Rabu, 19 Juni 2002

Genealogi Rasisme Kelas Menengah Eropa

Judul buku : Tubuh yang Rasis: Telaah Kritis Michel Foucault atas Dasar-Dasar Pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa
Penulis : Seno Joko Suyono
Penerbit : Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Lanskap Zaman, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, April 2002
Tebal : xx + 528 halaman


Dunia saat ini adalah sebuah perkampungan global yang memungkinkan terjadinya interaksi lintas-peradaban. Dalam pergaulan macam itu kadang mendekam sejumlah stereotip-apriori bercorak narsistik yang bila menyeruak ke permukaan dapat mencederai hubungan-hubungan sosial dalam bentuk kekerasan.

Seno Joko Suyono dalam buku ini mengajukan sebuah paparan yang cukup orisinil berkaitan dengan pemikiran Michel Foucault (1926-1984), seorang filsuf postmodern dari Perancis yang keluasan bidang kajiannya merambah dari masalah seks dan kekuasaan, relasi kuasa-pengetahuan, fenomena kegilaan, hingga soal sejarah penjara. Seno mengajukan sebuah tesis menarik, bahwa inti pemikiran Foucault adalah individualisasi, yakni dasar-dasar pembentukan diri masyarakat Eropa modern sehingga mayoritas mereka memiliki sikap-sikap, tindakan-tindakan, dan sentimen tertentu terhadap kelompok masyarakat lain.

Pisau analisis yang digunakan Foucault untuk membedah proses pembentukan individu Eropa modern adalah metode arkeologi dan genealogi. Metode arkeologi diarahkan kepada pencarian episteme setiap zaman, sehingga di antara berbagai cabang ilmu yang ada mengalunkan suatu irama kebenaran yang satu sama lain identik. Metode genealogi beranjak dari sekedar penelitian terhadap formasi diskursif ke medan formasi non-diskursis bercorak institusional semacam rumah sakit, penjara, barak tentara, atau bengkel kerja, yang bertujuan untuk melacak konspirasi kekuasaan yang bermain dalam proses pembentukan tubuh.

Bermodal ketajaman dua pisau analisis tersebut, Foucault mulai menguliti lembar sejarah satu-persatu. Jalan sejarah yang ditempuh Foucault untuk menemukan konstruksi proses individualisasi ini ditempuh melewati kawasan sejarah antagonis, yakni areal-areal sejarah yang sebelumnya dikubur kekuasaan.

Temuan awal Foucault yang dibaca oleh Seno dalam buku ini adalah episteme masyarakat Eropa di awal abad ke-18 yang saat itu tengah beralih dari wacana bahasa ke narasi klinis. Bila sebelumnya berbagai cara kerja ilmu dikuasai logika ilmu bahasa, maka sejak awal abad ke-18 narasi klinis menuntun berbagai disiplin ilmu lain. Ini tidak lepas dari sebuah penemuan revolusioner dalam ilmu kedokteran, ketika ditemukan teknologi otopsi, yang selanjutnya mengubah definisi pasien menjadi lebih sebagai suatu pathological fact, diikuti dengan konsolidasi dasar-dasar rezim disiplin melalui katalogisasi dan klasifikasi simptom, unsur pengawasan dokter terhadap pasien yang begitu ketat, dan penataan ruang arsitektural yang efektif bagi pengawasan. Sejalan dengan itu, muncul impian-impian kesehatan publik kalangan kelas menengah untuk menciptakan sebuah kota yang teratur dan tertata rapi, sehat, dan bersih sesuai dengan cita rasa moral kelas sosial mereka.

Mulailah episteme narasi klinis ini menancapkan gugus-gugus diskursifnya ke berbagai ruang institusional masyarakat. Pencairan epistemologis dari narasi klinis ini pertama kali disambut dengan dikukuhkannya model penghukuman penjara. Para poros inilah proses pembentukan individu Eropa modern melalui prosedur eksternal mulai menapakkan jejaknya. Penjara disebut Foucault sebagai institusi tempat transformasi individu bermatriks klinis karena dalam penjara berkembang jenis penghukuman yang mengarah pada terapi individu ala klinis. Teknologi disiplin berwajah baru ini bekerja baik dengan investigasi biografis atau dengan inspeksi terhadap segenap aktivitas si terhukum. Di sini penjara kemudian memutus kemungkinan pemaknaan kriminalitas sebagai ekspresi pembangkangan politik kalangan bawah terhadap kekuasaan, dengan menonjolkan sisi kriminalitas an sich dan anonimitas unsur politik kekuasaan. Mengikuti pola narasi klinis, penjara memeriksa dengan identitas impersonal, jaringan pendokumentasian dan efek obyektifikasi serta stigmatisasi yang begitu dalam pada tiap individu.

Sementara itu, dari jalur prosedur internal, individu Eropa modern dibentuk dengan definisi baru seksualitas. Di bawah bayang-bayang episteme narasi klinis, seksualitas semata-mata dimaknai dalam konteks pembentukan tubuh yang steril, sehat, disiplin, tunduk, dan berguna. Di sini terjadi penciutan besar-besaran makna seksualitas, tidak seperti etika seksual Yunani Kuno yang menghubungkan seksualitas dengan kemampuan individu untuk mengontrol dan memperimbang berbagai hasrat seksual secara baik dan terukur, sesuai dengan kondisi wajar tubuh masing-masing. Berbagai kontrol seksual dilakukan secara ketat lewat suatu alasan yang berdasar pada suatu basis ‘ilmiah’ yang bersifat klinis. Inilah perselingkuhan antara kekuasaan (pouvoir), pengetahuan (savoir), dan seksualitas (sexualite) untuk menundukkan tubuh, mengendalikan populasi dan demi mencetak sumber daya warga yang sehat.

Dari seluruh uraiannya ini, Foucault lalu menunjukkan proses body-molding techniques yang membentuk individu Eropa modern. Dengan tempaan teknologi disiplin dan implikasi bio-politik tubuh yang begitu kuat, terbit anggapan di kalangan kelas menengah Eropa bahwa tubuh mereka adalah tubuh yang terproteksi, berdayaguna, serta terpelihara dari segala bahaya dan kontak yang tidak perlu. Juga bahwa tubuh mereka memiliki keunggulan heriditas di masa depan. Pada titik inilah, secara tidak sadar, muncul stereotip-stereotip kalangan individu Eropa yang dihadiahkan kepada kelompok masyarakat lain (the other), suatu bentuk rasisme yang menyusup tanpa aksi represif atau kekerasan fisik tapi memiliki impak yang cukup luar biasa.

Perspektif rasisme yang cukup unik dan aneh ini begitu menarik untuk dikaji karena rasisme di sini justru secara diam-diam merasuk lalu dikukuhkan oleh struktur epistemologis masyarakat. Di sinilah kemudian salah satu ujaran Foucault menjadi relevan untuk dikutip: “...Yang saya persoalkan bukanlah bahwa segalanya buruk, melainkan bahwa segala sesuatu itu berbahaya, yang tidak persis sama dengan buruk. Jika segalanya ternyata berbahaya, setidaknya kita selalu memiliki sesuatu untuk dikerjakan.”

Penggalian terhadap pemikiran filsuf yang meninggal karena AIDS ini disampaikan dengan gaya bertutur yang segar dan tak bosan dibaca. Buku utuh yang awalnya adalah skripsi di Fakultas Filsafat UGM ini memang layak dibaca dan dikaji, sehingga dapat memberi inspirasi bagi penelitian lebih lanjut.


Tulisan ini dimuat di Harian Media Indonesia, 16 Juni 2002.


2 komentar:

Unknown mengatakan...

Terima kasih, Kiai. Ini tulisan yang sangat membantu saya memahami Foucault. Membaca ini seperti baru saja selesai memahami The Order of Things. :-)

M Mushthafa mengatakan...

Terima kasih, Mahalli. Kalau langsung baca buku ini, rasanya lain. Gaya bertuturnya lincah, dan bagus dalam menempatkan konteks pemikiran Foucault.