Kamis, 08 Maret 2001

Mantra Mistis Politik Orde Baru

Judul Buku: Mistisisme Jawa : Ideologi di Indonesia
Penulis : Niels Mulder
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Januari 2001
Tebal: xvi + 184 halaman


Secara sepintas, dunia mistik memang sama sekali tidak berhubungan dengan dunia politik. Akan tetapi, Niels Mulder dalam buku ini membuktikan betapa alam pemikiran mistisisme Jawa telah sekian lama bercokol dalam nalar politik masyarakat Indonesia. Niels Mulder menengarai adanya kesejajaran pola pemikiran mistis Jawa dengan pola rekayasa kultural nation building di Indonesia.
Ini terjadi sepanjang pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Ideologi Pancasila tidak hanya dijadikan sebagai pusat wacana politik dan ideologi Indonesia, akan tetapi juga diberi label ruh kebudayaan sebagai alat legitimasi. Untuk itulah, rezim Orde Baru memproyeksikan dirinya sebagai sebuah Orde Kultural yang mengusung semangat orisinilitas kultural Bangsa Indonesia.
Problem yang dipersoalkan di sini bukan sekedar soal legitimasi kultural yang digunakan. Lebih jauh lagi, bagaimana pola kesejajaran itu memberikan implikasi bagi atmosfer politik Indonesia selama Orde Baru—bahkan mungkin juga hingga saat ini.
Alam pikiran mistis bagi masyarakat Indonesia bukan sesuatu yang asing. Warisan praktik dan pemikiran Hinduisme dan Budhisme menjadi lahan subur bagi praktik mistisisme. Bahkan kehadiran Islam pun tidak bisa melepaskan dirinya dari berbagai praktik mistis, sehingga dalam perkembangannya muncul istilah Islam-Kejawen.
Tradisi mistisisme Jawa ini juga disokong oleh berbagai sumber literatur lokal yang bersifat sinambung berupa naskah-naskah kuno seperti Negarakertagama, Serat Centini, atau Wedhatama, yang dilanjutkan oleh teks-teks abad XX karya Ki Hadjar Dewantara atau Ki Ageng Soejomentaram. Dalam bidang kebudayaan hal ini juga diperkuat dengan penafsiran wayang yang bersifat populer dengan menjawakan mitologi Mahabharata atau Ramayana.
Menguatnya nalar politik mistis dalam ranah politik nasional Indonesia menurut Mulder dimulai sejak naiknya mayoritas pimpinan Angkatan Darat dan petinggi pemerintahan yang memiliki akar kuat tradisi kejawen di awal Orde Baru. Ditambah lagi ada rasa ketidakpuasan masyarakat yang tak terbendung terhadap agama-agama formal yang sudah mapan, sehingga mereka melirik dunia mistis. Terjadilah proses revitalisasi kejawen yang berjalan melalui jalur atas dan jalur bawah sekaligus.
Kebangkitan kejawen dalam dua jalur ini mempermudah terjadinya proses jawanisasi dalam dunia politik. Menurut Mulder, sebenarnya proses ini sudah dimulai sejak sebelum Orde Baru, ketika idiom-idiom politik diadopsi dari khazanah mistis Jawa. Slogan-slogan Soekarno misalnya menurut Mulder seringkali menimbulkan kesan bahwa ada usaha menguasai dunia politik dengan menggunakan mantra-mantra sakti.
Orde Baru mengawali pemerintahannya dengan suatu legitimasi yang bersifat mistis: Supersemar. Kata yang cukup bertuah ini berasal dari kata Super yang menunjuk kepada manifestasi ketuhanan yang sempurna, yakni Ismaya, kakak Dewa Shiwa, dan Semar yang merupakan tokoh utama dalam dunia pewayangan yang selalu mendukung kebenaran—kalau bukan kebenaran itu sendiri.
Orde Baru memperteguh dirinya dengan menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara diikuti dengan penafsiran resmi terhadap kelima sila Pancasila. Penafsiran terhadap Pancasila bila diamati menurut Mulder amat sejajar dengan pola-pola pemikiran mistis Jawa, sehingga misalnya banyak ditemukan kata-kata Jawa yang digunakan. Seperti istilah ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karsa, atau tut wuri handayani (yang kemudian menjadi slogan Departemen Pendidikan Nasional).
Proses ini dilanjutkan dengan indoktrinasi habis-habisan melalui jalur pendidikan formal. Peserta didik dari kelas dasar hingga perguruan tinggi tanpa sadar dijejali dengan nalar mistis Jawa yang menurut Mulder ditafsirkan untuk mengebiri kritisme masyarakat. Karena itu, nalar mistis yang dikembangkan dalam menafsirkan Pancasila adalah nalar yang mengedepankan harmoni, kolektivisme, ketaatan pada ‘guru’, kemanunggalan rakyat-negara, dan sebagainya.
Kajian dalam buku ini menarik terutama untuk memahami proses pembentukan budaya dan nalar politik masyarakat Indonesia saat ini yang sedang berusaha mereformasi dan menyingkirkan berbagai hambatan proses demokratisasi. Buku ini nampaknya membisikkan kita semua untuk memberikan pemaknaan baru terhadap ideologi negara, bukan memuatinya dengan nalar mistis yang menumpulkan sikap kritis, rasional, dan menjunjung otonomi individu.

Tulisan ini dimuat di Majalah Gamma, 7 Maret 2001.

0 komentar: