Jumat, 04 Mei 2001

Meneguk Spiritualitas New Age

Judul Buku : New Age: Wisata Spiritual Lintas Agama
Penulis : Sukidi
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2001
Tebal: xii + 152 halaman


Krisis pengenalan diri manusia modern telah lama ditengarai Ernst Cassirer dalam bukunya, An Essay on Man yang terbit pada tahun 1944. Awal dekade 1960-an, pemikir-pemikir dari Mazhab Frankfurt—seperti Adorno, Horkheimer, atau Marcuse—juga mencium suatu krisis eksistensial manusia modern akibat paradigma teknologis sains yang mekanistik.
Ada yang menyebut abad ini sebagai abad kecemasan (the age of anxiety), ketika seluruh sisi kehidupan manusia—sosial, budaya, lingkungan, bahkan agama— terancam oleh apa yang dihasilkan manusia sendiri.
Kekecewaan mendalam terhadap fenomena krisis eksistensial-multidimensional ini memunculkan beragam bentuk gerakan sosial dan pemikiran baru yang berusaha mengobati alienasi hidup manusia modern.
Gerakan New Age adalah salah satu gerakan pemikiran yang berusaha menawarkan suatu cara baca baru dalam memahami realitas dengan pijakan utama pemikiran-pemikiran dari tradisi Filsafat Perennial. Menurut pembacaan para pemikir New Age, seperti Seyyed Hossein Nasr, masyarakat modern sebenarnya telah kehilangan visi keilahiannya dalam memaknai realitas hidup. Visi tersebut menjadi tumpul ketika mereka telah menjadi pemuja sains dan teknologi yang pada satu sisi mereduksi integritas hakikat manusia ke dalam suatu sistem rasionalitas yang tidak manusiawi.
Dengan paradigma sains yang mekanistik dan materialistik manusia selalu dirangsang berpikir bagaimana mengeksploitasi alam tanpa harus berpikir tentang bagaimana keseimbangan ekologis harus tetap terjaga.
New Age secara paradigmatik berusaha mendefinisikan kembali makna “kesucian” (redefining of the sacred) dengan sekaligus mensakral-ulangkan bumi, manusia, dan hidup sehari-hari. Untuk itu, New Age turut berusaha mengembalikan hakikat kedirian manusia yang integral dengan cara melirik dan merangkum berbagai tradisi pemikiran dari berbagai latar agama dan kebudayaan yang berbeda-beda. Perspektif perennial terhadap pelbagai tradisi spiritual itu berhasil menyatukannya dalam suatu wilayah esoteris yang mencoba memaknai keragaman bentuk sebagai sesuatu yang bersifat alamiah.
Fitrah manusia yang asasi seperti keadilan, kebenaran, kebersamaan, toleransi di tengah pluralitas, dan sebagainya berusaha dicari dan ditemukan kembali dalam tradisi-tradisi spiritual lintas budaya dan agama. Kalangan New Age enggan kembali kepada pemikiran agama-agama formal, karena dinilai cenderung eksklusif, eksoteris, bahkan ‘palsu’ (false).
Dalam pandangan pemikiran New Age, konsep keselamatan yang ditawarkan agama-agama formal telah menghilangkan perspektif kearifan dan kedamaian agama, sehingga tidak jarang melahirkan fanatisme, sektarianisme, atau bahkan perang atas nama agama. Klaim keselamatan melahirkan sikap ketertutupan terhadap kebenaran dari tradisi lain.
New Age lebih tertarik percaya pada prinsip Enlightenment (Pencerahan). Manusia diyakini dapat tercerahkan, lalu menjadi sacred self, kembali ke fitrahnya semula. Dan, untuk meraih pencerahan, New Age percaya bahwa ada banyak jalan yang bisa dilalui. Setiap agama yang berbeda-beda pada dasarnya adalah jalan-jalan menuju Tuhan yang pada ujungnya akan memiliki titik temu dalam medan esoteris agama, yakni Tuhan.
Dalam wilayah yang lebih luas muncul kesadaran untuk meyakini bahwa setiap jalan kehidupan membuka peluang untuk memberikan ‘petuah’ kebijaksanaan. Buku-buku dengan judul frase The Tao of… yang merambah bidang ekonomi, pendidikan, agama, musik, politik, atau kesehatan, mengindikasikan hal ini.
Kebangkitan spiritual baru ala New Age tidak hanya diikuti dengan bermunculannya buku-buku dengan paradigma The Tao of…tersebut. Tercatat pula sebuah trilogi karya James Redfield—The Celestine Prophecy, The Tenth Insight, dan The Secret of Shambala—yang kabarnya telah mengubah hidup banyak orang. Dalam ketiga novel tersebut digambarkan bagaimana peradaban manusia berjalan menuju suatu kebudayaan spiritual baru.
Tawaran paradigmatik New Age ini menjadi menarik karena cukup berhasil meyakinkan banyak orang bahwa ini adalah cara paling tepat untuk menyelesaikan persoalan personal dan sosial akibat krisis kebudayaan manusia. New Age berusaha mentransformasikan kesadaran personal untuk kemudian meluas dalam wilayah sosial. Dalam pandangan New Age, perubahan menuju kebudayaan spiritual harus dimulai dari aras personal.
Wisata spiritual—demikian istilah Sukidi—lintas agama dan budaya adalah petualangan yang menantang dan membutuhkan keberanian. Bukan untuk menaklukkan tradisi lain, tetapi menimba kebijaksanaan, kemudian kembali lagi ke rumah tradisi semula.
Buku ini mengajak pembaca untuk menggali kembali kesadaran-kesadaran kemanusiaan yang bersifat fitri yang tertimbun oleh jejal sampah modernitas, mengaisnya ke permukaan dan kemudian menebarkannya ke seluruh penjuru dunia. Berbagai kebijaksanaan fitri itu sebenarnya berada di mana saja, dalam semua tradisi spiritual dan kebudayaan manapun di dunia ini, sehingga pada akhirnya secara tidak langsung buku ini juga mengajak kita untuk secara intens saling bertegur sapa dan bertukar pikiran dengan orang lain yang berasal dari latar kebudayaan dan spiritualitas yang berbeda.

0 komentar: