Senin, 09 April 2001

Akomodasi, atau Hegemoni?

Judul Buku : Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia
Penulis : Marzuki Wahid dan Rumadi
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Februari 2001
Tebal : xx + 232 halaman



Negara Orde Baru adalah—meminjam istilah Nietzsche—monster berdarah dingin yang memiliki jemari kekuasaan di seluruh medan kehidupan masyarakat: sosial-politik, budaya, ekonomi, keluarga, bahkan juga agama. Dengan ditopang oleh —dalam istilah Foucault—formasi-formasi diskursif dan non-diskursif, Negara Orde Baru menyelusup dan mengukuhkan eksistensinya dalam nalar dan kehidupan masyarakat sehari-hari.
Buku ini adalah telaah kritis terhadap kebijakan politik Negara Orde Baru terhadap hukum Islam. Buku ini mencoba membuktikan betapa selama Orde Baru agama yang dalam hal ini berwujud hukum Islam tunduk bersimpuh di hadapan kekuasaan negara tanpa memiliki posisi tawar yang cukup kuat.
Marzuki Wahid dan Rumadi—penulis buku ini—jelas-jelas menolak anggapan yang mengatakan bahwa sejak dekade akhir 1980-an Orde Baru mulai mengakomodasi kepentingan-kepentingan umat Islam, misalnya dengan pembentukan ICMI, diberlakukannya UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama, diubahnya kebijakan tentang Jilbab tahun 1991, dikeluarkannya Inpres No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), digunakannya simbol-simbol agama dalam acara resmi negara, dan sebagainya.
Menurut penulis buku ini gejala-gejala tersebut tidak bisa dengan mudah dilihat sebagai bentuk akomodasi Negara Orde Baru terhadap umat Islam. Pembacaan kritis terhadap hal tersebut di atas seharusnya sanggup mendedahkan pertanyaan: siapa yang paling diuntungkan dengan kebijakan-kebijakan tersebut? Konstruksi sosial-politik semacam apa yang melatari lahirnya kebijakan tersebut?
Buku ini mengambil sampel terbitnya Inpres No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam untuk mengamati secara lebih jauh politik hukum Islam Orde Baru.
Asumsi yang melandasi buku ini adalah bahwa setiap produk hukum pada dasarnya adalah produk politik atau diberlakukan atas legitimasi politik, sehingga karakter hukum yang lahir tersebut sangat bergantung pada konfigurasi politik yang melatarinya.
Negara Orde Baru dengan watak hegemonik yang luar biasa besar sejak awal telah mendeklarasikan dirinya sebagai Orde Pembangunan. Pembangunan di sini lebih dimaknai sebagai pembangunan ekonomi dengan meminjam model theory of stage-nya W.W. Rostow. Dalam iklim developmentalisme yang sedemikian kuat itu, maka hukum menjadi subordinat terhadap pembangunan ekonomi, sehingga akibatnya hukum bukan lagi menjadi alat perubahaan sosial, alat pembebasan, atau sarana pencapaian keadilan sosial, tetapi menjadi penunjang dan pelengkap pembangunan.
Dengan demikian hukum dalam wacana politik Orde Baru lebih terkonsentrasi pada fungsi-fungsinya sebagai alat pembangunan, bukan pada fungsi sosial-kemanusiaan.
Adapun Hukum Islam pada dasarnya merupakan hukum yang betul-betul hidup (living law) dalam masyarakat. Hukum Islam memiliki dimensi amaliah (praktis) yang amat besar, bahkan dalam beberapa kasus telah menyatu dalam adat-istiadat suatu masyarakat. Salah satu ciri penting Hukum Islam adalah sifatnya yang fleksibel sehingga banyak melahirkan aliran-aliran pemikiran.
Kasus terbitnya kebijakan Inpres No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat dilihat dari beberapa segi. Dari segi pembentukannya KHI lahir secara semi-responsif. Maksudnya peranan pemerintah (eksekutif) dan yudikatif amat besar, sementara ulama/cendekiawan berada dalam posisi periferal.
Dari segi materi hukum, kelahiran KHI ditandai dengan sifatnya yang reduksionistik. Bila Inpres No. 1/1991 tersebut dibaca secara kritis, terungkap bahwa menurut Inpres tersebut, landasan atau dasar serta rujukan KHI adalah Pancasila, UUD 1945, UU No. 14/1970, UU. No. 14/1985, UU No. 1/1974, dan PP No. 28/1977. Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang sudah disepakati sama sekali tidak disebut-sebut sebagai bahan rujukan. Selain itu, secara material KHI hanya meliputi wilayah hukum perdata menyangkut hukum-hukum keluarga, padahal hukum Islam memiliki bidang garapan yang jauh lebih luas.
Akhirnya, penulis buku ini menyimpulkan bahwa KHI patut disebut sebagai “fiqh Islam berwawasan Pancasila”. Ini berarti bahwa secara substansial KHI memang cukup membawa sebagian semangat hukum Islam, tetapi pembahasan, struktur, logika, dan kehendak sosial yang diembannya berada di bawah otoritas negara (Orde Baru).
Di bagian akhir buku ini penulis mengajak pembaca untuk merenungkan kembali independensi agama beserta seluruh elemen-elemenya yang bersifat sosial di hadapan negara. Hal ini penting terutama dalam rangka mengelak cengkeraman hegemonik negara yang bisa mengebiri semangat pembebasan agama berupa politisasi agama demi kepentingan kekuasaan.


Tulisan ini dimuat di Majalah Forum Keadilan, 9 April 2001.


0 komentar: