Senin, 02 Desember 2002

Mengembangkan Teologi Islam Positif

Judul Buku : Teologi Dialog Islam-Barat: Pergumulan Muslim Eropa
Penulis : Tariq Ramadan
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : Pertama, Maret 2002
Tebal : 322 halaman


Hidup sebagai kelompok minoritas memang selalu mengundang konflik identitas personal yang diam-diam terjadi secara massif. Kadangkala, rasa inferiority complex timbul, diiringi dengan sikap-sikap tidak dewasa yang malah semakin merugikan dan membatasi ruang gerak mereka.

Buku ini, yang berjudul asli To be a European Muslim: A Study of Islamic Sources in the European Context, merupakan hasil refleksi kritis penulisnya, Tariq Ramadan, selama hidup dan mengamati pergumulan identitas kaum muslim di kawasan Eropa. Komunitas muslim Eropa mulai muncul pada sekitar Perang Dunia Kedua, ketika kawasan Eropa secara sosial-ekonomi berantakan dan membutuhkan banyak tenaga kerja murah. Arus imigrasi mengalir deras dari kawasan Asia, Afrika Utara, dan Turki ke negara-negara Eropa, terutama Inggris, Jerman, dan Prancis. Di penghujung milenium, umat Islam di Eropa Barat sudah mencapai jumlah antara 12 hingga 15 juta jiwa.

Konflik identitas yang dihadapi mereka di lingkungannya menyangkut pilihan subjektif apakah mereka adalah seorang muslim atau seorang warga negara di Eropa. Pertanyaannya, mungkinkah ada identitas jalan tengah yang mampu menyelamatkan mereka dari tuduhan sebagai seorang fundamentalis atau orang yang terasing dari ajaran agama Islam?

Hal penting yang digarisbawahi Tariq Ramadan, penulis buku ini yang merupakan cucu Hasan Al-Banna dan tinggal di Prancis, dalam buku ini adalah adanya kenyataan bahwa seringkali kaum muslim Eropa merespons persoalan konflik identitas mereka secara emosional dan penuh ketakutan sehingga justru memperumit identifikasi masalah yang sebenarnya mereka hadapi. Bahkan mereka cenderung reaktif dan defensif sehingga kadang-kadang merusak citra diri kaum muslim sendiri.

Berangkat dari keprihatinan itulah, Tariq Ramadan dalam buku ini berusaha untuk mengkonstruksi semacam “teologi dialog” yang bercorak positif, tidak protektif tapi bersifat kontributif bagi komunitas baru kaum muslim di Eropa. Untuk menjawab persoalan tersebut, Tariq dalam buku ini mencoba menggali kembali sumber-sumber utama ajaran Islam baik yang bersifat teologis maupun yuridis yang berhubungan dengan soal persoalan tersebut.

Salah satu pokok ajaran Islam yang cukup penting yang dibahas oleh Tariq adalah bahwa keberadaan seorang muslim di muka bumi ini harus merupakan keberadaan yang aktif, dengan melibatkan diri dalam semua urusan manusia. Ini adalah refleksi dari keberimanan seorang muslim itu sendiri, seperti tampak dalam banyak ayat al-Qur’an yang selalu mengaitkan iman dengan perbuatan baik (amal saleh) (bandingkan, Q., s. Ali Imran/3: 110). Lebih jauh lagi, kalimat syahadat (persaksian keberislaman) menurut Tariq bukan sekedar pernyataan biasa, tetapi juga mengandung konsep mendalam tentang pemberian amanah yang menuntun jalan hidup seseorang maupun masyarakat.

Untuk itulah, Tariq juga menekankan pentingnya pemikiran-pemikiran baru yang berbasis pada aktivitas ijtihad (atau fatwa) untuk mengarahkan keberimanan seorang muslim kepada suatu bentuk Teologi Islam yang aktif-positif. Bagian pertama buku ini merupakan usaha Tariq untuk memberikan landasan pemikiran terhadap hal tersebut, yakni ketika Tariq menguraikan historisitas perkembangan khazanah keilmuan Islam. Ilmu-ilmu keislaman pada dasarnya adalah upaya untuk memelihara agar iman selalu intens, sejalan dengan ajaran al-Qur’an dan Nabi Saw dalam setiap situasi sejarah.

Pada salah satu uraian dalam bagian pertama buku ini Tariq mencatat beberapa prinsip penting yang terdapat di dalam prinsip-prinsip metodologi hukum Islam (ushul fiqh). Di antaranya prinsip al-mashlahat (pertimbangan manfaat umum), ketentuan pertanggungjawaban setiap tindakan manusia, serta adanya beberapa hal menyangkut hukum yang pemutusannya diserahkan pada ijtihad manusia sendiri.

Salah satu konsep hukum Islam yang mengatur legalitas eksistensi seorang muslim di tengah komunitas masyarakat tercermin dalam konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Dua konsep ini sebenarnya memang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah, tapi merupakan hasil klasifikasi ijtihad ulama klasik. Dar al-Islam (wilayah Islam) adalah wilayah geografis tempat diberlakukannya hukum Islam, dan atau berada di bawah naungan pemerintahan muslim. Dar al-harb (wilayah perang) secara umum didefinisikan sebagai wilayah sistem pemerintahan yang “tidak islami”.

Tariq jelas-jelas mengkritik model pembagian yang sangat dikotomis itu. Konstruksi dunia kontemporer sudah sedemikian kompleks sehingga persoalan tersebut tidak dapat disederhanakan begitu saja. Bahkan terkadang, dari definisi tersebut di atas, muncul paradoks: di negara yang disebut dar al-harb komunitas muslim justru lebih menikmati kebebasan mengekspresikan ajaran keberagamaannya ketimbang di wilayah dar al-Islam.

Logika konflik yang diusung dalam gambaran dwipolar itu telah menjebak umat Islam dalam suatu cara berpikir yang tidak positif. Tariq mengajukan suatu cara pandang baru: Barat bersama negara-negara yang dipengaruhinya saat ini adalah pusat dunia, sedang yang lain adalah periferi. Dengan cara pandang demikian, ketika seseorang hidup di dunia Barat (pusat), maka ia tidak harus mundur ke visi lama dua kutub dengan mencari-cari musuh, melainkan harus mencari mitra yang bersedia dan bertekad memilih produk budaya Barat untuk meningkatkan kontribusi positif terhadap dunia, menolak penyimpangannya yang merusak, meningkatkan kebajikan dan keadilan dalam dan melalui persaudaraan manusia, untuk semua umat manusia apapun ras, asal, atau agama mereka. Di Barat, mereka (kaum muslim) harus memberi kesaksian (membuktikan kebenaran), mereka harus menjadi saksi atas siapa mereka sebenarnya dan atas nilai-nilai (positif) yang mereka percayai.

Dengan mempertimbangkan uraian tersebut, Tariq mengaitkan posisi komunitas muslim di Eropa dengan konsep dar al-da`wah. Dar al-da`wah mengacu kepada situasi Nabi sebelum hijrah ke Madinah, ketika beliau hidup sebagai minoritas dan dituntut untuk mempertunjukkan (mempersaksikan) keyakinan agamanya kepada masyarakat Mekah.

Untuk memperjelas uraiannya, Tariq menjelaskan bahwa ada lima unsur pokok yang menjadi bagian dari identitas seorang muslim, yakni iman dan spiritualitas yang diyakininya, kepatuhan melaksanakan ibadah dan perintah agama, perlindungan hak sosial, politik dan ekonomi, kebebasan untuk beribadah atau memberi kesaksian terhadap kebenaran agamanya, serta partisipasi aktif dalam masyarakat. Ketika kelima hal ini ada, maka seorang muslim bertanggung jawab untuk bertindak memastikan keamanan mereka atau memperbaiki situasi mereka maupun masyarakat secara menyeluruh.

Jalan tengah yang diusahakan Tariq Ramadan untuk merumuskan identitas seorang muslim di tengah-tengah dunia global yang plural ini adalah bagian dari usaha pembuktian bahwa Islam dapat (dan seharusnya) tampil sebagai rahmat bagi semesta (rahmat li al-`alamien). Hal ini menjadi penting untuk dipikirkan dan diagendakan mengingat kecenderungan akhir-akhir ini yang menunjukkan adanya sikap-sikap defensif dan protektif yang berlebihan dalam menyikapi berbagai bentuk ancaman dan rongrongan terhadap identitas dan ajaran agama.

Ini tidak saja dialami oleh komunitas muslim minoritas seperti di Eropa. Tapi, sebagai umat mayoritas pun komunitas muslim kadang-kadang masih bersikap tidak dewasa dan proporsional menyikapi pluralitas sosial di masyarakat, sehingga secara ironis memunculkan sikap-sikap yang justru mencitrakan sesuatu yang negatif. Sikap percaya diri berlebih memang kadang berpotensi melahirkan perilaku totaliter.

Kelebihan buku ini terletak pada uraiannya yang khas, yang menggali kembali etos sejarah nilai Islam dalam tradisi keilmuan yang dibangunnya sepanjang zaman, berhadapan dengan problem pluralitas agama dan sosial. Etos yang termuat dalam lembar sejarah ini belakangan memang kurang begitu diperhatikan, akibat keterjebakan komunitas muslim ketika membaca warisan sejarah dan tradisi keilmuan yang dimilikinya. Pendasaran kepada nilai-nilai yang terkandung dalam fakta sejarah memang kemudian menjadikan argumen yang disusun menjadi cukup kuat.

Teologi Dialog yang direkomendasikan buku ini pada akhirnya memang tidak saja menuntut dialog intens intra-agama untuk membangun keberimanan yang positif, tetapi juga ajakan untuk memberdayakan diri melalui kemandirian politik dan finansial, serta pemilihan agenda-agenda mengakar yang berorientasi ke depan.

Tulisan ini dimuat di www.attin.org 1 Desember 2002.

0 komentar: