Jumat, 02 Maret 2001

Indonesia dalam Bayang Ketidakpastian

Judul Buku: Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-Aspek Sosial Reformasi & Krisis
Editor: Chris Manning dan Peter van Diermen
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, November 2000
Tebal: xxviii + 445 halaman


Bangsa Indonesia saat ini sedang berada di ruang penantian panjang bernama “masa transisi”. Seperti layaknya setiap masa transisi, yang tampak di depan adalah perjalanan panjang berliku dengan ketidakpastian dan kabut gelap yang membawa seribu kemungkinan. Ditambah lagi dengan perilaku elit-elit politik yang masih setia mengusung kepentingan dan panji-panji kelompoknya sendiri.
Dalam suasana demikian, muncul beragam opini atau analisis menyangkut pemerintahan transisi dan masyarakat transisi itu sendiri. Ironisnya, opini atau analisis tersebut sering diambil dengan tergesa-gesa dan bersifat reaksioner serta mengabaikan proses historis krisis dan reformasi yang panjang. Sempitnya perspektif, minimnya data, dan pemberitaan yang bersifat provokatif seperti memperkeruh proses transisi, menyeret masyarakat ke dalam ruang ketidakpastian yang semakin berlapis.
Buku yang berasal dari kumpulan makalah konferensi di Canberra, akhir 1999 ini berusaha menelaah aspek-aspek sosial dari krisis dan proses transisi di Indonesia. Buku yang semula diterbitkan oleh Institute of Southeast Asian Studies (2000) Singapura ini mencoba secara jernih mengamati segi-segi proses transisi dengan perspektif yang lebih luas: sosial-politik-ekonomi, hubungan luar negeri, sosial-budaya, lingkungan, hukum, dan agama. Para penulis di buku ini kebanyakan para pengamat asing (Marcus Mietzner, Anne Booth, James J. Fox, Chris Manning, dan sebagainya), ditambah beberapa pengamat dalam negeri yang sudah cukup dikenal (Djisman S. Simandjuntak, Nursyahbani Katyasungkana, Azyumardi Azra, M. Chatib Basri, dan lain-lain).
Hal menarik yang disoroti buku ini adalah adanya dugaan kuat bahwa ternyata proses reformasi yang selama ini berlangsung belum mampu menggeser budaya politik lama dengan budaya politik baru yang lebih baik. Katakanlah kebiasaan elit politik untuk berpikir demi kepentingan dirinya atau kelompoknya belum berubah. Rakyat bagi elit politik dipahami dalam dua pengertian: massa bisu yang bodoh, atau gerombolan liar yang tak dapat dikendalikan. Kenyataan juga menunjukkan bahwa hingga saat ini belum ada partai politik yang cukup mampu memiliki akar kuat di tingkat rakyat bawah.
Ketidakseriusan elit politik ini juga nampak dalam beberapa momen penting proses reformasi. Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB) misalnya yang merupakan proyek terakhir dari DPR hasil pemilu 1997 tidak mendapat reaksi keras dari partai-partai politik. RUU yang mengancam semakin besarnya peran militer dalam kancah politik itu malah ditolak secara kritis oleh gerakan mahasiswa hingga mengorbankan tujuh nyawa tak berdosa.
Saat-saat menjelang Pemilu dan Sidang Umum 1999 pembeda antara partai reformis dan kekuatan status quo nyaris lenyap. Semua partai besar berkepentingan membina aliansi dengan militer, sementara janji untuk tidak bekerja sama dengan Partai Golkar—partai yang dituduh menjadi mesin politik Orde Baru—dilupakan karena masih besarnya kekuatan politik Golkar di pusat-pusat kekuasaan.
Reformasi sistem politik dan hukum hanya berkisar para aspek prosedural-institusional dan belum mengarah kepada perubahan penting menuju terbentuknya masyarakat beradab. Terbukti proses reformasi hukum misalnya belum sukses karena norma hukum tak tertulis tidak ikut direformasi. Yang cukup mengenaskan adalah kenyataan bahwa reformasi hukum belum mampu melawan kekuasaan semena para elit politik yang jelas-jelas menghambat proses reformasi.
Sementara itu, tantangan besar yang dihadapi bangsa Indonesia masih amat banyak. Orang-orang lama yang terbiasa dengan empuknya kekuasaan hingga saat ini terlihat tetap mengincar kekuasaannya kembali. Dalam bentuk yang lebih konkret, ancaman disintegrasi akibat berbagai krisis yang terjadi menjadi masalah serius yang juga tak kunjung selesai.
Buku ini terbilang cukup lengkap mengulas berbagai aspek proses reformasi di tengah arus transisi. Beberapa momen penting reformasi disorot secara lebih dalam untuk menunjukkan arah dan kecenderungan berbagai kekuatan sosial-politik yang sedang bermain. Empat sisi krisis yang dialami bangsa Indonesia—krisis hubungan luar negeri, krisis kesatuan nasional, krisis demokratisasi, dan krisis ekonomi—dipotret secara lebih jernih. Buku ini mungkin dapat menemani bangsa Indonesia mengawal proses reformasi agar tidak terjebak dalam kesuraman masa transisi yang menakutkan.

0 komentar: