Selasa, 30 Juli 2002

Menulis Itu Indah


Menulis itu apa sih?
Menulis itu sebenarnya adalah bentuk lain dari komunikasi. Dalam kehidupan kita sehari-hari kita kebanyakan berkomunikasi dengan cara lisan, yakni dengan berbicara. Tapi saat ini komunikasi lisan tidak cukup. Berbagai penemuan teknologi informasi, dari yang paling elementer dan sederhana—penemuan kertas di Cina pada tahun 1275, atau mesin cetak di Jerman pada tahun 1450 yang juga dikenal dengan Revolusi Gutenberg—hingga ke yang canggih—telepon, komputer, internet—telah mengubah cara-cara berkomunikasi kita sehari-hari.

Lantas apa bedanya menulis dengan berbicara?
Menulis itu menuntut hal yang lebih dari sekedar berbicara, yang dibutuhkan agar menghasilkan sebuah tulisan yang baik. Hal yang paling mendasar dalam menulis adalah kecermatan berpikir. Menulis membutuhkan kecermatan yang betul-betul terjaga, terutama dalam mengungkapkan alur pikiran dan argumen secara sistematis, sehingga gagasan yang akan disampaikan dapat diterima dengan baik. Sebuah tulisan membuka kesempatan yang leluasa bagi orang lain untuk menelaahnya secara lebih kritis, dan, lebih jauh lagi, mengembangkannya dalam suatu sistem pemikiran yang lebih kompleks. Juga, sebuah tulisan dapat dengan mudah melintasi ruang dan waktu. Hanya dengan tulisan kita dapat dengan efektif mengapresiasi sosok dan karya para tokoh dan pemikir di abad-abad terdahulu dan atau yang berada di belahan benua lain.

Apakah menulis juga memiliki beberapa kegunaan untuk menunjang aktivitas ilmiah...?
Ya, benar. Dalam aktivitas kita mencari ilmu atau belajar, ada sejumlah keterampilan dasar yang amat berperan: mencatat, menyimak, membaca, dan menulis. Dalam konteks ini menulis adalah semacam puncak aktivitas belajar, semacam upaya penjajakan dan penjinakan gugus-gugus pengetahuan kita dalam suatu simpul-aksara-yang-tertata. Ada ungkapan bahasa Arab yang menyatakan: al-`ilm shayd, wa al-kitâbah qayduh. Ilmu itu ibarat burung, dan tulisan adalah sangkarnya. Hasil kita membaca buku, menyimak penjelasan guru, atau berdiskusi, dapat dengan mudah terbang meninggalkan ingatan kita bila kita tidak mencatat atau menulisnya secara rapi. Dengan demikian, dari sisi lain, menulis adalah latihan memeriksa penguasaan kita tentang sesuatu tema.

Lebih jelasnya, gimana...
Jadi begini. Misalkan kita diminta menulis tentang tema pengembangan ilmu di pesantren di era globalisasi, maka kita dituntut untuk memungut dan mengoleksi satu-persatu pengetahuan kita tentang tema itu, untuk kemudian disusun dalam suatu bentuk tulisan. Kita menelaah bagaimana pesantren (sejarah dan perkembagannya), bagaimana (arah dan strategi) pengembangan ilmu yang saat ini dibutuhkan, bagaimana era globalisasi (kelahiran dan pengaruhnya), dan seterusnya... Dan di dalam menulis itu sendiri tentu dibutuhkan keterampilan tertentu yang tidak dapat diperoleh begitu saja tanpa usaha keras.

Apakah dalam menulis ada semacam langkah-langkah atau tahapan tertentu yang harus dilalui?
Ya, betul. Langkah awal menulis adalah menentukan tema, sesudah itu mengumpulkan bahan-bahan tulisan dan menyusun kerangka tulisan. Kemudian kita memulai menulis. Setelah selesai, kita memeriksa (mengedit) tulisan kita.

Bisa dijelaskan lebih detail?
Menentukan tema adalah langkah pertama yang cukup penting. Tulisan yang baik adalah tulisan yang memiliki tema aktual, signifikan, dan menghadirkan sesuatu yang baru. Kalau ditanya bagaimana kiat menemukan tema memang cukup sulit menjawabnya, karena sebagaimana ilham, tema kadang datang berkelebat di pikiran kita tanpa kita sempat menyapanya. Tapi secara sederhana, tema untuk suatu tulisan dapat kita temukan bila kita peka membaca realitas sekitar kita, baik itu bacaan, hasil pengamatan, atau perjumpaan kita dengan hal-hal. Sesudah kita memastikan tema tulisan kita, kita lalu memburu bahan-bahan yang kiranya diperlukan dan berkaitan dengan tulisan yang dimaksud. Kita membongkar kembali arsip-arsip di pikiran, rak perpustakaan, atau para informan, dan mengangkatnya kembali ke permukaan. Dari bahan yang terkumpul itu kita lalu bisa mereka-reka kerangka tulisan (sistematika).

Bukannya sesudah menentukan tema kita menyusun kerangka, lalu mencari bahan?
Bisa saja begitu, terutama kalau kita sudah memiliki kerangka yang agak jelas. Tapi, dengan mencari bahan terlebih dahulu, kadang ada dimensi baru dari pengembangan tema yang tiba-tiba kita temukan. Begitu. Bila kerangka sudah cukup pasti, kita bisa segera menuangkan gagasan kita dalam pahatan-pahatan aksara. Tahap terakhir adalah memeriksa hasil tulisan kita demi menghindari berbagai kesalahan yang amat mungkin terjadi.

Lalu, bagaimana caranya agar kita bisa menulis dengan baik?
Kembali lagi ke awal, bahwa pada dasarnya menulis itu adalah suatu bentuk komunikasi. Dari sini kita mendapatkan suatu prinsip umum, bahwa sebuah tulisan yang baik itu adalah tulisan yang dapat mengomunikasikan gagasan kita kepada orang lain dan ditangkap (terpahami) dengan baik. Untuk mencapai keterampilan yang piawai dalam menulis, tak ada jalan lain kecuali latihan menulis setiap hari.

Latihan setiap hari?
Ya, latihan setiap hari. Dalam latihan ini kita dapat memerhatikan beberapa hal. Pertama, melalui latihan ini kita mencoba agar bentuk komunikasi kita dalam menulis ini menjadi cair, tidak kaku, tidak gagu. Ini bisa dimulai dengan hal-hal yang sederhana. Kita menulis kegiatan kita saban hari, dari bangun tidur hingga alam mimpi. Setiap hari kita mesti berjumpa dengan pengalaman menarik, yang bila dituliskan akan menjadi lebih menarik. Cara seperti ini biasa ditemukan dalam aktivitas kita menulis catatan harian. Dalam latihan ini kita diajak menggunakan kosakata yang sudah menggunung di pikiran kita secara lebih tepat—bahkan, dalam momen tertentu, demi menghasilkan tulisan yang lebih segar, kita dituntut menggali timbunan kosakata yang jarang digunakan sehingga kosakata yang ditampilkan bisa lebih kaya dan beragam. Bisa saja kita tahu dan paham tentang sebuah kosakata, tetapi karena tidak pernah digunakan, kita mengabaikannya begitu saja sehingga kemudian ia aus ditelan usia—padahal, masalah pilihan kata dalam mengungkapkan sesuatu detail peristiwa amat berperan, karena elemen dasar suatu gagasan adalah kata.

Kalau yang ini sudah dikuasai, terus bagaimana..?
Bila cara pengungkapan kita melalui tulisan sudah mulai mengalir, maka selanjutnya kita juga mesti memerhatikan alur pikiran dalam tulisan. Menulis itu adalah sebongkah pemikiran yang memiliki titik-titik pemikiran tertentu. Kita harus bisa menjaga kesinambungan titik-titik pemikiran dalam tulisan kita, jangan sampai ada alur yang tiba-tiba terputus, lantas disambung dengan titik yang tidak sesuai. Alur pikiran ini terwujud dalam hubungan-antar-kalimat-yang-padu serta hubungan-antar-alinea-yang-utuh. Dalam hal ini kita juga mesti memerhatikan tata logika tulisan kita: penguraian suatu hal, penjelasan kausalistis, induksi atau deduksi, dan sebagainya.

Wah, sepertinya menulis memang membutuhkan kecanggihan tata logika pikiran kita ya...
Bukan cuma itu. Dalam jenis tulisan yang bersifat ilmiah, tulisan juga dituntut argumentatif! Artinya kita dituntut secara terampil meyakinkan orang melalui alur pikiran-pikiran yang disajikan, sehingga akhirnya gagasan kita dapat diterima. Di sini tulisan kita tidak hanya harus memiliki sistem yang logis, tapi juga jernih.

Bagaimana kita menjaga logika dan kejernihan tulisan? Sepertinya cukup sulit...
Tidak juga. Logika dan kejernihan tulisan kita dijaga oleh kerangka tulisan. Agar lebih aman, kita bisa mengembangkan dan memecahnya dalam unit-unit pikiran yang lebih detail, lalu menentukan dan memilah, mana yang elementer, mana yang sekunder, dan seterusnya.

Bila tulisan sudah rampung, mengapa kita harus memeriksanya kembali? Apa saja yang diperiksa?
Memeriksa tulisan itu sesuatu yang wajar, sebagaimana kita adalah makhluk yang bisa saja khilaf. Hal-hal yang periksa bisa menyangkut kesetiaan alur pikiran pada sistematika awal yang kita rancang (alur argumen), pengulangan gagasan, kesinambungan antar-kalimat dan antar-alinea, pemakaian suatu kata yang terlalu sering (repetisi), pemakaian kata yang kurang tepat, kesalahan ketik, dan semacamnya.

Selain berlatih dengan keras, adakah cara lain untuk belajar menulis dengan baik?
Ada, yakni dengan mengamati cara orang lain menulis. Terutama penulis-penulis favorit kita. Dari orang lain yang sudah berhasil, kita bisa belajar cara mereka mengembangkan tema, menyusun kata, mengikat makna, dan menyusun wacana. Dengan cara ini, kita memperkaya teknik dan keterampilan kita dalam menulis, tanpa kemudian harus mengekor kepada orang lain.

Betapa asyik bila kita dapat menulis dengan baik...
Ya, alangkah indahnya menjadi penulis. Karena dengan menulis, kita tidak hanya hidup dalam sejengkal sulur usia kita, tapi lebih jauh lagi, kita berusaha hidup beribu tahun lagi...

Juli 2002

Read More..

Senin, 08 Juli 2002

Dehumanisasi Masyarakat Akibat McDonaldisasi

Judul buku: Ketika Kapitalisme Berjingkrang: Telaah Kritis terhadap Gelombang McDonaldisasi
Penulis : George Ritzer
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2002
Tebal: xxii + 412 halaman


Paradoks modernitas telah tercium cukup lama di penginderaan beberapa intelektual kritis. Salah satunya adalah Max Weber, ketika dia menyatakan bahwa rasionalitas-birokratis yang dipuja modernisme justru rentan berubah wujud menjadi kerangkeng yang menutup nalar manusia itu sendiri.

Dengan bertolak dari pandangan Weber itu, George Ritzer, penulis buku ini, berusaha mencermati dan mengkritisi fenomena McDonaldisasi. Ritzer menerangkan bahwa istilah McDonaldisasi yang digunakan di buku ini mengacu kepada sejumlah fenomena, ketika berbagai prinsip-restoran-cepat-saji hadir untuk mendominasi lebih banyak sektor kehidupan di Amerika dan belahan dunia lain. Fenomena McDonald ini hanya sebuah kasus, yang menjadi representasi beroperasinya model rasionalisasi dan birokratisasi dalam masyarakat yang dimulai di awal abad ke-20.

Dengan acuan teori Weber tersebut, Ritzer menemukan empat dimensi McDonaldisasi. Sekilas terbentuk kesan bahwa McDonald menyediakan prinsip efisiensi, daya prediksi, daya hitung, dan kontrol melalui teknologi non-manusia dalam kesatuan sistem operasionalnya. Orang-orang lalu terpikat, jatuh cinta, dan akhirnya berbiak di dalam keempat komponen yang merupakan dasar sistem rasional tersebut.

Keterpikatan dan keterjebakan masyarakat dalam selera McDonald ini menurut Ritzer tidak terjadi secara serta-merta. Ada sejumlah momentum yang mendahului menyatunya kehidupan masyarakat dunia dengan sistem bisnis waralaba yang didirikan pada tahun 1953 ini. Bangunan dasar epistemologisnya, seperti kata Weber, adalah birokratisasi yang merupakan perpanjangan tangan rasionalisasi. Bentuk rasionalitas yang dianut di sini adalah rasionalitas formal, yang akan membuat orang menjadi memiliki sejumlah kecil pilihan sarana bagi pencapaian tujuan akhir. Jadinya, pilihan masyarakat diarahkan kepada proses homogenisasi yang dianggap sebagai suatu bentuk pilihan optimal.

Seiring dengan itu, manajemen ilmiah dipergunakan sebagai prinsip produksi. Dalam proses produksinya diambil contoh sukses sistem perakitan mobil. Beberapa unsur mekanis dalam produksi terbukti efisien dan memiliki daya kontrol yang cukup baik. Bahkan Ritzer juga memasukkan tragedi holocaust Nazi sebagai salah satu bentuk pengantar proses McDonaldisasi, karena holocaust itu pun bekerja dengan prinsip rasionalisasi.

Adapun kerangkeng-besi-rasionalitas yang dibawa dalam proses McDonaldisasi masyarakat ini terletak dalam beberapa segi. Secara umum dapat dikatakan bahwa sebenarnya proses rasionalisasi dan birokratisasi itu ternyata justru membelenggu dan menolak sifat dasar kemanusiaan. Orang akhirnya hanya bergerak dari suatu institusi-institusi yang telah terasionalisasi dan tak memiliki ruh kemanusiaan. Pun, irasionalitas yang mendekam dalam sistem rasional ini berarti bahwa sistem rasional itu merupakan sistem yang akhirnya tidak beralasan dan mengingkari kemanusiaan.

Dalam kasus McDonald Ritzer menyebutkan bagaimana sebenarnya prinsip efisiensi yang menjadi alasan pilihan McDonaldisasi masyarakat menjadi tidak rasional. Secara kritis, Ritzer mempersoalkan: efisien buat siapa? Efisien bagi pelanggan, atau siapa? Ini sama halnya dengan mengatakan bahwa ATM akan lebih efisien. Padahal, tidak jarang ATM menjadi tidak efisien karena antrean yang tak terhindarkan. Dalam kasus ATM ini menjadi jelas bahwa definisi efisien lalu hanya bermakna bagi pihak pengelola bank, dengan memperkecil jumlah pegawai di bank dan digantikan dengan sejumlah mesin ATM itu.

Belum lagi dengan sejumlah ancaman lingkungan yang menjadi efek negatif McDonald. Prinsip persamaan mutu yang begitu dipercaya konsumen menuntut produsen untuk hanya menggunakan bahan mentah dengan kualitas yang sama. Akibatnya, penggunaan zat-zat kimia berlebihan tak terelakkan sehingga akhirnya justru merusak kualitas tanah. Belum lagi kandungan lemak, kolesterol, garam, dan gula, yang tak seimbang dan kurang menguntungkan bagi kesehatan konsumen.

Buku ini awalnya memang adalah sebentuk keprihatinan atas proses dehumanisasi masyarakat akibat proses McDonaldisasi itu. Dengan beberapa perspektif kritis yang diulas begitu tuntas dalam buku ini, pembaca diharapkan mendapat semacam peringatan agar bujukan McDonaldisasi ini jangan sampai membutakan daya kritis kita. Itu semua agar kehidupan kita terselamatkan dari unsur-unsur yang tidak manusiawi yang mengintai dan mengancam dari semua lini kehidupan.

Tulisan ini dimuat di Harian Media Indonesia, 7 Juli 2002.

Read More..