Sabtu, 21 April 2001

Pers Industri Mengawal Revolusi

Judul Buku : Pers dalam “Revolusi Mei”: Runtuhnya Sebuah Hegemoni
Penyunting : Dedy N. Hidayat (dkk)
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2000
Tebal : xii + 465 halaman


Mei 1998 adalah bagian sejarah penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Salah satu hal yang menarik dalam kasus “Revolusi Mei”—demikian beberapa orang menyebutnya—adalah terjadinya suatu “ledakan” informasi dalam dunia pers (media massa) yang ditandai dengan sorotan media yang cukup berani terhadap detik-detik menjelang dan setelah turunnya Soeharto.
Buku ini mengkaji bagaimana keterlibatan media selama rentang waktu Mei 1998 dalam lingkungan politik Indonesia yang sedang mengalami revolusi. Kajian yang dilakukan buku ini termasuk menyeluruh, meliputi elemen makro, meso, dan mikro, yakni menyangkut konteks makro ekonomi-politik, proses produksi dan mengkonsumsi media, serta analisis teks yang diproduksi media. Para penulis dalam buku ini cukup beragam, dari pengamat hingga aktivis pers, seperti Ariel Heryanto, Satrio Arismunandar, Budiman Sudjatmiko, Jeffrey Winters, Ishadi SK, Sumita Tobing, Effendy Gazali, dan sebagainya.
Tesis utama buku ini adalah bahwa pers Indonesia menjelang dan sesudah “Revolusi Mei 1998” telah berubah menjadi pers yang bebas dari cengkeraman rezim penguasa. Perubahan ini bila dirunut ke belakang sebenarnya didorong oleh pergeseran-pergeseran yang cukup signifikan dalam struktur ekonomi politik Orde Baru, menyusul diterapkannya kebijakan liberalisasi ekonomi mulai dekade 1980-an.
Pers Orde Baru pada dasarnya adalah bagian dari ideological state apparatus yang mengawal stabilitas dan kehendak rezim penguasa. Kontrol terhadap pers dilakukan dengan ekstra-ketat, meliputi kontrol preventif dan korektif melalui kebijakan SIUPP, kontrol terhadap individu dan kelompok profesional dengan hanya mengizinkan satu organisasi profesi (PWI, SPS), kontrol terhadap isi berita, kontrol terhadap sumber daya media yang dilakukan dengan monopoli pasokan kertas, serta kontrol terhadap akses ke dunia pers dengan mencekal kelompok-kelompok kritis untuk tidak tampil dalam pemberitaan media.
Akan tetapi, krisis pada dekade 1980-an telah memaksa pemerintah untuk melakukan liberalisasi ekonomi sehingga secara objektif—menurut Sri Mulyani Indrawati—mendorong tuntutan reformasi ekonomi. Mulailah kontradiksi internal dalam sistem ekonomi-politik kapitalis Indonesia bersemai, termasuk pula dalam bidang media.
Kontradiksi sistem kapitalis dalam dunia pers Indonesia berwujud tarik-menarik antara keinginan untuk tetap menjadikan pers sebagai instrumen hegemoni negara di satu sisi, dan di sisi lain sebagai institusi kapitalis di sektor industri media. Dari kontradiksi ini, lahirlah suatu kasus-kasus menarik berupa munculnya proses-proses delegitimasi, kontra-hegemoni atau oposisi terhadap struktur kuasa negara yang dilakukan sektor media. Ini juga diikuti oleh beberapa media alternatif yang disebut sebagai “pers bawah tanah” atau informasi alternatif melalui media internet.
Kontradiksi ini selanjutnya melahirkan peta konflik elit penguasa (termasuk juga pengusaha), meskipun tidak terlalu mencuat ke permukaan. Fenomena inilah yang mendorong terciptanya ruang politik bagi kelompok-kelompok masyarakat untuk melakukan gerakan perlawanan.
Mendekati periode Mei 1998, intensitas dan kualitas keberanian pers semakin bertambah kuat. Teks-teks media dalam periode Mei 1998 ini adalah bagian khusus yang diteliti buku ini. Dalam penelitian Sasa Djuarsa Sendjaja dan Hendra Harahap diungkap bagaimana televisi swasta (dalam hal ini SCTV dan Indosiar yang permodalannya dimiliki oleh kroni Soeharto) maupun TVRI mulai berani menayangkan sesuatu yang tak akan pernah berani mereka lakukan sebelumnya. Indosiar misalnya dalam kasus penembakan mahasiswa Trisakti menurunkan liputan yang berisi kutukan keras terhadap pelaku penembakan itu.
Peranan pers selama “Revolusi Mei” memang tak bisa diabaikan begitu saja. Bahkan ada seorang pengamat asing yang menyebutnya sebagai “sebuah periode yang memesonakan dalam sejarah pers Indonesia” (a fascinating chapter in Indonesia’s media history). Harus diakui bahwa dalam periode ini pers telah ikut andil dalam meruntuhkan hegemoni negara dan menggerogoti legitimasi rezim melalui pemberitaan yang berani. Namun, fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari gejala menguatnya struktur oposisi rakyat di bidang yang lain. Jadi, ada semacam proses saling mendukung di antara sektor media dengan struktur sosial yang lain.
Sesudah turunnya Soeharto, luapan kebebasan pers muncrat di mana-mana di berbagai media. Apalagi pemerintahan Habibie melalui Menteri Penerangan Yunus Josfiah mencabut ketentuan SIUPP yang menjadi kontrol utama Orde Baru. Sementara itu, Presiden Abdurrahman Wahid juga telah semakin membuka lebar pintu kebebasan pers dengan membubarkan Departemen Penerangan.
Tantangan pers saat ini bukan lagi monster negara, melainkan tekanan pasar. Pers industri saat ini tidak berada di bawah regulasi negara, tetapi di bawah bimbingan regulasi pasar. Untuk itulah catatan yang ditekankan di akhir buku ini adalah bagaimana media menyiasati tekanan invisible hand arus liberalisasi ekonomi, sehingga tidak terperangkap dalam suatu euforia liberalisme yang dapat membawa media ke dalam tindak kesewenang-wenangan.
Makna penting buku dalam konteks kekinian dapat dilihat dari tiga segi. Pertama, buku ini menjadi saksi sejarah yang cukup valid (karena banyak didukung data-data akurat) ketika pers berpartisipasi menegakkan demokrasi—menggulingkan rezim Soeharto.
Kedua, buku ini secara tidak langsung mengajak kita bersama untuk melihat kembali secara kritis posisi pers dalam era reformasi. Bagi kalangan insan pers, buku ini seperti mengajukan sebuah pertanyaan: Mampukah pers bersikap bijak membaca geliat perubahan dan tuntutan masyarakat sehingga ia dapat menyokong proses reformasi—melanjutkan peran suksesnya dalam “Revolusi Mei”?
Ketiga, dalam tataran makro, buku ini mengingatkan efek negatif liberalisme ekonomi (khususnya di bidang media) yang dapat memacetkan proses reformasi. Karena itu, salah satu agenda penting bangsa Indonesia ke depan adalah bagaimana menciptakan kondisi ekonomi yang demokratis seiring dengan demokrasi politik.
Dari ketiga hal tersebut kiranya penting disadari bahwa pers saat ini memang dituntut arif dalam menikmati pesta kebebasan yang dirayakannya. Pers harus sanggup menahan diri dari gaya bombastisisme yang sering bersifat provokatif. Saat ini, sikap kritis pers terhadap pemerintah, misalnya, bukan lagi menjadi barang mewah. Yang langka adalah sikap bijak dengan cara bertutur yang santun dan proporsional, sehingga ia tidak menjadi semacam “diktator elektronik” (menurut istilah Huntington), tapi menjadi angin penyejuk yang sanggup memadamkan egoisme elit politik, mampu mengkomunikasikan aspirasi berbagai kelompok, dan mampu menjaga keutuhan solidaritas bangsa ini.


Read More..

Rabu, 18 April 2001

Anatomi Akar Disintegrasi

Judul Buku: Bara dalam Sekam: Identifikasi Akar Masalah dan Solusi Atas Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau
Penulis: Tim Peneliti LIPI (Riza Sihbudi, dkk)
Penerbit: Mizan, Bandung kerjasama dengan LIPI dan Kantor Menristek RI
Cetakan: Pertama, Januari 2001
Tebal: 244 halaman


Ancaman terbesar bangsa Indonesia saat ini adalah tercerai-berainya struktur masyarakat dan beberapa wilayah dari kesatuan republik akibat konflik yang meluas. Ancaman disintegrasi tersebut selalu diikuti dengan konflik horizontal maupun vertikal yang penuh dengan praktik kekerasan. Aceh, Maluku, Papua Barat, dan Riau adalah beberapa wilayah yang hingga saat ini masih mengalami pergolakan dengan tuntutan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penanganan serius terhadap berbagai konflik dan ancaman disintegrasi ini merupakan agenda mendesak karena bila dibiarkan akan menjadi penghambat bagi penyelesaian agenda reformasi dan recovery ekonomi. Selain itu, sangat mungkin konflik di beberapa daerah tersebut akan memicu munculnya konfik baru di wilayah lain. Pada titik ekstrem, dikhawatirkan akan muncul kesenjangan yang lebar antara harapan masyarakat dan kemampuan pemerintah untuk menuntaskan masalah tersebut, sehingga akhirnya menimbulkan rasa frustrasi terhadap proses-proses reformasi.
Buku ini adalah karya terkini yang berusaha menguak akar-akar pergolakan politik di keempat daerah tersebut. Buku yang semula adalah penelitian oleh Tim Peneliti LIPI ini menfokuskan bahasannya pada akar permasalahan yang melatari menguatnya tuntutan pemisahan diri di keempat wilayah konflik tersebut, untuk kemudian diajukan beberapa skema penyelesaian menyeluruh baik untuk jangka pendek, menengah, dan panjang.
Karakter konflik yang terjadi di keempat wilayah tersebut memang tidak sepenuhnya sama. Di Aceh dan Papua misalnya yang terjadi adalah konflik antara negara dan masyarakat yang meluas sehingga menimbulkan ekses dan eskalasi di tingkat bawah. Sementara di Maluku kasusnya adalah konflik horizontal bermotif antar-agama, dan di Riau lebih kepada konflik antara negara dan masyarakat, tapi tidak sampai memunculkan praktik kekerasan yang serius.
Akan tetapi, benang merah yang menyatukan keempat kasus tersebut adalah bahwa semua itu merupakan dampak dari proses transformasi politik yang tengah dialami bangsa ini. Kasus-kasus tersebut terjadi setelah katup kebebasan lambat-laun terbuka sehingga perlawanan rakyat semakin memperoleh ruang yang cukup lebar.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa konflik dan pergolakan daerah di Ambon, Papua, Ambon, dan Riau, adalah akumulasi dari persoalan-persoalan bangsa yang ditimbulkan akibat kebijakan pembangunan Orde Baru yang sudah akut dan tidak pernah berusaha diatasi secara mendasar. Akibatnya, sama sekali tak ada pintu darurat yang bisa dilalui ketika masalahnya menjadi sangat serius.
Kebijakan pembangunan (developmentalisme) Orde Baru melahirkan kebijakan-kebijakan yang sentralistik. Sentralisme kekuasaan Orde Baru ini ditegaskan dalam UU No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang hanya menjadikan daerah sebagai sapi perah bagi pemerintah pusat. Bahkan, dalam kasus Aceh UU tersebut telah merusak struktur sosial-budaya yang sudah mapan di sana.
Sentralisme kekuasaan Orde Baru ini dilakukan tidak hanya dalam wilayah administratif, tapi juga secara finansial dan militer. Lahirlah kecemburuan sosial dan ekonomi yang luar biasa di keempat wilayah tersebut. Aset daerah hanya diperas untuk kepentingan “orang luar”. Bisa dibayangkan bagaimana Freeport di Papua pada tahun 1996 mampu menghasilkan keuntungan 94 triliun rupiah (APBN Indonesia saat itu sebesar 97 triliun rupiah), sementara orang Papua tidak memperoleh imbas sepeser pun. Sementara itu Riau yang menempati urutan ketiga dalam hal Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) masih menanggung 40% penduduk miskin di wilayahnya.
Tidak hanya masalah ekonomi saja yang mencuat di permukaan. Beberapa kebijakan pembangunan Orde Baru melahirkan benturan-benturan budaya masyarakat setempat. Transmigrasi hanya diurus secara administratif dan finansial saja, tanpa mempersiapkan berbagai konsekuensi kultural yang mungkin timbul.
Sentralisme Orde Baru juga dikawal oleh militerisme yang sangat rentan melakukan praktik kekerasan. Masyarakat Aceh dan Papua mengalami trauma yang luar biasa terhadap hadirnya militer di daerah mereka.
Semua permasalahan tersebut perlu segera diatasi secara serius dengan memberi perhatian lebih kepada daerah-daerah yang telah lama dianaktirikan itu. Pemberian otonomi luas, pemberantasan KKN serta restrukturisasi birokrasi dan militer di daerah, penegakan supremasi hukum, perlu segera diagendakan. Proses rekonsiliasi juga menjadi penting agar semua proses tersebut mengarah kepada suatu kerangka Indonesia Baru yang lebih civilized.

Read More..

Senin, 16 April 2001

Memaknai Chaos dalam Zona Kebimbangan

Judul Buku: Sebuah Dunia yang Menakutkan: Mesin-Mesin Kekerasan dalam Jagat Raya Chaos
Penulis: Yasraf A. Piliang
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, 2001
Tebal: 358 halaman


Langit Indonesia saat ini sedang diselimuti oleh kabut ketidakpastian dan cuaca ketidakadaan putusan sebagai bagian dari iklim transisi. Meminjam pemikiran Henzel Henderson, Indonesia saat ini sedang berada dalam zona kebimbangan (befurcation), setelah melewati zona kemacetan dan krisis (breakdown zone).
Zona kebimbangan ditandai dengan turbulensi sosial dan chaos yang menyebar di mana-mana, seiring dengan pecahnya sumber kekuasaan Orde Baru pada zona sebelumnya. Itulah ledakan eksplosif yang berhasil menebar partikel-partikel kekuasaan ke seantero tubuh masyarakat. Itulah ledakan yang kemudian mengundang seluruh elemen masyarakat untuk turut serta dalam arus implosif, arus perebutan kekuasaan yang baru saja tumbang.
Kedua proses yang bersifat sambung-menyambung tersebut ditandai dengan bentrokan dan pertikaian antar-kelompok yang berusaha mempertahankan teritorial kekuasaannya—termasuk sisa-sisa elit penguasa lama (Orde Baru). Lahirlah hantu teror, kerusuhan, penjarahan, pembantaian, provokator, dan chaos yang mendatangkan kegelisahan dan kecemasan luar biasa. Inilah paradoks reformasi: ketika euforia keterpesonaan, kegembiraan, dan kegairahan tiba-tiba berganti wajah menjadi histeria kepanikan akibat menjamurnya kekerasan.
Tidakkah itu semua merupakan warisan yang ditinggalkan rezim Orde Baru pada bangsa Indonesia? Memang tak dapat disangkal bahwa tumbangnya Orde Baru tidak serta merta berarti musnahnya segenap cara dan pola kerja Orde Baru. Apalagi praktik-praktik kekerasan ala Orde Baru telah sanggup menyelimuti semua wilayah kesadaran masyarakat. Kekerasan dan teror rezim Orde Baru tidak hanya kekerasan fisik, tapi juga tercermin dalam bentuk kekerasan politik, kekerasan, ekonomi, kekerasan media, kekerasan simbol, kekerasan kultural, dan sebagainya. Karena itu, Negara Orde Baru sebenarnya adalah sebuah Mesin Besar yang tidak lain adalah “mesin horor” (horror machine) itu sendiri.
Sebagai sebuah “mesin horor” raksasa, kejahatan dan teror yang dilakukan Orde Baru bukan suatu bentuk kriminalitas biasa, akan tetapi pantas disebut sebuah metakriminalitas, karena ia dilakukan oleh para penegak hukum itu sendiri. Kejahatan pada masa Orde Baru telah berselingkuh dengan kekuasaan, sehingga ia menjadi suatu kejahatan yang sempurna (perfect crime). Lebih buruk lagi, mesin teror Orde Baru menularkan kejahatannya ke sekujur tubuh masyarakat. Itulah parasit yang akhirnya menggerogoti seluruh sistem negara ini—hukum, keamanan, agama, dan sebagainya.
Parasit-parasit sistemik itulah yang kini sedang beraksi menabur kecemasan di segala penjuru. Dalam pengamatan Yasraf—penulis buku ini—parasit-parasit itu kadang-kadang cukup berhasil menyemai benih parasit lainnya, seperti terlihat dengan munculnya partai-partai semu yang siap menjadi sebuah kekuatan horor baru di masyarakat.
Persoalannya adalah bagaimana sebaiknya bangsa Indonesia menyikapi situasi chaos yang melahirkan sebuah tatanan yang menakutkan ini? Cukupkah kecemasan dirawat dalam kesadaran, tanpa ada usaha lain yang lebih positif?
Menurut Yasraf, dalam zona kebimbangan chaos dan kegelisahan adalah sesuatu yang amat wajar. Hanya saja masyarakat selama ini memandang chaos dan kegelisahan secara negatif. Padahal, chaos bagi Yasraf adalah semacam peluang untuk menunjukkan kreativitas-dialektis, etos kerja, persaingan, dan produktivitas bangsa Indonesia dalam menyudahi krisis dan kebimbangan ini.
Saat ini seluruh elemen bangsa harus segera mengambil keputusan untuk rancangan masa depan Indonesia. Kegelisahan harus mendorong lahirnya suatu penjelajahan kreatif untuk mencipta suatu kondisi yang lebih baik.
Di bagian akhir buku ini Yasraf mengajukan beberapa tawaran menarik yang dapat menjadi bahan pertimbangan bagi rancangan skenario masa depan bangsa. Menurut Yasraf harus segera dilakukan dekonstruksi kultural terhadap semua peninggalan Orde Baru, untuk kemudian merekonstruksi kembali semangat kultur masyarakat beradab dengan terobosan-terobosan baru yang inovatif. Status quo harus disingkirkan, termasuk juga mesin hasrat (desire) tak terkendali yang menjadi motor kekuatan lama. Yang perlu dibangun adalah keterbukaan (inklusifitas) dan semangat cinta kasih terhadap sesama.
Dengan gaya bertutur yang khas Yasraf menyajikan sebuah potret sejarah gelap bangsa Indonesia selama masa Orde Baru. Perspektif humaniora dan kebudayaan yang digunakan cukup berhasil mengangkat sisi-sisi kemanusiaan yang menjadi akar persoalan bangsa ini. Buku ini juga kaya dengan tamsil-tamsil cerdas dengan dasar teori-teori pemikir post-struktural terkemuka.

Read More..

Senin, 09 April 2001

Akomodasi, atau Hegemoni?

Judul Buku : Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia
Penulis : Marzuki Wahid dan Rumadi
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Februari 2001
Tebal : xx + 232 halaman



Negara Orde Baru adalah—meminjam istilah Nietzsche—monster berdarah dingin yang memiliki jemari kekuasaan di seluruh medan kehidupan masyarakat: sosial-politik, budaya, ekonomi, keluarga, bahkan juga agama. Dengan ditopang oleh —dalam istilah Foucault—formasi-formasi diskursif dan non-diskursif, Negara Orde Baru menyelusup dan mengukuhkan eksistensinya dalam nalar dan kehidupan masyarakat sehari-hari.
Buku ini adalah telaah kritis terhadap kebijakan politik Negara Orde Baru terhadap hukum Islam. Buku ini mencoba membuktikan betapa selama Orde Baru agama yang dalam hal ini berwujud hukum Islam tunduk bersimpuh di hadapan kekuasaan negara tanpa memiliki posisi tawar yang cukup kuat.
Marzuki Wahid dan Rumadi—penulis buku ini—jelas-jelas menolak anggapan yang mengatakan bahwa sejak dekade akhir 1980-an Orde Baru mulai mengakomodasi kepentingan-kepentingan umat Islam, misalnya dengan pembentukan ICMI, diberlakukannya UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama, diubahnya kebijakan tentang Jilbab tahun 1991, dikeluarkannya Inpres No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), digunakannya simbol-simbol agama dalam acara resmi negara, dan sebagainya.
Menurut penulis buku ini gejala-gejala tersebut tidak bisa dengan mudah dilihat sebagai bentuk akomodasi Negara Orde Baru terhadap umat Islam. Pembacaan kritis terhadap hal tersebut di atas seharusnya sanggup mendedahkan pertanyaan: siapa yang paling diuntungkan dengan kebijakan-kebijakan tersebut? Konstruksi sosial-politik semacam apa yang melatari lahirnya kebijakan tersebut?
Buku ini mengambil sampel terbitnya Inpres No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam untuk mengamati secara lebih jauh politik hukum Islam Orde Baru.
Asumsi yang melandasi buku ini adalah bahwa setiap produk hukum pada dasarnya adalah produk politik atau diberlakukan atas legitimasi politik, sehingga karakter hukum yang lahir tersebut sangat bergantung pada konfigurasi politik yang melatarinya.
Negara Orde Baru dengan watak hegemonik yang luar biasa besar sejak awal telah mendeklarasikan dirinya sebagai Orde Pembangunan. Pembangunan di sini lebih dimaknai sebagai pembangunan ekonomi dengan meminjam model theory of stage-nya W.W. Rostow. Dalam iklim developmentalisme yang sedemikian kuat itu, maka hukum menjadi subordinat terhadap pembangunan ekonomi, sehingga akibatnya hukum bukan lagi menjadi alat perubahaan sosial, alat pembebasan, atau sarana pencapaian keadilan sosial, tetapi menjadi penunjang dan pelengkap pembangunan.
Dengan demikian hukum dalam wacana politik Orde Baru lebih terkonsentrasi pada fungsi-fungsinya sebagai alat pembangunan, bukan pada fungsi sosial-kemanusiaan.
Adapun Hukum Islam pada dasarnya merupakan hukum yang betul-betul hidup (living law) dalam masyarakat. Hukum Islam memiliki dimensi amaliah (praktis) yang amat besar, bahkan dalam beberapa kasus telah menyatu dalam adat-istiadat suatu masyarakat. Salah satu ciri penting Hukum Islam adalah sifatnya yang fleksibel sehingga banyak melahirkan aliran-aliran pemikiran.
Kasus terbitnya kebijakan Inpres No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat dilihat dari beberapa segi. Dari segi pembentukannya KHI lahir secara semi-responsif. Maksudnya peranan pemerintah (eksekutif) dan yudikatif amat besar, sementara ulama/cendekiawan berada dalam posisi periferal.
Dari segi materi hukum, kelahiran KHI ditandai dengan sifatnya yang reduksionistik. Bila Inpres No. 1/1991 tersebut dibaca secara kritis, terungkap bahwa menurut Inpres tersebut, landasan atau dasar serta rujukan KHI adalah Pancasila, UUD 1945, UU No. 14/1970, UU. No. 14/1985, UU No. 1/1974, dan PP No. 28/1977. Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang sudah disepakati sama sekali tidak disebut-sebut sebagai bahan rujukan. Selain itu, secara material KHI hanya meliputi wilayah hukum perdata menyangkut hukum-hukum keluarga, padahal hukum Islam memiliki bidang garapan yang jauh lebih luas.
Akhirnya, penulis buku ini menyimpulkan bahwa KHI patut disebut sebagai “fiqh Islam berwawasan Pancasila”. Ini berarti bahwa secara substansial KHI memang cukup membawa sebagian semangat hukum Islam, tetapi pembahasan, struktur, logika, dan kehendak sosial yang diembannya berada di bawah otoritas negara (Orde Baru).
Di bagian akhir buku ini penulis mengajak pembaca untuk merenungkan kembali independensi agama beserta seluruh elemen-elemenya yang bersifat sosial di hadapan negara. Hal ini penting terutama dalam rangka mengelak cengkeraman hegemonik negara yang bisa mengebiri semangat pembebasan agama berupa politisasi agama demi kepentingan kekuasaan.


Tulisan ini dimuat di Majalah Forum Keadilan, 9 April 2001.


Read More..

Rabu, 04 April 2001

Hidup Merdeka Bersama Agama

Judul Buku: Teologi Pembebasan Asia
Penulis: Michael Amaladoss
Penerjemah: A. Widyamartaya dan Cindelaras
Penerbit: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press & Cindelaras, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Januari 2001
Tebal: xvi + 333 halaman


Teologi Pembebasan selalu identik dengan teologi di wilayah Amerika Latin yang memiliki orientasi pemikiran agama Kristen. Buku karya Michael Amaladoss ini berusaha menunjukkan bahwa dalam perkembangannya semangat Teologi Pembebasan Kristiani itu juga sudah menyebar dalam tradisi teologi agama lain, sesuai dengan fakta pluralitas masyarakat.

Kawasan Asia misalnya adalah wilayah yang memiliki akar keragaman tradisi religius yang cukup kuat. Asia adalah tanah kelahiran agama-agama besar di dunia—Yahudi, Islam, Kristen—dan sejumlah agama lain seperti Hindu, Budha, dan Konghucu. Karena itu, Teologi Pembebasan dalam pemikiran Amaladoss seolah diproklamasikan sebagai teologi orang-orang beriman yang ingin lepas dari ketertindasan struktural yang dialami masyarakat. Memang, setiap agama menurut Amaladoss memiliki segi-segi yang membebaskan dan nabi-nabi yang berusaha menyoroti unsur-unsur pembebasan dalam menafsirkan tradisi agama secara kreatif dan relevan.

Latar belakang Teologi Pembebasan Asia tidak jauh berbeda dengan teologi pembebasan di wilayah lain (Amerika Latin atau Afrika). Meski Asia adalah tempat lahirnya agama-agama, akan tetapi yang tampak adalah bahwa agama di Asia tidak bisa berbuat banyak untuk membebaskan masyarakat dari fenomena ketertindasan, kemelaratan, kemiskinan, dan pertikaian antar-kelompok yang tiada henti.

Malah agama ditunggangi oleh kelompok elit masyarakat tertentu untuk dijadikan basis legitimasi demi kemakmuran mereka sendiri.

Keprihatinan seperti itulah yang melahirkan gerakan-gerakan pembebasan berbasis agama di beberapa kawasan Asia, seperti teologi Minjung di Korea, teologi Perjuangan di Filipina, dan teologi Dalit di India. Demikian juga ketika kelompok-kelompok agama Konghucu di Cina, Hindu di India, Budha di Sri Langka, serta Islam di Pakistan, Iran, atau Indonesia, mencoba berjuang menuntaskan problem-problem ketertindasan itu.

Teologi Minjung di Korea lahir dalam tekanan diktator Park Chong-hee pada awal 1970-an yang menyebabkan masyarakat hidup dalam teror dan kemiskinan. Sementara Teologi Perjuangan di Filipina muncul dalam suasana ketertindasan ekonomi-politik yang dihasilkan dari rezim Ferdinand Marcos.

Refleksi teologis yang dilakukan para teolog di kawasan Asia pada gilirannya mendorong mereka untuk berusaha keras bekerja sama melawan ketidakadilan ekonomi dan politik itu. Kerja sama, dialog, dan kesepakatan yang diambil oleh kaum agamawan ini tidak dihasilkan dari perbincangan teoritik yang abstrak, tapi berasal dari keterlibatan sosial mereka yang konkret untuk membela nilai-nilai agama yang mereka yakini.

Pengalaman hidup masyarakat yang menjadi titik tolak refleksi teologis ini pada akhirnya mengharuskan para teolog pembebasan ini untuk menyelesaikan semua sisi kehidupan masyarakat yang sudah akut itu: ekonomi-politik, pribadi-masyarakat, dan kebudayaan-agama. Bila tidak, usaha pembebasan yang dilakukan hanya mencapai hasil yang setengah-setengah.

Dengan mempertimbangkan keenam matra sosial yang perlu dibenahi itu, Amaladoss dalam buku ini merekomendasikan agar setiap program aksi pembebasan tidak cukup hanya diilhami dan dimotivasi oleh spirit agama, melainkan juga butuh bantuan dari ilmu-ilmu sosial yang dapat memberikan kerangka strategi dan opsi-opsi konkret dalam gerakan pembebasan.

Dengan demikian, tampak bahwa keterbukaan yang dibutuhkan oleh gerakan teologi pembebasan tidak saja keterbukaan terhadap tradisi agama lain, tetapi juga keterbukaan terhadap khazanah intelektual yang dihasilkan dari proses dialektika sejarah.

Dan, pembebasan yang dicita-citakan tentu saja tidak hanya pembebasan dari kekuatan-kekuatan penindas yang membelenggu kebebasan masyarakat, melainkan juga pembebasan dari keterbatasan akibat egoisme dan hasrat keinginan, baik individu maupun kolektif.

Kelebihan buku ini dari buku-buku bertema teologi pembebasan adalah bahwa karena buku ini berusaha menampilkan semangat teologi pembebasan yang dimiliki beragam agama di kawasan Asia. Teologi Pembebasan yang semula lahir dari tradisi kristiani melebar dan membentuk kesadaran teologi pembebasan yang berdasarkan atas fakta kemajemukan masyarakat. Ini berarti teologi pembebasan sudah menjadi semacam teologi universal. Buku ini mengajak kita semua untuk memikirkan kembali semangat persaudaraan kosmis yang dibawa agama-agama untuk ditiupkan dalam kehidupan konkret, merubah masyarakat dalam hidup yang lebih baik, hidup yang merdeka.

Tulisan ini dimuat di Majalah Gamma, 4 April 2001.

Read More..