Minggu, 12 Agustus 2001

Tuhan yang Menyejarah

Judul Buku : Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4000 Tahun
Penulis : Karen Armstrong
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, April 2001
Tebal: 581 halaman


Diskusi tentang Tuhan termasuk dalam kategori problem abadi yang tak kunjung mencapai titik final. Setiap zaman, bahkan sejak 4000 tahun yang lalu, manusia sebagai homo sapiens merekonstruksi konsep-konsep tentang Tuhannya. Tak jarang, bertolak dari konsepsi mereka terhadap Tuhan, lahir gerakan-gerakan sosial yang bersifat liberatif atau bahkan juga muncul tindakan “anarkis” demi menegakkan citra Tuhan yang mereka yakini.

Buku ini memerikan suatu peringatan dan pesan yang cukup jelas, bahwa kita semestinya tidak bersikap ahistoris terhadap konsep Tuhan yang berusaha dikenali manusia itu, bahwa ternyata sepanjang sejarah manusia nyaris memiliki konsepsi tentang Tuhan yang begitu beragam—bahkan dalam suatu periode. Buku ini secara cukup utuh menelaah pertumbuhan karakter tiga agama besar—Yahudi, Kristen, dan Islam—dalam mengkonsepsikan Tuhan dalam terang perspektif historis-sosiologis.

Ziarah intelektual yang dilakukan dalam buku ini sebenarnya bermula dari kekecewaan penulisnya, Karen Armstrong, setelah menyadari bahwa ajaran-ajaran agama yang dipelajarinya selama tujuh tahun menjadi biarawati Katolik Roma adalah hasil dari suatu konstruksi historis yang tentu saja bersifat subjektif. Kebenaran-kebenaran agama yang dikhotbahkan itu melewati proses subjektivikasi dan karena itu tidak dapat lepas dari konteks historis-sosiologis. Ini berarti gagasan manusia tentang Tuhan memiliki sejarah yang berbeda-beda antar-generasi, sehingga tidak aneh bila kadang konsepsi ketuhanan suatu generasi akan dipandang tidak cocok bagi generasi berikutnya.

Buku bagus yang terdiri dari sebelas bab ini memulai uraiannya dengan beberapa teori dan pemikiran tentang munculnya gagasan tentang Tuhan. Dengan mengutip beberapa pemikir terkemuka seperti Mircea Eliade, Wilhelm Schmidt atau Rudolf Otto, terungkap bahwa ternyata manusia memang cenderung memiliki kepercayaan terhadap yang gaib yang merupakan dasar dari setiap agama. Kepercayaan terhadap dewa misalnya merupakan contoh dari monoteisme primitif yang mempercayai adanya “Tuhan” yang menciptakan dan mengatur urusan dunia.

Semua konsepsi tentang Tuhan yang dikemukakan dari zaman ke zaman atau dari kelompok yang berbeda—mistikus, teolog, filsuf, saintis, dan sebagainya—terbukti tidak sepenuhnya harus rasional, logis, dan ilmiah. Hal ini semakin menegaskan bahwa sebenarnya setiap gagasan tentang Tuhan sebenarnya tidak sakral, karena ia mesti melibatkan penafsiran manusia. Ada semacam sisi pragmatis dari konsep tentang Tuhan, yakni asal ia bisa diterima oleh masyarakat. Muhammad misalnya, Nabi kaum muslim bertolak dari sebuah konsep dakwah yang pada awalnya cukup sederhana. Dia tidak berpikir bahwa dirinya tengah membangun sebuah agama universal (konsep Tuhan yang universal), melainkan justru menggunakan keyakinan kuno masyarakat Arab yang mengajarkan keesaan Tuhan kepada orang-orang Quraisy.

Kemudian, dalam perkembangannya, pada sekitar abad ke-17, mulai muncul gagasan-gagasan tentang ateisme. Diam-diam, beberapa kelompok mulai berniat menyingkirkan Tuhan dari kehidupan manusia. Periode ini tidak hanya spesifik dialami masyarakat Barat (Yahudi dan Kristen), tapi juga dialami kaum Muslim. Armstrong dalam buku ini memberikan suatu paparan menarik bahwa pada dasarnya ateisme itu muncul akibat ketidakcukupan konsepsi tentang Tuhan dalam mengikuti gerak roda zaman. Atau, bisa jadi ateisme ini muncul akibat merebaknya tindakan-tindakan mengerikan (pembunuhan, perang, dan sebagainya) yang dilakukan atas nama Tuhan.

Saat ini, memasuki milenium ketiga, konsepsi umat manusia tentang Tuhan dihadapkan dengan berbagai pemikiran semisal sekularisme atau spirit humanisme yang ingin menggantikan agama. Buku ini mengajak kita untuk menyegarkan kembali keberimanan kita dan pemahaman serta penghayatan kita terhadap Tuhan, menuju suatu kesadaran bahwa “sosok” Tuhan itu ternyata dapat ditangkap dengan spektrum yang amat luas. Buku ini menggelitik kita untuk melahirkan semangat dan gairah keimanan baru yang bermakna bagi masa depan manusia, agar iman kita itu tidak justru melukai nilai-nilai kemanusiaan.

0 komentar: