Senin, 22 Mei 2000

Reorientasi Pendidikan sebagai Investasi Masa Depan

Krisis ekonomi dan moneter yang melahirkan efek domino di berbagai sisi pada akhirnya meruntuhkan berbagai sendi utama kehidupan bangsa Indonesia. Disintegrasi menjadi hantu gentayangan yang selalu membayangi kehidupan sehari-hari, seiring dengan berbagai tindak kekerasan sosial-politik yang mengalami eskalasi. Pembangunan di berbagai sektor mengalami interupsi, karena berbagai prasyarat yang dibutuhkan telah luluh-lantak disapu-bersih badai krisis multidimensional. Krisis multidimensional ini bukan saja menimpa para petinggi di republik ini, tetapi juga akut di kalangan masyarakat luas. Hal ini membuat mata masyarakat harus terbuka lebar menghadapi kenyataan lemahnya bangunan peradaban dan integritas kebangsaan masyarakat negeri ini.

Gelombang reformasi merupakan paket jalan keluar yang diajukan masyarakat untuk mengembalikan dan memulihkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlepas dari variabel sosial-politik yang begitu rumit, krisis multidimensional yang menimpa bangsa ini dapat pula dilihat sebagai lemahnya sumber daya manusia (SDM) bangsa Indonesia, yang tentunya amat terkait dengan praktik pendidikan yang selama ini berlangsung. Artinya, krisis multidimensional tersebut dapat disebut berakar dari gagalnya proyek pendidikan. Karena itu, beberapa kalangan lalu menjadi peduli untuk merekonstruksi kembali—atau bahkan mendekonstruksi—berbagai paradigma pendidikan yang diberlakukan selama ini. Merancang masa depan pendidikan yang lebih memungkinkan bagi terciptanya demokratisasi dan kesejahteraan masyarakat kemudian menjadi sesuatu yang niscaya. Apalagi bila dikaitkan dengan konteks internasional atau variabel global. Tantangan sebagai bangsa untuk bersaing di kehidupan global semakin menantang dunia pendidikan guna mempersiapkan kader-kader bangsa yang mumpuni.

Pengambinghitaman terhadap rezim Orde Baru yang telah menunggangi sektor pendidikan untuk kepentingan kekuasaan mungkin dapat dijadikan salah satu alasan bagi gagalnya program pendidikan. Akan tetapi, bila dilihat dari perspektif Michel Foucault tentang kekuasaan, patut dipertanyakan secara lebih jauh dan kritis, mengapa masyarakat luas justru “tunduk” dan turut “menikmati” represi negara (baca: rezim Orde Baru) dalam bidang pendidikan itu? Dalam hal ini perspektif Foucault memberikan penjelasan bahwa sebenarnya kekuasaan itu tidak semata-mata berada pada poros kekuasaan negara, tetapi juga berada dalam tubuh masyarakat sendiri. Dalam konteks kegagalan pendidikan ini berarti ada sejumlah faktor lain yang inheren dalam tubuh masyarakat kaitannya dengan pendidikan yang turut mendukung proses gagalnya proyek pendidikan itu—dan ini tak bisa diabaikan.

Kalau memang demikian, lalu di manakah letak kesalahan lain yang cukup signifikan itu, selain politisasi pendidikan seperti yang dilakukan Orde Baru? Prof. Dr. Winarno Surakhmad menengarai bahwa kekacauan dunia pendidikan disebabkan tidak adanya landasan falsafah yang mendasari praksis pendidikan di lapangan. Landasan falsafah dalam pendidikan ini bagi Winarno identik dengan “visi bersama” yang mampu mempertemukan berbagai pemikiran tentang praksis pendidikan itu. Karena ketiadaan falsafah inilah, maka berbagai perbincangan tentang masalah pendidikan ‘terjebak di dalam persoalan-persoalan yang bersifat teknis metodologis’ (Kompas, 11 Februari 2000, dan 3 Februari 2000).

Pandangan yang dikemukakan oleh mantan rektor IKIP Jakarta ini (kini menjadi Universitas Negeri Jakarta) sebenarnya cukup menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Pertanyaan serupa yang kurang lebih serumpun dengan gagasan Prof. Dr. Winarno Surakhmad ini adalah masalah orientasi atau visi pendidikan nasional. Kemana sebenarnya arah pendidikan di Indonesia ini akan dibawa?

Kesalahan terbesar pemerintah Orde Baru dalam hal pengembangan pendidikan adalah terlalu kuatnya kehendak intervensi politis dalam soal pendidikan, sehingga dunia pendidikan tergantung oleh interest politik kelompok penguasa. Pendidikan Pancasila yang melibatkan seluruh lapisan kaum pelajar misalnya tidak menjadi wahana diskusi ilmiah bagi pengembangan ideologi bangsa menghadapi tantangan kehidupan bangsa yang kian kompleks, melainkan lebih dijadikan sebagai alat kuasa untuk menundukkan lawan-lawan politik penguasa. Pancasila kemudian direduksi semata-mata menjadi alat hegemoni.

Pada sisi yang lain, pendidikan selama pemerintahan Orde Baru telah melakukan perselingkuhan dengan ideologi ekonomi internasional, yakni kapitalisme-global. Inilah sebenarnya warisan visi pendidikan dari zaman kolonialisme Belanda, yakni ketika pendidikan diarahkan hanya untuk memenuhi kebutuhan ‘negara induk’ (baca: Negara Belanda) di sektor ekonomi. Pendidikan selama Orde Baru diarahkan bagi pemenuhan kebutuhan barang murah untuk dapat diekspor ke negara-negara industri maju, yang nota bene bekas penjajah. Maka untuk memperoleh laba yang cukup besar, penguasa dan pengusaha harus menekan upah buruh serendah mungkin. Ketika pendidikan hanya menjadi pelayan bagi sistem ekonomi yang kapitalistik itulah, maka pendidikan terjerat dalam jaringan sistem ketergantungan global yang menjadi ciri hubungan internasional saat ini (Abdurrahman Wahid, 1984: xvi-xvii).

Pandangan semacam inilah yang selama ini menjadi “landasan falsafah” praktik pendidikan di Indonesia. Karena itu, landasan inilah yang harus “dibuldozer” dan dirumuskan ulang secara lebih baik.

Prof. Dr. N. Driyarkara (1991: 80-83) memandang pendidikan sebagai hominisasi dan humanisasi. Pendidikan pada tahap yang paling minimal merupakan proses penjadian manusia. Manusia tidak semata-mata dilihat sebagai sosok makhluk biologis, melainkan juga sebagai sosok pribadi sekaligus sebagai subyek. Maka pada taraf ini pendidikan harus diusahakan untuk membentuk makhluk yang mempribadi dan berperan sebagai subyek. Inilah proses hominisasi. Lebih jauh lagi, pendidikan juga merupakan proses humanisasi. Humanisasi berada pada tahapan yang lebih tinggi dari sekedar hominisasi. Humanisasi dalam konteks pendidikan berarti bahwa pendidikan juga dilihat sebagai suatu proses pembangunan peradaban manusia. Hal ini berdasarkan pengandaian bahwa manusia adalah juga makhluk sosial yang membentuk peradabannya secara bersama-sama dan bersifat lintas-generasi. Dengan melihat praktik pendidikan sebagai suatu wujud kerja kultural maka manusia yang menjadi subyek pendidikan harus dilihat dari totalitas unsur-unsur penyusunnya (tubuh dan jiwa). Pendidikan juga harus dilihat dalam bingkai ekspresi cipta, rasa, dan karsa manusia.

Berdasarkan pandangan di atas, pandangan terhadap pendidikan harus digeser dari sekedar pemenuhan kebutuhan ekonomi negara menjadi pandangan bahwa pendidikan adalah juga strategi pembangunan peradaban bangsa—dan inilah yang lebih penting. Pendidikan adalah sebuah proses human investment, sehingga pendidikan juga merupakan aset paling penting dalam pembangunan.
Atas landasan pemikiran berupa orientasi baru inilah berbagai praktik pendidikan dapat didasarkan. Dengan acuan pemikiran tersebut, bukan berarti pendidikan harus diputuskan dari kebutuhan konkret masyarakat yang mendesak. Paradigma baru tersebut kurang lebih menawarkan sebuah tawaran jangka panjang untuk memposisikan pendidikan menurut perspektif yang lebih luas dan kepentingan yang lebih dalam, yakni untuk mewujudkan suatu kehidupan bangsa yang beradab (civilized).

Selain itu, perselingkuhan antara kekuasaan-kapitalisme-pendidikan yang mengarah pada kecenderungan politisasi pendidikan dan terbukti telah mengebiri tujuan pendidikan itu sendiri mesti dicegah. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa pendidikan sama sekali lepas dari dimensi politik. Keterlibatan pemerintah dalam urusan pendidikan tidak bisa dipotong sama sekali. Yang perlu menjadi perhatian di sini adalah upaya mempolitisasi pendidikan demi kepentingan kelompok tertentu. Kebijakan pemerintah di bidang pendidikan tetap merupakan suatu kebijakan politik. Persoalannya adalah bagaimana agar kebijakan itu dibuat dalam kerangka good will bagi terciptanya arus pengetahuan dan informasi yang lebih terbuka, sehingga dunia pendidikan sebagai wahana pengembangan masyarakat ilmiah secara epistemologis bersifat independen. Perlunya kebijakan desentralisasi pendidikan yang juga diikuti dengan desentralisasi kurikulum, misalnya, merupakan suatu keputusan politis yang didasarkan atas pemikiran bahwa komunitas pendidikan di setiap wilayah memiliki kekhasannya sendiri-sendiri (lebih jauh, baca tulisan Iwan Jazadi, Kompas, 25 Februari 2000). Pendidikan sebagai sebuah proses pembangunan peradaban bangsa mau tidak mau juga membutuhkan suatu komitmen semua pihak—terutama pemerintah—untuk memposisikan pendidikan sebagai strategi penyadaran politik warga negara.

Memposisikan pendidikan sebagai strategi pembangunan peradaban bangsa berarti bahwa proses ini melibatkan seluruh elemen masyarakat. Pendidikan bukan hanya sekedar urusan yang berkaitan dengan ‘sekolah’, tetapi juga urusan keluarga, organisasi atau perkumpulan sosial, dan masyarakat. Pandangan konvensional yang melihat sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan harus diruntuhkan. Namun demikian, harus diakui bahwa sekolah memang merupakan elemen pendidikan yang penting. Cuma saja, persepsi yang selama ini berkembang tentang sekolah masih berada dalam kerangka paradigma berpikir yang lama, yang memperlihatkan keberhasilan konspirasi kekuasaan-kapitalisme-pendidikan.

Untuk itu, sekolah sebagai suatu elemen pendidikan formal yang cukup penting juga mesti mendapat perhatian. Dengan mengutip pandangan John Dewey (Kleden, 1996, 8-9), ada tiga fungsi penting sekolah dalam konteks hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya. Pertama, sekolah adalah sebuah lingkungan buatan yang disederhanakan dari lingkungan hidup masyarakat yang kompleks. Dengan hal ini, maka sekolah berarti berfungsi untuk memilih berbagai hal yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari agar mudah diajarkan dan mudah mendapat respon dari peserta didik. Kedua, sekolah juga berfungsi untuk memurnikan berbagai kecenderungan negatif dan destruktif dalam masyarakat sehingga sekolah berposisi sebagai korektor terhadap perkembangan sosial. Ketiga, sekolah bertugas menciptakan perimbangan antara berbagai unsur dalam lingkungan sosial yang beragam agar peserta didik dapat keluar dari kungkungan keterbatasan lingkungan asalnya.

Dari pandangan Dewey di atas secara implisit tersimpul bahwa pendidikan memang bukan sekedar urusan yang berhubungan dengan pengembangan pengetahuan, tetapi juga berhubungan dengan masalah nilai. Ini berarti bahwa pandangan Dewey semakin meneguhkan konsepsi di atas bahwa pendidikan memang harus didudukkan dalam kerangka pengembangan peradaban.

Hakikat peradaban atau kebudayaan itu sendiri terfokus pada manusia yang menjadi pelaku dan pencipta kebudayaan. Karena itu, manusia dalam konteks peradaban—dan oleh karena itu, demikian juga dalam proses pendidikan—dianggap sebagai makhluk yang memiliki sejumlah potensi kreatif dan otonom untuk mengatasi permasalahan secara baik. Kepercayaan terhadap kemampuan kreatif dan otonom pada diri manusia ini dalam konteks pendidikan pada akhirnya berlabuh pada pandangan klasik tentang pendidikan, yakni bahwa praktik pendidikan adalah sebuah praktik pembebasan, seperti lantang disuarakan oleh praktisi pendidikan asal Brazil, Paulo Freire (1984).

Dengan perspektif di atas, pendidikan kemudian berada dalam sorotan spektrum yang lebih luas dan dalam, yakni dalam kerangka memanusiakan manusia serta secara lebih khusus dalam kerangka penyadaran politik demi terwujudnya masyarakat yang terbuka, terbebaskan, dan menghargai nilai-nilai demokratis. Ke arah rancangan seperti itulah sebaiknya arus proses pendidikan digiring.***


Daftar Pustaka

Abdurrahman Wahid, 1984, “Pembebasan Melalui Pendidikan: Punyakah Keabsahan?: Tinjauan Sepintas Atas Sebuah Pendekatan”, kata pengantar dalam buku Paulo Freire, Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan, PT Gramedia, Jakarta.

Freire, Paulo, 1984, Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan, PT Gramedia, Jakarta.

Iwan Jazadi, 2000, “Mencermati Perubahan Paradigma Pendidikan Indonesia”, Harian Kompas, 25 Februari 2000.

Kleden, Ignas, 1996, “Linking dan Delinking dalam Pendidikan dan Kebudayaan: Mempertanyakan Konsep Link and Match”, Majalah Basis, No. 3-4, Th. ke-45, Mei-Juni 1996.

N. Driyarkara, 1991, Driyarkara tentang Pendidikan, Cet. III, Kanisius, Yogyakarta.

“Kekacauan Pendidikan Akibat Ketiadaan Landasan Falsafah”, berita Harian Kompas, 11 Februari 2000.

“Rumuskan Visi Pendidikan Nasional bagi Seluruh Bangsa”, berita Harian Kompas, 3 Februari 2000.



Tulisan ini dimuat di Harian Bernas, 22 Mei 2000, dan menjadi Pemenang Utama I dalam Lomba Penulisan Artikel Pendidikan dalam rangka Dies Natalis Universitas Negeri Yogyakarta ke-36.

Read More..

Selasa, 16 Mei 2000

Belajar Filsafat Sambil Berfilsafat

Judul Buku : Pengantar Filsafat
Penulis : Louis O. Kattsoff
Penerjemah : Soejono Soemargono
Penerbit : Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta
Cetakan : Ketujuh, November 1996

Ketika seseorang mendengar kata “filsafat”, seringkali yang terbayang adalah sesuatu yang aneh, angker, absurd, atau membingungkan. Filsafat seringkali dikaitkan dengan model-model pemikiran yang rumit, penuh digenangi dengan istilah-istilah yang khas, bersifat abstrak, sehingga sulit dipahami. Ada anggapan bahwa pemikiran filsafat berada di langit yang menjulang tinggi, seperti juga sekelompok orang yang berada di menara gading. Ya. Filsafat kadang-kadang dilabelkan sebagai suatu bentuk elitisme intelektual.

Anggapan-anggapan yang seperti itu bisa jadi memang bersumber dari suatu kesalahpahaman orang terhadap filsafat itu sendiri. Filsafat oleh para pembelanya sering disebut sebagai induk ilmu pengetahuan. Filsafat mengklaim hendak merengkuh kedalaman realitas sehingga tuntas tak tersisa.

Persoalan ketegangan pembentukan citra terhadap filsafat ini mungkin memang tak akan pernah berakhir. Akan tetapi, ada satu hal yang sebenarnya cukup menarik dan bersifat mendasar berhubungan dengan hal ini, yakni pertanyaan mengapa kita (harus) berfilsafat? Apa kekhasan corak berpikir filsafati sehingga ada orang-orang yang sabar dan tekun masuk dalam model pemikiran ini? Dengan pertanyaan-pertanyaan seperti ini, sebenarnya secara tidak langsung orang yang ditanya—dan juga diri kita—sudah diajak berfilsafat. Berfilsafat dalam pengertian yang paling sederhana, yakni dalam konteks ini, adalah usaha merumuskan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar perihal sesuatu hal.

Ada banyak cara untuk berfilsafat, sekaligus pula ada banyak cara untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti disebut di atas. Ada yang bertolak dari sejarah, dalam arti mempelajari filsafat dengan menelusuri sejarah (pemikiran) filsafat. Satu persatu, pemikiran para filsuf diuraikan secara jelas sehingga dalam rentetan tokoh (filsuf) yang sekian banyak itu dapat menunjukkan suatu kesinambungan historis dari pemikiran yang dilahirkan. Dengan perspektif historis dalam belajar filsafat diharapkan seseorang dapat memahami proses dialektis kelahiran suatu pemikiran.

Cara yang kedua adalah mempelajari filsafat secara sistematik, melalui cabang-cabang disiplin filsafat yang sudah mapan, seperti epistemologi, metafisika, kosmologi, aksiologi, dan sebagainya. Yang lebih ditekankan dalam model pendekatan kedua ini adalah kekhasan masing-masing cabang disiplin filsafat, sehingga dari berbagai cabang filsafat itu kemudian dapat ditarik suatu kesimpulan umum tentang apa dan mengapa harus berfilsafat. Dalam model yang kedua ini biasanya seseorang dihantarkan dulu kepada masalah pengertian-pengertian mendasar tentang filsafat.

Dalam posisi yang kedua inilah sebenarnya buku Louis O. Kattsoff dapat didudukkan. Buku yang edisi bahasa Inggrisnya berjudul Elements of Philosophy ini berusaha menguraikan secara sistemik berbagai cabang filsafat secara jelas dan rinci. Kalau hendak diidentifikasi, model pendekatan yang dilakukan Kattsoff dalam buku ini memiliki dua ciri. Pertama, Kattsoff tidak menggunakan pendekatan historis. Pendekatan historis ini bagi Kattsoff kurang lebih cenderung menjebak seseorang yang belajar filsafat pada dogmatisme pemikiran sang filsuf yang dipelajari, karena konteks sosial-historis dari pemikiran yang dipelajarinya itu sebenarnya cukup asing dan sulit terpahami menurut perspektif kekinian si pembaca. Dalam situasi seperti ini, absurditas pemikiran filsafat masih menjadi ancaman yang besar. Kedua, dalam buku ini Kattsoff terlihat amat menekankan proses pengenalan (pembelajaran) terhadap filsafat secara lebih aktif. Melalui buku ini Kattsoff seperti hendak memberikan pelajaran filsafat bagi khalayak luas dibarengi dengan tuntutan bagi si pembaca untuk ikut berfilsafat. Artinya, buku ini seperti hendak berusaha mengenalkan filsafat dengan cara mengajak langsung si pembaca pada medan filsafat itu sendiri.

Dengan cara ini, Kattsoff mengajak pembacanya untuk langsung melihat sejauh mana relevansi intelektual dari pemikiran filsafat yang dipelajari. Melalui buku ini, Kattsoff hendak berusaha membumikan filsafat ke dalam cara berpikir si pembaca. Karena itu, Kattsoff tidak terlalu mengedepankan pendapat atau pandangan filsuf tertentu menyangkut suatu hal, tetapi bagaimana model berpikir filsafati itu diterapkan dalam butir-butir penting dari setiap cabang filsafat.

Selain dari model pendekatan yang digunakan dalam buku ini, satu hal lagi yang cukup khas dalam uraiannya adalah usaha Kattsoff untuk menjelaskan alasan mengapa filsafat itu penting. Enam bab pertama dan satu bab terakhir dari dua puluh satu bab keseluruhan buku digunakan Kattsoff untuk menguraikan permasalahan ini. Aktivitas berfilsafat menurut Kattsof (hal. 469-73) dilakukan untuk menghindari perbudakan akali. Perbudakan akali adalah suatu cara untuk ‘mengauskan akal pikiran sehingga akal pikiran tersebut tidak lagi dapat bekerja’. Perbudakan akali menggiring orang-orang untuk percaya begitu saja terhadap suatu hal. Dalam perbudakan akali, orang-orang ditakut-takuti bahwa bila ia mempersoalkan hal itu secara lebih jauh, maka ia akan tiba pada suatu kekacauan pikiran. Padahal, bagi Kattsoff, kekacauan pikiran terjadi karena adanya ‘kepercayaan-kepercayaan yang tidak serasi, bukan karena pikiran yang hati-hati’.Mempercayai sesuatu, mengandung makna yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan hanya mengulang-ulang perkataan. Mempercayai sesuatu, jika masuk akal dan layak bagi manusia, haruslah runtut, koheren dan sistematis. Dengan kata lain, mempercayai sesuatu berarti mempunyai tinjauan kefilsafatan yang kita sadari. Tetapi tinjauan semacam itu harus menggunakan perkataan yang jelas, didefinisikan secara baik, dan berisikan pernyataan-pernyataan yang didukung oleh bukti tertentu. Inilah yang dimaksudkan dengan pengertian “pandangan dunia” (hal. 471).Berfilsafat adalah aktivitas untuk menyusun suatu pandangan dunia (world-view, weltanschaung). Pandangan dunia yang dimaksudkan di sini adalah berupa dasar-dasar pemahaman fundamental mengenai berbagai sisi realitas sehingga mencapai hakikat yang terdalam. Perangkat yang dipergunakan berbentuk model pemikiran yang bersifat ketat, rasional, sistematis, koheren, dan komprehensif. Dengan serangkaian model pemikiran tersebut, filsafat tidak menghentikan setiap pemikirannya pada dataran wilayah yang dangkal. Pemikiran filsafat selalu berusaha untuk menyeberangi dan melampaui fakta (beyond the fact), masuk ke palung samudera hakikat realitas yang tak dijamah ilmu-ilmu khusus. Dengan bermodalkan serangkaian perangkat dan proses berpikir filsafati ini, diharapkan bahwa pemahaman manusia terhadap realitas yang dihadapinya bersifat lebih umum, mendasar, dan mencapai hakikat yang terdalam. Pemahaman yang kurang lebih bersifat sempurna inilah nantinya akan dapat menjadi titik tolak bagi tindakan yang lebih layak (hal. 3-15). Pemahaman yang benar yang mengarah kepada suatu tindakan yang lebih layak menurut Kattsoff menjadi suatu alasan penting dalam berfilsafat karena didasarkan pada keinginan untuk mengusahakan suatu ‘kehidupan yang bermakna dan layak’ (hal. 470), karena mungkin dalam bayangan Kattsoff hidup yang tidak bermakna adalah hidup yang tak layak dijalani.

Uraian-uraian dalam buku ini setelah memberi penjelasan umum tentang filsafat pada enam bab pertama adalah menyangkut cabang-cabang filsafat sistematik dan persoalan-persoalan besar pemikiran filsafat, yang meliputi epistemologi, ontologi, kosmologi, aksiologi, etika, estetika, masalah hidup, masalah jiwa, masalah manusia (Filsafat Manusia), masalah politik (Filsafat Politik), dan masalah agama (Filsafat Agama).

Dalam pandangan Kattsoff, dua cabang filsafat sistematik yang disebut pertama, yakni epistemologi dan ontologi, disebut sebagai ‘hakikat kefilsafatan’. Akan tetapi, dalam membahas mengenai nilai urgensi dari kedua cabang filsafat itu, Kattsoff tidak terjebak ke dalam suatu upaya untuk mensuperioritaskan salah satunya, seperti yang juga menjadi perdebatan sepanjang sejarah filsafat. Kattsoff tidak (mau) masuk dalam pertanyaan kontroversial: apakah berfilsafat itu bertolak dari epistemologi, atau ontologi? Meski begitu, secara implisit dapat ditafsirkan bahwa sebenarnya Kattsoff lebih mengedepankan epistemologi, terbukti dengan sistematika penulisan buku ini yang lebih mengedepankan bab epistemologi sebelum bab ontologi. Alasan yang diajukan Kattsoff—meski secara implisit—amatlah sederhana: kalau ontologi berusaha mempelajari hakikat segala yang ada, tidaklah mungkin kalau ia tidak didasarkan atas suatu legitimasi epistemologis tertentu, yakni bahwa hakikat ada itu (yang bersifat umum) dapat diketahui. Ini terlihat dari kutipan berikut:Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat diketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologis. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya (hal. 135).Dengan berusaha memberikan pengertian yang tegas bahwa pemahaman tentang batas-batas pengetahuan amatlah penting, maka Kattsoff mengedepankan studi-studi epistemologis sebelum menguraikan cabang filsafat yang lain.

Selain itu, dari ketiga cabang filsafat sistematik yang disebut pertama, yakni epistemologi, ontologi, dan kosmologi, Kattsoff seperti hendak “memisahkannya” dengan cabang filsafat dan persoalan filsafat yang disebut sesudahnya, yakni aksiologi, etika, estetika, masalah hidup, masalah jiwa, masalah manusia (Filsafat Manusia), masalah politik (Filsafat Politik), dan masalah agama (Filsafat Agama). Model pembagian ini tetap didasarkan atas pengertian tentang batas-batas pengetahuan (filsafat) tersebut di atas. Sepertinya, Kattsoff hendak mengatakan bahwa aktivitas berfilsafat sebagai suatu aktivitas pemikiran yang bersifat ketat, rasional, sistematis, koheren, dan komprehensif, hanya berlaku bagi ketiga cabang filsafat tersebut di atas.

Sementara, cabang filsafat dan masalah filsafat pada bagian yang kedua hal tersebut tak dapat diterapkan sepenuhnya. Karena itu, Kattsoff menggunakan judul “Pengembaraan Tiada Bertepi” dan “Terbentangnya Cakrawala Kebijaksanaan” untuk bagian kedua itu. Di sini, tercermin komitmen kuat dari Kattsoff untuk tetap menghargai ‘medan-medan misterius’ yang juga melingkupi realitas hidup manusia. Komitmen Kattsoff ini terlihat dari uraian-uraiannya yang tidak kalah mendalam dan berbau ‘filsafati’ pada pokok kajian bagian kedua ini. Ketika membahas masalah agama misalnya, secara kritis dan khas filsafati Kattsoff mengurai satu-persatu masalah istilah-istilah mendasar seperti “agama”, “Tuhan”, “pencipta”, “eksistensi Tuhan”, hingga masalah pembuktian Tuhan (hal. 443-67). Uraian-uraian yang dilakukan Kattsoff dalam bab-bab ini terlihat masih mempertahankan usaha-usaha berpikir secara kefilsafatan secara kuat, meski harus berhadapan dengan tantangan berupa obyek material yang ditelitinya itu sendiri.

Dari gambaran singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pemihakan terhadap model berfilsafat dengan cara tertentu tidak dapat dihindarkan dalam setiap usaha mengajarkan tentang apakah filsafat itu. Kattsoff harus diakui telah cukup canggih dalam usahanya menguraikan permasalan-permasalahan mendasar filsafat secara baik, dengan langsung menerjunkan pembacanya kepada alam pikiran berfilsafat itu sendiri. Akan tetapi, bahwa Kattsoff telah mengabaikan cara mengajarkan filsafat yang lain adalah sesuatu yang wajar dari sebuah pilihan—yang berarti mesti menyisihkan yang lain.

Sebagai catatan akhir, patut diingat bahwa keampuhan buku ini mengantarkan pembaca ke dunia filsafat yang lebih konkret tidak hanya dimonopoli dengan model pendekatan ala Kattsoff. Model pengajaran filsafat melalui model historis misalnya asal dilakukan dengan cerdas terbukti pula mampu mengantarkan pembaca ke alam filsafat secara cukup baik. Buku Sofie’s Verden karya Jostein Gaarder (diterjemahkan menjadi Dunia Sophie) adalah contoh bagus yang juga layak diapresiasi. Terbukti, buku ini telah mampu terjual lebih dari 9 juta buku di seluruh dunia.

Wallahu a`lam.


Read More..