Senin, 27 Agustus 2001

Ideologi di Balik Pembangunan

Judul Buku: Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi
Penulis: Dr. Mansour Fakih
Penerbit: Insist Press bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Juli 2001
Tebal: viii + 250 halaman


Persoalan pembangunan suatu masyarakat, terutama di negara-negara berkembang, hingga saat ini masih berada dalam suatu proses yang tak kunjung selesai dilalui. Khusus di Indonesia dan kawasan negara Asia Tenggara yang saat ini dilanda krisis ekonomi, sosial, politik, dan budaya, masalah pembangunan menjadi suatu problem penting. Krisis multidimensional yang secara tiba-tiba menyerbu sejak tahun 1997 membuktikan kegagalan paradigma pembangunan yang selama ini diterapkan.
Secara simplisistis orang-orang sering menghubungkan krisis yang melanda Indonesia ini dengan kegagalan pengelolaan pemerintahan, dengan diangkatnya istilah KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) untuk menggambarkan pemerintah yang buruk. Buku ini berusaha mengungkapkan bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekedar kebobrokan pemerintah yang dinilai totaliter dan tidak demokratis itu. Buku ini menyatakan bahwa jalan keluar bagi kemelut pembangunan yang berpihak bagi rakyat bawah tidak hanya dapat diselesaikan dengan pembentukan pemerintah yang bersih dan berwibawa. Perjalanan kelompok reformis yang telah mengawal proses reformasi selama sekitar 3 tahun ini telah cukup untuk membuktikan bahwa ada sesuatu yang bersifat lebih mendasar dalam soal penyelesaian masalah pembangunan.
Dengan sebuah uraian teoritik yang cukup meyakinkan, buku ini melakukan sebuah studi kritis terhadap teori-teori pembangunan dan globalisasi yang menjadi pembimbing arah pembangunan berbagai kalangan di Indonesia: pemerintah, LSM, aktivis sosial, dan sebagainya. Mansour Fakih, penulis buku ini yang telah cukup lama bergelut dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat, sejak awal bagian buku ini mengingatkan bahwa ada suatu ideologi tersembunyi yang merasuk dalam teori-teori pembangunan dan globalisasi itu.
Dalam kerangka itulah buku ini melanjutkan uraian-uraian kritisnya. Pisau analisis yang digunakan Mansour dalam buku ini adalah konsep paradigma Thomas Kuhn, yakni bahwa ada suatu tempat berpijak yang mendasari segenap teori-teori itu yang pada tahap akhirnya mampu menentukan pandangan seseorang untuk menentukan sisi-sisi suatu program sosial. Dan patut diingat bahwa suatu paradigma tertentu yang digunakan di masyarakat tidak serta-merta berarti bahwa paradigma itu benar, tapi lebih disebabkan karena paradigma itu didukung oleh suatu kekuatan dan kekuasaan yang besar dan kuat.
Mansour melihat bahwa ternyata ada beberapa aktivis sosial yang tanpa disadari menggunakan dasar teoritik dan visi ideologis yang bertolak belakang dengan tujuan yang diinginkannya. Ini menunjukkan adanya suatu kelemahan teoritik dalam hal visi ideologis gerakan sosial yang sedang dikerjakannya.
Menurut Mansour, teori-teori pembangunan yang berkembang sebenarnya adalah kelanjutan dari proses kolonialisme yang terpental akibat gemuruh tuntutan berbagai pihak. Developmentalisme dilontarkan guna membendung arus sosialisme, sehingga sebenarnya ia tidak lain adalah kemasan baru kapitalisme.
Dalam praktiknya, pembangunan memang terlalu sering diartikan semata-mata sebagai pertumbuhan ekonomi, dan abai terhadap masalah keadilan, pemerataan, atau perlakuan manusiawi terhadap berbagai khazanah kebudayaan lokal. Segala sesuatu dilihat semata-mata dari perspektif material, termasuk pula manusia. Karena itu, tidak heran bila atas nama pembangunan penggusuran dilegalkan, atas nama stabilitas pembangunan darah rakyat dihalalkan, dan atas nama pembangunan rakyat dininabobokan dalam kabut kebodohan.
Sementara itu, yang namanya globalisasi, tidak lain adalah kelanjutan dari teori pembangunan yang mewarisi semangat hegemonik dan imperialis. Dalam teori globalisasi, tiap negara didorong untuk berintegrasi dalam sistem ekonomi dunia. Globalisasi, yang titik awalnya ditandai dengan perjanjian internasional di bidang perdagangan yang dikenal dengan GATT (General Agreement on Tariff and Trade), tidak lain adalah globalisasi kapitalisme yang menjadi perpanjangan tangan kelompok negara-negara maju, dengan antek-antek bernama IMF, WTO, atau World Bank. Dalam proses globalisasi itu sendiri sebenarnya terlihat dengan terang siapa yang diuntungkan dengan sistem tersebut: mereka adalah kelompok-kelompok perusahaan transnasional yang berasal dari negara-negara industri.
Melalui buku ini, Mansour Fakih cukup berhasil menelanjangi ideologi teori-teori pembangunan dan globalisasi, sehingga kita semua, terutama para aktivisi sosial, menjadi awas terhadap masalah ini. Hal ini penting artinya agar gerakan sosial yang sudah cukup banyak berakar dari bawah tidak sia-sia, hanya gara-gara tidak sadar dengan tirai ideologis yang menyelimutinya.

Tulisan ini dimuat di Majalah Forum Keadilan, 27 Agustus 2001.

Read More..

Selasa, 14 Agustus 2001

Pendidikan sebagai Jantung Transformasi

Judul Buku: Menjadi Guru Merdeka: Petikan Pengalaman
Penulis: Ira Shor dan Paulo Freire
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2001
Tebal: xvi + 300 halaman


Wacana pendidikan selama ini dibiarkan terbengkalai ditindih isu-isu politik yang menebar di seantero atmosfer wacana aktual. Sebagian besar masyarakat termasuk kalangan intelektual dan akademisi bahkan menganggap pendidikan sebagai wilayah yang betul-betul terpisah dari domain politik. Akibat yang dirasakan saat ini cukup nyata: dunia pendidikan masih saja terpuruk dalam keterbelakangannya.

Dalam dialog Paulo Freire dan Ira Shor dalam buku ini dengan jelas ditegaskan bahwa pendidikan dan politik memiliki keterkaitan yang cukup erat. Sekolah sebagai titik tolak bidang formal pendidikan bukanlah wilayah netral yang steril dari nilai-nilai politis. Sekolah dibentuk oleh dialektika nilai dan bangunan sosial yang melingkupinya sehingga tak heran bahwa sekolah bisa menjadi salah satu tameng penopang suatu nilai tertentu—termasuk status quo.

Struktur kapitalis yang membayangi hampir seluruh belahan dunia saat ini misalnya menurut Freire telah cukup mampu merintangi kritisisme masyarakat terhadap lingkungan sosialnya melalui sekolah. Kurikulum yang seolah netral ditanamkan kuat-kuat untuk menjinakkan dan menyetop imajinasi tentang kemerdekaan. Untuk itu, di sekolah-sekolah pengetahuan diperlakukan sebagai seonggok mayat dingin, bukan sosok kehidupan yang bertaut erat dengan realitas. Ruang kelas hanya menjadi ajang untuk mengetahui (ilmu), bukan memproduksi, sehingga akhirnya ruang kelas hanya menjadi pasar jual-beli pengetahuan antara guru dan murid.

Freire yang juga dikenal sebagai tokoh pendidikan pembebasan dalam buku ini menegaskan bahwa pendidikan adalah sebuah tindakan politis. Pendidikan yang membebaskan berusaha memberikan suatu perspektif cerdas tentang sekolah, masyarakat, dan belajar, untuk sebuah transformasi masyarakat.

Usaha Freire untuk menjadikan pendidikan sebagai instrumen penting transformasi sosial ditempuh dalam berbagai cara. Salah satu hal yang mendasar adalah penegasan ulang keterkaitan pengetahuan dengan realitas sosial. Motivasi belajar misalnya menurut Freire semestinya dipahami sebagai hasil dialektika seorang siswa atau guru dengan tindakan dan keterlibatannya dalam proses-proses sosial, sehingga akhirnya betul-betul menyatu dengan proses belajar itu sendiri.

Realitas ketertindasan sosial-politik dan ekonomi misalnya telah menjadi motivasi penting dalam sosok dan semangat pemikiran Freire sendiri. Secara biografis terungkap bagaimana Freire bergulat dengan fenomena kemiskinan, kelaparan, atau teror dan intimidasi penguasa di negerinya.

Sikap kritis yang diimpikan Freire yang muncul dari ruang kelas ini tidak lain adalah ketercerahan untuk dapat mengkritisi sistem kapitalis yang telah membentuk dan mengepung sekolah. Karena itu, seorang guru yang memiliki impian pembebasan harus bisa mendorong siswa-siswanya melahirkan imajinasi kreatif berupa pemikiran-pemikiran alternatif guna mengantisipasi realitas sosial masa depan dan mendayagunakan semuanya untuk membangun masyarakat.

Karena situasi eksistensial siswa dan guru menjadi titik tolak yang tak bisa ditawar, maka dialog dan partisipasi menjadi kunci penting dalam sebuah proses pendidikan. Ini adalah sebuah usaha dekonstruktif untuk mendemistifikasi posisi guru yang selama ini dianggap “segalanya”. Dialog harus dapat memadamkan otoriterisme sistem sekolah, karena dalam dialog akan terbentuk suatu ketegangan permanen antara otoritas dan kemerdekaan yang membuka ruang bagi kreativitas berpikir guru dan siswa. Perbedaan-perbedaan pendapat dalam ruang kelas tidak diletakkan dalam kerangka antagonistik, tapi berada dalam bingkai partisipatoris.

Dengan itu semua diharapkan pendidikan betul-betul dapat berperan mendukung proses transformasi dengan menghasilkan siswa-siswa dan guru yang memiliki rasa kebersamaan, solidaritas, dan kepedulian serta tanggung jawab untuk meraih kehidupan yang lebih baik.

Buku yang berjudul asli A Pedagogy for Liberation: Dialogues on Transforming Education (1987) ini berusaha mengeksplorasi lebih jauh gagasan-gagasan pendidikan pembebasan Freire yang diformat dalam suatu dialog lepas antara Freire dan Ira Shor, seorang pemikir dan aktivis pendidikan pembebasan yang telah bereksprimen dengan gagasan Freire.

Untuk kesekian kalinya elit-elit (politik) Indonesia harus disadarkan dari kesibukannya berebut kursi kekuasaan, untuk lebih memikirkan bidang pendidikan yang untuk jangka panjang akan sangat berguna sekali mendorong dan mengawal proses transformasi dan demokratisasi masyarakat.


Tulisan ini dimuat di Majalah Forum Keadilan, 13 Agustus 2001.

Read More..

Minggu, 12 Agustus 2001

Tuhan yang Menyejarah

Judul Buku : Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4000 Tahun
Penulis : Karen Armstrong
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, April 2001
Tebal: 581 halaman


Diskusi tentang Tuhan termasuk dalam kategori problem abadi yang tak kunjung mencapai titik final. Setiap zaman, bahkan sejak 4000 tahun yang lalu, manusia sebagai homo sapiens merekonstruksi konsep-konsep tentang Tuhannya. Tak jarang, bertolak dari konsepsi mereka terhadap Tuhan, lahir gerakan-gerakan sosial yang bersifat liberatif atau bahkan juga muncul tindakan “anarkis” demi menegakkan citra Tuhan yang mereka yakini.

Buku ini memerikan suatu peringatan dan pesan yang cukup jelas, bahwa kita semestinya tidak bersikap ahistoris terhadap konsep Tuhan yang berusaha dikenali manusia itu, bahwa ternyata sepanjang sejarah manusia nyaris memiliki konsepsi tentang Tuhan yang begitu beragam—bahkan dalam suatu periode. Buku ini secara cukup utuh menelaah pertumbuhan karakter tiga agama besar—Yahudi, Kristen, dan Islam—dalam mengkonsepsikan Tuhan dalam terang perspektif historis-sosiologis.

Ziarah intelektual yang dilakukan dalam buku ini sebenarnya bermula dari kekecewaan penulisnya, Karen Armstrong, setelah menyadari bahwa ajaran-ajaran agama yang dipelajarinya selama tujuh tahun menjadi biarawati Katolik Roma adalah hasil dari suatu konstruksi historis yang tentu saja bersifat subjektif. Kebenaran-kebenaran agama yang dikhotbahkan itu melewati proses subjektivikasi dan karena itu tidak dapat lepas dari konteks historis-sosiologis. Ini berarti gagasan manusia tentang Tuhan memiliki sejarah yang berbeda-beda antar-generasi, sehingga tidak aneh bila kadang konsepsi ketuhanan suatu generasi akan dipandang tidak cocok bagi generasi berikutnya.

Buku bagus yang terdiri dari sebelas bab ini memulai uraiannya dengan beberapa teori dan pemikiran tentang munculnya gagasan tentang Tuhan. Dengan mengutip beberapa pemikir terkemuka seperti Mircea Eliade, Wilhelm Schmidt atau Rudolf Otto, terungkap bahwa ternyata manusia memang cenderung memiliki kepercayaan terhadap yang gaib yang merupakan dasar dari setiap agama. Kepercayaan terhadap dewa misalnya merupakan contoh dari monoteisme primitif yang mempercayai adanya “Tuhan” yang menciptakan dan mengatur urusan dunia.

Semua konsepsi tentang Tuhan yang dikemukakan dari zaman ke zaman atau dari kelompok yang berbeda—mistikus, teolog, filsuf, saintis, dan sebagainya—terbukti tidak sepenuhnya harus rasional, logis, dan ilmiah. Hal ini semakin menegaskan bahwa sebenarnya setiap gagasan tentang Tuhan sebenarnya tidak sakral, karena ia mesti melibatkan penafsiran manusia. Ada semacam sisi pragmatis dari konsep tentang Tuhan, yakni asal ia bisa diterima oleh masyarakat. Muhammad misalnya, Nabi kaum muslim bertolak dari sebuah konsep dakwah yang pada awalnya cukup sederhana. Dia tidak berpikir bahwa dirinya tengah membangun sebuah agama universal (konsep Tuhan yang universal), melainkan justru menggunakan keyakinan kuno masyarakat Arab yang mengajarkan keesaan Tuhan kepada orang-orang Quraisy.

Kemudian, dalam perkembangannya, pada sekitar abad ke-17, mulai muncul gagasan-gagasan tentang ateisme. Diam-diam, beberapa kelompok mulai berniat menyingkirkan Tuhan dari kehidupan manusia. Periode ini tidak hanya spesifik dialami masyarakat Barat (Yahudi dan Kristen), tapi juga dialami kaum Muslim. Armstrong dalam buku ini memberikan suatu paparan menarik bahwa pada dasarnya ateisme itu muncul akibat ketidakcukupan konsepsi tentang Tuhan dalam mengikuti gerak roda zaman. Atau, bisa jadi ateisme ini muncul akibat merebaknya tindakan-tindakan mengerikan (pembunuhan, perang, dan sebagainya) yang dilakukan atas nama Tuhan.

Saat ini, memasuki milenium ketiga, konsepsi umat manusia tentang Tuhan dihadapkan dengan berbagai pemikiran semisal sekularisme atau spirit humanisme yang ingin menggantikan agama. Buku ini mengajak kita untuk menyegarkan kembali keberimanan kita dan pemahaman serta penghayatan kita terhadap Tuhan, menuju suatu kesadaran bahwa “sosok” Tuhan itu ternyata dapat ditangkap dengan spektrum yang amat luas. Buku ini menggelitik kita untuk melahirkan semangat dan gairah keimanan baru yang bermakna bagi masa depan manusia, agar iman kita itu tidak justru melukai nilai-nilai kemanusiaan.

Read More..