuruk, penguasa Majapahit, tapi lebih karena rekayasa sayap kaum muslim di Majapahit yang tidak menghendaki menyatunya dua kerajaan tersebut. Sebagaimana dimafhumi, rencananya rombongan Kerajaan Sunda itu mau menyerahkan puteri Sunda untuk dikawinkan dengan Hayam Wuruk. Kelompok muslim di Majapahit tidak menghendaki hal itu, karena dapat berdampak tersumbatnya saluran islamisasi, dan menguatnya ajaran-ajaran Bhirawa (campuran agama Budha dan Hindu).

Ada juga uraian tentang bagaimana Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) yang mengurungkan niatnya untuk membalas dendam terhadap menantunya, Sutawidjaya, yang lalu lebih memilih membangun masyarakat secara kultural di daerah Lamongan. Gus Dur mengapresiasi hal ini dengan cara menggambarkan pola hubungan periferal-pusat yang tidak simetris untuk pengembangan Islam tanpa merugikan agama Hindu dan Budha yang sedang berkuasa. Semacam perjuangan kultural.

Refleksi Gus Dur tentang beberapa segi sejarah bangsa ini menuntut kita bersama untuk lebih arif memosisikan keragaman warisan kultural kita secara lebih jujur dan kritis. Variabel pluralisme sosial yang memengaruhi jalannya sejarah perkembangan kehidupan masyarakat nusantara mesti diapresiasi secara terbuka, bukan dengan malah menutup-nutupinya atas dalih jargon kosong persatuan dan kesatuan. Ini penting demi mengharapkan munculnya kejernihan analisis sejarah yang mampu mengakomodasi fakta objektif masyarakat nusantara yang betul-betul kaya budaya. Di sisi lain, Gus Dur seperti memprovokasi para sejarawan untuk membaca ulang sejarah dalam bingkai ketulusan yang objektif dan kritis.

Dalam separuh bagian lainnya dari buku ini, Gus Dur memberi pengamatan terhadap sejumlah peristiwa sosial-politik aktual. Perihal kasus WTC 11 September misalnya, secara kritis Gus Dur mengingatkan betapa kadang kita bersikap hipokrit: mengutuk terorisme macam itu, tapi membiarkan terorisme dalam bentuk lain bergentayangan di hadapan kita, seperti pengabaian terhadap berbagai konflik etnis, atau berbagai kejahatan kemanusiaan yang lain.

Tema lain yang diulas Gus Dur dalam buku ini adalah tentang ekonomi kerakyatan, dinamika NU, juga soal-soal keislaman. Perspektif kritis, mendalam, dan khas (kultural) keindonesiaan tampak begitu kental dalam ulasan-ulasannya. Tentang relasi NU dan Muhammadiyah, misalnya, Gus Dur mengemukakan bahwa pada dasarnya yang terpenting adalah bagaimana mengapresiasi perkembangan kedua organisasi umat Islam terbesar di Indonesia itu dengan memerhatikan laju pencapaian budaya yang berhasil ditanamkan kepada warganya, bukan melulu melalui capaian formal kelembagaan.

Yang sedikit mengganggu dari buku ini adalah kesalahan ketik yang masih berserakan di sana-sini. Juga ada beberapa pengulangan pembahasan serta sistematika jalinan tulisan (kolom) yang kurang runtut sehingga kurang mengenakkan pembaca.

Terlepas dari hal tersebut, kehadiran kembali Gus Dur dalam kancah kepenulisan di Indonesia ini di sisi lain juga menggelitik beberapa politisi atau intelektual, yang selama ini membiarkan refleksinya mengapung dalam genangan pemikiran yang beku, tanpa mau berbagi dengan publik dalam suatu ruang dialog yang kritis.

Read More..