Kamis, 25 Januari 2001

Langkah Mundur Sebuah Revolusi

Judul Buku: Devolusi Negara Islam
Penulis: Asghar Ali Engineer
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Desember 2000
Tebal: 346 halaman


Hingga saat ini, masih ada beberapa kalangan masyarakat yang memiliki keinginan untuk menerapkan syariat Islam di Indonesia. Bahkan mungkin, ada juga beberapa pihak yang menginginkan didirikannya Negara Islam.. Menurut mereka, dengan pemberlakuan syariat Islam atau dengan didirikannya Negara Islam, peluang terwujudnya masyarakat yang lebih baik akan semakin terbuka.
Benarkah anggapan-anggapan tersebut di atas? Apakah Islam memang harus ditubuhkan bersama institusi penerapan syariah atau Negara Islam untuk mencapai tujuan pendiriannya?
W.C. Smith pernah mengatakan bahwa sebenarnya kelahiran Islam di tanah Arab merupakan suatu upaya revolusioner yang paling serius untuk membentuk masyarakat yang berkeadilan sosial, bahkan melebihi usaha revolusi kaum Marxis.
Akan tetapi, menurut Asghar Ali Engineer, penulis buku ini, gerak revolusi Islam yang dibawa Muhammad ternyata mengalami proses pemerosotan beberapa dekade setelah kewafatannya. Ekspansi wilayah Islam melalui penaklukan beberapa negara memperumit struktur pengawasan dan pengendalian pemerintahan sehingga membuat mereka abai dengan cita keadilan sosial Islam.
Pada waktu kelahiran Islam, sama sekali tidak dikenal konsep Negara Islam. Dalam al-Qur’an pun tidak ada konsep baku yang bersifat ilahiah tentang Negara Islam. Al-Qur’an hanya menjelaskan kosep tentang masyarakat, bukan tentang negara. Muhammad mengambil keputusan yang berkaitan dengan ranah sosial-politik secara pragmatis tidak melulu berdasarkan wahyu.
Misalnya ketika Muhammad hijrah ke Madinah, Muhammad segera menyusun suatu rumusan perjanjian yang dikenal dengan Konstitusi Madinah. Kehadiran Muhammad di Madinah ternyata cukup mampu menjadi penengah sekaligus peredam konflik antara suku-suku dan kaum Yahudi di sana. Konstitusi ini merupakan suatu revolusi besar-besaran bagi masyarakat Madinah, karena konstitusi ini berusaha mengalihkan kekuasaan dari tangan suku-suku kepada tangan masyarakat luas. Perjanjian ini dinilai sebagai dokumen yang mendasari terbentuknya sebuah negara yang memperhitungkan perimbangan kekuatan masyarakat menuju semangat persamaan dan keadilan.
Feodalisme Islam mulai nampak ketika ekspansi wilayah pada masa Khalifah Umar menghasilkan harta rampasan perang yang membuat elit politik Islam—yang nota bene adalah para Sahabat Nabi—terlena untuk menimbun harta. Kesenjangan ekonomi akibat penumpukan kekayaan ini secara sosiologis juga berdampak bagi solidaritas dan semangat persaudaraan Islam, sehingga muncul ketegangan-ketegangan antar-kelompok. Kondisi ini diperparah dengan watak nepotis pemerintahan Khalifah Usman yang semakin memperteguh munculnya kelompok borjuis (tuan tanah).
Citra feodal menjadi amat jelas pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, karena yang berlaku adalah sistem kerajaan. Distribusi ekonomi tidak berjalan seimbang sehingga penumpukan harta secara besar-besaran terjadi di kalangan penguasa. Eksploitasi negara-negara Islam abad pertengahan terhadap rakyatnya ini mendapat dukungan kuat melalui legitimasi religius atau dalil agama, dengan melarang pemberontakan terhadap penguasa yang masih melakukan shalat.
Negara-negara Islam di abad ini ternyata juga masih tidak bisa lepas dari aroma feodal ala abad pertengahan. Artikulasi kepentingan ekonomi-politik penguasa lebih kental ketimbang pertimbangan persaudaraan sesama muslim. Sementara, pemberlakuan hukum pidana Islam menjadi dalih untuk mengatakan bahwa mereka menjunjung tinggi semangat agama.
Padahal, menurut Maulana Azad dari India keadilan sosial, persamaan derajat, dan persaudaraan merupakan esensi agama (Din) yang berbeda dengan syariah (hukum pidana Islam) yang bersifat partikular. Ayat-ayat al-Qur’an periode awal (ayat Makkiyah) amat kental dengan kecaman terhadap ketidakadilan dan perlakuan diskriminatif. Ketentuan-ketentuan syariah Islam baru muncul pada ayat-ayat Madaniyah.
Buku ini mengajak para pembacanya untuk merenungkan kembali karakter ‘Negara Islam’ pada awal kelahirannya untuk dapat menangkap ruh suci yang dibawanya. Sejarah perkembangan (Negara) Islam menurut Asghar saat ini mengalami devolusi dari cita-cita revolusioner yang semula diembannya. Asghar menekankan peran penting para ulama atau cendekiawan untuk tampil sebagai pelopor perubahan guna mengingatkan kembali cita-cita revolusioner Islam dan keberpihakannya terhadap rakyat jelata.

Tulisan ini dimuat di Majalah Panji Masyarakat, 24 Januari 2001.

0 komentar: