Senin, 18 Februari 2002

Membendung Matinya Spirit Pembebasan Agama

Judul Buku: Islam Borjuis dan Islam Proletar: Konstruksi Baru Masyarakat Islam Indonesia
Penulis : Nur Khalik Ridwan
Pengantar : Ulil Abshar-Abdalla
Penerbit : Galang Press, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Januari 2002
Tebal : liv + 508 halaman


Memasuki dekade 1990-an, ada banyak gejala yang menunjukkan kebangkitan semangat keberislaman dalam masyarakat Indonesia. Beberapa indikator yang dapat dikemukakan antara lain merebaknya penggunaan jilbab, pengucapan salam yang semakin meluas, suburnya kelompok diskusi keislaman di kampus-kampus, dan lain sebagainya. Mobilitas dan partisipasi kaum muda muslim juga semakin meluas di berbagai sektor. Memasuki era reformasi berbagai elemen umat Islam tak ketinggalan ikut terjun dalam arus perubahan politik, baik dengan mendirikan partai politik atau organisasi-organisasi sosial semacamnya.

Tapi benarkah itu semua adalah merupakan suatu pertanda baik bagi lahirnya suatu generasi baru muslim di Indonesia, yang diharapkan dapat menghadirkan misi profetis dan pembebasan dari agama (Islam) itu sendiri? Kecenderungan yang muncul memang cukup beragam. Selain partisipasi sosial-politik yang semakin luas, tak jarang juga timbul beberapa tindakan kekerasan atas nama agama yang seperti mencederai semangat kemanusiaan agama itu sendiri.

Buku ini berusaha memotret secara kritis situasi kekinian masyarakat Islam Indonesia dari segi keberagamaan dengan bertolak dari sebuah taksonomi baru yang diperkenalkan penulisnya: Islam Borjuis dan Islam Proletar. Pertama-tama, Nur Khalik Ridwan, penulis buku ini yang merupakan jebolan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mendekonstruksi suatu konstruksi klasik yang membagi kelompok Islam Indonesia dalam dua kutub: Islam Tradisional dan Islam Modern.

Deliar Noer dalam buku Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 yang selalu menjadi rujukan memberikan pengertian Islam Tradisional sebagai komunitas Islam yang lebih menghiraukan soal-soal agama dalam hal ibadah belaka, mengikuti taklid dan menolak ijtihad, berpikiran jumud, dan banyak mempraktikkan bid’ah. Sementara Islam Modern yang disebut juga kaum pembaru adalah mereka yang mengembalikan rujukan persoalan kepada dasar ajaran Al-Qur’an dan Hadits, rasional dan menjunjung ijtihad, dan mereka yang berusaha memaknai Islam sesuai tuntutan zaman.

Model pembagian semacam itu telah melahirkan stigmatisasi terhadap Islam Tradisional sebagai sesuatu yang kolot, kampungan, irasional, dan statis, sementara Islam Modern maju, progresif, rasional, dan dinamis. Akan tetapi, menurut Nur Khalik, saat ini dua konstruksi klaim tersebut sudah tidak berlaku lagi. Dengan menggunakan pisau analisis semiologi, model pembacaan postkolonial, menyusuri genealogi struktur yang melegitimasinya, serta hermeneutika, Nur Khalik menunjukkan bahwa basis tinanda dua konstruksi tersebut sudah berubah total.

Kecenderungan Islam Modern yang terdiri dari kalangan perkotaan saat ini justru menunjukkan bahwa slogan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits yang mereka gembar-gemborkan justru terjerembab dalam model pemaknaan tekstual terhadap teks-teks suci, dan pada akhirnya melahirkan model keberagamaan yang simbolik-formalistik, serta cenderung kurang bisa menerima ide-ide pluralisme. Sementara Islam Tradisional yang diasosiasikan dengan kalangan pedesaan dapat dengan mudah menerima ide-ide pluralisme, memiliki model keberagamaan yang tidak melulu tekstual, dan cenderung luwes dalam menafsirkan teks-teks suci.

Selanjutnya Nur Khalik mengajukan sebuah konstruksi baru dalam memahami Islam Indonesia saat ini: Islam Borjuis dan Islam Proletar. Islam Borjuis adalah mereka yang mapan secara ekonomi dan hidup di perkotaan, hidup sebagai pedagang atau birokrat, dan berpendidikan formal. Sementara Islam Proletar adalah mereka yang hidup di pedesaan (kebanyakan adalah para petani) yang miskin secara sosial dan ekonomi, terbelakang dan kurang terdidik secara formal.

Dengan mengusung gagasan pemurnian ajaran Islam, kelompok Islam Borjuis hidup dengan semangat “komunalisme agama” dan cenderung eksklusif dalam bergaul dan menafsirkan ajaran agama. Sedangkan kelompok Islam Proletar meski senantiasa melakukan inovasi terhadap teks suci dan lebih inklusif, mereka masih sering terjebak dalam kodifikasi ulama-ulama fiqh yang terlalu dianggap suci.

Bagian utama dari buku yang ditulis utuh ini adalah bab empat, yang dengan cukup rinci mengritik satu-persatu nalar agama kedua kelompok Islam tersebut. Pada bagian ini Nur Khalik berusaha menunjukkan bahwa ternyata dalam dua kelompok Islam tersebut masih terdapat banyak problem akut untuk dapat mengharapkan keduanya mampu memberikan angin segar yang menyejukkan bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat Indonesia.

Ada tiga poin penting yang dieksplorasi Nur Khalik dalam buku ini, yakni menyangkut pembacaan teks agama, komunalisme beragama, dan model pembacaan tawhid yang melangit. Kelompok Islam Borjuis mengartikan otoritas agama sebagai produk pembacaan tekstual terhadap Al-Qur’an dan Hadits. Ungkapan yang sering muncul dari mereka adalah: “Qur’annya sudah begini”. Dengan komentar seperti ini, mereka sebenarnya tidak sadar telah masuk dalam perangkap wacana non-dialogis, dan menyejajarkan produk pemahaman mereka dengan wahyu yang diyakini berasal dari Tuhan. Akhirnya, tidak hanya cara baca eksklusif yang lahir, tapi juga serapahan terhadap pihak yang tidak sepaham dengan klaim bid’ah, khurafat, takhayul, dan lain sebagainya.

Sementara itu, kelompok Islam Proletar menyandarkan pemahaman keagamaannya kepada teks-teks kedua (produk ulama), dan menempatkannya dalam posisi yang nyaris seperti teks suci yang tak boleh dikritik. Interaksi sosial mereka yang sempit juga berakibat pada sempitnya pemaknaan doktrin agama, terlepas dari konteks kemaslahatan. Padahal maslahat adalah sesuatu yang dianggap baik dengan berbagai pertimbangan dalam menyelamatkan manusia, yang digunakan untuk merekonstruksi realitas keagamaan dan kemanusiaan.

Wacana pluralisme dalam komunitas Islam Borjuis amatlah langka, dan kalaupun ada ternyata hanya terhenti dalam tataran wacana. Sementara komunitas Islam Proletar yang cenderung menerima ide-ide pluralisme belum berani melakukan kritik terhadap doktrin-doktrin komunal agama Islam yang diintrodusir dan ditafsirkannya.

Terhadap masalah pluralisme kaitannya dengan konsep keselamatan, Nur Khalik mengajukan sebuah pemaknaan berani terhadap Al-Qur’an surat Al-Baqarah/2: 62 yang berbunyi: Mereka orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Sabi’in, barangsiapa di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan melakukan kebajikan, pahala mereka ada pada Tuhan dan mereka tidak perlu khawatir dan bersedih hati. Menurut Nur Khalik, hanya ada satu syarat orang yang akan selamat, yakni berbuat kebajikan.

Pertimbangannya ada dua, pertama, secara inheren manusia sudah mengakui adanya Allah sejak lahir (Al-Qur’an surat Al-A`raf/7: 172), dan kedua, tidak semua orang yang bertuhan adalah orang yang berbuat kebajikan. Dengan demikian berislam kemudian adalah kepasrahan kepada Tuhan yang tidak sektarian, komunal, regional, dan primordial.

Ada pula kecenderungan memahami Tuhan dalam konteks yang sangat melangit, abstrak, absurd, dan berbau metafisik. Ide-ide metafisik tentang Tuhan ini akhirnya menjadi tumpul ketika dihadapkan dengan realitas sosial, bahkan cenderung memperkokoh borjuisme kaum mapan dan kelompok terbatas Islam Proletar. Dalam buku ini Nur Khalik mengeksplorasi pemahaman berketuhanan yang mampu mendorong semangat pembebasan, semangat perubahan, semangat revolusioner. Tuhan yang digagas di sini lalu bukannya Tuhan yang dibela mati-matian, melainkan Tuhan yang memberi inspirasi dan berpihak kepada kaum tertindas.

Secara implisit buku ini merupakan sebuah semangat, harapan, serta ajakan untuk kembali kepada cita-cita primordial agama: semangat pembebasan dan nilai kemanusiaan yang dikandungnya, yang dalam perjalanannya seringkali diabaikan oleh para penganutnya. Dengan cukup berani, tema-tema mendasar dalam pemikiran Islam dalam buku ini dicoba untuk didekonstruksi, mulai dari konsep “agama langit-agama bumi”, konsep Rukun Islam, Ahlul-Kitab, wahyu, dan sebagainya.

Pembacaan ulang terhadap berbagai ajaran mendasar tersebut bertolak dari keyakinan bahwa upaya-upaya pembebasan terhadap kemanusiaan dan kaum tertindas hanya bisa dilakukan dengan membongkar wacana dan praksis agama yang cenderung menindas, dan bahwa keberagamaan yang sejati adalah praksis pembebasan dari ketertindasan. Pembacaan ulang ajaran agama dalam konteks kekinian seperti yang dilakukan buku ini sekaligus pula adalah suatu pencarian otentisitas makna ajaran agama, karena otentisitas—seperti ditulis Ulil Abshar-Abdalla di bagian pengantar buku ini—tidak hanya bergerak mundur, tapi juga harus bergerak ke depan, dengan menjangkarkan diri pada realitas konkret yang dihadapi umat.

Kritik yang dapat diajukan pada buku ini terletak pada dua konstruksi baru yang ditawarkan: Islam Borjuis dan Islam Proletar. Ulil dalam bagian pengantar mengritik minimnya pendasaran analisis kelas yang harusnya mendapat kedudukan primer dalam seluruh analisis buku ini. Juga model pembagian kelas yang menurut Ulil sudah semakin rumit, tidak hanya soal kelas borjuis-proletar. Kritik lainnya adalah ketika borjuasi (kelimpahan material) diasosiasikan dengan kecenderungan sifat-sifat negatif dalam beragama. Seolah-olah agama tidak pernah memberi anjuran untuk hidup bercukupan (baca: kaya).

Lepas dari itu semua, usaha serius untuk mencoba menelaah secara kritis doktrin agama yang terlalu disucikan demi konstruksi baru masyarakat Islam Indonesia yang lebih baik patut disambut dengan baik.

0 komentar: