Selasa, 10 Juli 2001

Pertemuan Fiksi dan Fakta

Judul: Dunia Sukab: Sejumlah Cerita
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Kompas, Jakarta
Cetakan : Pertama, Juni 2001
Tebal: x + 160 halaman


Di saat sensor negara terhadap segenap informasi di masyarakat begitu kuat, seperti pada masa Orde Baru, jalur alternatif manakah yang bisa digunakan untuk mendapatkan atau menyebarkan jenis informasi yang tidak menguntungkan “negara”? Banyak orang yang menggunakan “media-media bawah tanah” atau internet untuk mensiasati barikade negara.
Akan tetapi, lain halnya dengan Seno Gumira Ajidarma yang dulu pernah menjadi wartawan. Seno mengambil jalur alternatif lain: dunia sastra. Pilihan Seno ini dapat dilihat secara lebih jelas dari salah satu esainya yang berjudul Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara. Dalam esai ini Seno menegaskan bahwa sastra berbicara dengan kebenaran yang bersumber dari komitmen penulisnya. Fakta jurnalisme memang bisa ditutupi—dan ini merupakan tindakan politik—tapi menutupi kebenaran adalah tindakan paling bodoh.
Yang menarik, ketika sensor negara sudah lumer di bawah kuasa semangat reformasi, beberapa cerpen Seno masih menunjukkan corak yang kurang lebih mirip dengan karya-karya sebelumnya, yakni adanya pertemuan antara fiksi dan fakta.
* * *
Beberapa cerpen yang terkumpul dalam antologi ini tampak masih lekat membawa semangat itu. Misalnya cerpen yang berjudul Manusia Api. Cerpen ini bertutur tentang kejadian pasca kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, di mana di sebuah tempat bekas bangunan yang terbakar muncul sosok Manusia Api yang merintih dan mengerang tiada henti seperti minta pertolongan. Dukun didatangkan, dan kemenyan dibakar. Tapi sosok Manusia Api tak mau enyah. Lalu, ada sebuah potongan dialog yang menarik dan penuh dengan kritik tajam: “Kayaknya sih kemenyan saja kagak cukup Dil.” Yang lain menyahut: “Apa dong yang cukup Bang?”. Lalu dijawab singkat: “Keadilan” (hal. 66).
Lain lagi dengan cerpen berjudul Carmina Burana yang berkisah tentang gegap gempitanya masyarakat menghadapi sebuah pemilihan (Pemilihan Umum[?]). Cerpen yang ditulis pada tahun 1987 ini jelas menunjukkan kepiawaian Seno menelusup di antara sensor negara waktu itu terhadap suara-suara kritis dengan menggunakan media cerita. Pemilihan (Umum) yang penuh dengan omong kosong dan tidak adanya perbedaan visi antara kontestan yang berpartisipasi menjadi sorotan tajam dari dialog-dialog yang dibangun. Ini tampak dalam sebuah petikan: “Habis semuanya sama. Tidak bisa dibedakan. Semuanya pakai kacamata hitam. Semuanya pakai ikat kepala. Semuanya mengibarkan bendera…” (hal. 29). Atau kutipan seperti ini: “Aku capek mendengar orang berteriak-teriak. Aku capek melihat gambar besar yang itu-itu juga. Aku capek melihat banyak tenaga dibuang percuma. Terlalu banyak kata-kata besar. Terlalu banyak janji yang paling setia” (hal. 31).
Ada juga cerita yang bercorak futuristik berjudul Jakarta, 14 Februari 2039 yang juga bertolak dari setting kerusuhan Mei 1998. Alkisah di sebuah sudut kota Jakarta pada tanggal 14 Februari 2039 tiga sosok manusia di tempat yang berbeda sedang mengalami kegalauan dan kegelisahan atas tragedi hidup yang dialaminya. Masing-masing mereka adalah anak hasil pemerkosaan, si ibu korban perkosaan, dan bapak (si pemerkosa). Ketiganya ditampilkan secara bergantian dengan pola bertutur orang pertama yang dibingkai dengan gaya reflektif. Alur cerita juga diselingi dengan sebuah aksi pengejaran seorang penjahat yang ternyata adalah seorang pemerkosa oleh polisi dengan menggunakan helikopter. Yang menarik, di akhir cerita terungkap bahwa kedua polisi dalam heli itu kemudian melepas si pemerkosa, karena kedua polisi itu juga adalah anak yang lahir akibat perkosaan!
Selain corak cerpen yang sedemikian itu, dalam antologi ini pembaca dapat menemukan cerpen-cerpen Seno dengan tema yang berbeda: cerita tentang hidup sehari-hari, terutama potret kehidupan perkotaan yang penuh dengan kekerasan. Cerpen berjudul Perempuan Preman misalnya, berkisah tentang kehidupan seorang perempuan yang memilih jalan hidupnya sebagai preman. Dalam cerpen ini digambarkan si Perempuan Preman sebagai sosok misterius yang ditakuti preman lain yang rata-rata pria. Tak jarang dia menolong gadis-gadis bar yang diperas pria-pria preman. Ada sebuah kritik pedas yang terselip dalam cerita ini, ketika terungkap motif si perempuan menjadi preman: “Bagaimana kita membangun masa depan jika perempuan tidak pernah bisa melawan? Bagiku tidak ada jalan lain selain jalan kekerasan. Aku seorang perempuan, dan aku sudah lama mati jika tidak menjadi kuat di jalan kekerasan..” (hal. 152).
* * *
Kemampuan Seno dalam menggabungkan yang fiktif dan yang faktual ini memang cukup menarik dan terhitung berhasil. Dari beberapa cerpennya yang bercorak demikian, para pembaca memang tidak hanya memperoleh suatu cara pandang lain terhadap suatu kejadian faktual, akan tetapi juga mendapatkan suatu impresi mendalam yang dikelola dalam suatu kecanggihan cara bertutur dan berekspresi melalui bahasa yang mampu bermain lincah. Dengan segala keterbatasan sebuah genre cerpen, Seno cukup mampu menampilkan sisi-sisi estetis dalam bercerita dan tidak hanya menunggangi bahasa sehingga menjadi sangat mekanis. Pada sisi lain, keasyikan pembaca mengikuti alur dan permainan bahasa Seno di akhir cerita kerap kali tiba-tiba dikejutkan oleh suatu momen atau kejadian yang mampu menjungkirkan dugaan-dugaan pembaca tentang akhir cerita dan—meminjam ungkapan Hasif Amini—‘menjotos kebiasaan maupun kejemuan kita secara telak, secara jitu’. Dengan gaya ini, ketajaman cerpen-cerpen Seno menjadi semakin nampak.
Dari pertemuan medan fakta dan fiksi ini menjadi teranglah komitmen (kalau boleh disebut demikian) keberanian dan kejujuran Seno. Dalam karya-karya Seno, nilai kebenaran dalam kejujuran disatukan bersama kesusastraan sehingga semakin memperkokoh makna dan nilai karya-karyanya itu. Pada titik ini pulalah nilai karya-karya Seno menampakkan kelebihannya.
Tujuh belas cerpen dalam antologi ini semakin mempertegas kepiawaian Seno dalam bercerita dan juga kepintarannya mengikat dan mengincar perasaan pembacanya untuk ikut sepenuhnya dalam suasana cerita yang dibangun. Selain itu, dalam antologi ini ada pengantar singkat dari Seno yang bercerita sekedarnya tentang tokoh Sukab yang sering digunakan Seno dalam cerpen-cerpennya.

0 komentar: