Senin, 03 April 2000

Liberalisme Pemikiran Seorang “Wali”

Judul Buku: Prisma Pemikiran Gus Dur
Penulis: K.H. Abdurrahman Wahid
Pengantar: Greg Barton dan Hairus Salim HS
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, November 1999
Tebal: xlviii + 238 halaman


Sosok K.H. Abdurrahman Wahid—yang akrab dipanggil Gus Dur—semakin bertambah populer dan kontroversial saja ketika ia terpilih sebagai Presiden RI dalam SU MPR bulan Oktober lalu. Tidak hanya itu. Langkah-langkah politiknya sebagai presiden dalam minggu-minggu terakhir ini juga cukup membingungkan orang. Figur kontroversial Gus Dur yang unik dan menarik ini ternyata direspons secara cukup baik oleh dunia perbukuan. Bagaikan jamur di musim hujan, buku-buku tentang Gus Dur muncul di mana-mana, dari penerbit sejenis Kompas atau LKiS, sampai ke penerbit-penerbit baru.
Buku ini berisi kumpulan tulisan Gus Dur yang berasal dari Jurnal Prisma, sebagian besar antara akhir 1970-an hingga awal 1980-an. Dibandingkan dengan dua buku kumpulan karya Gus Dur sebelumnya, yakni Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (LKiS, 1998) dan Tuhan Tidak Perlu Dibela (LKiS, Oktober 1999), buku ini memiliki kelebihannya tersendiri. Karena berbentuk artikel yang relatif panjang dan berasal dari Jurnal Prisma—sebuah jurnal pemikiran sosial terkemuka di Indonesia—maka tentu tulisan-tulisan Gus Dur dalam buku ini memiliki bobot yang dapat disejajarkan dengan karya sosiolog-sosiolog terkemuka di Indonesia. Meski secara akademis Gus Dur tidak pernah belajar ilmu-ilmu sosial, tetapi pemikirannya yang tertuang dalam tulisan ini menunjukkan kedalaman serta kelihaian Gus Dur dalam menganalisis problem-problem sosial yang berkembang ketika itu.
Pemikiran Gus Dur dalam buku ini berkaitan dengan soal hubungan agama dan ideologi, negara dan gerakan keagamaan, hak asasi manusia, kebudayaan, pesantren, dan sebagainya. Dalam soal agama dan ideologi Gus Dur mengaitkan keduanya dengan persoalan pembangunan. Menurut Gus Dur, pertentangan paradigma berpikir antara kelompok agama dan ideologi negara kerap kali harus mengorbankan terabaikannya pelaksanaan pembangunan. Gerakan keagamaan hendak mengemukakan pikiran-pikiran alternatif yang bersumber dari keyakinan ajaran keagamaannya. Perenialitas doktrin keagamaan merupakan motivasi utama gerakan ini, sehingga soliditas gerakannya patut dikagumi meski harus berhadapan dengan represi dan penindasan yang berat.
Bagi kelompok gerakan keagamaan ini, paradigma yang mereka bawa dan yang diterapkan oleh pemerintah dilihat secara kontradiktif-oposisional. Pemerintahan sekuler dianggap terlalu mengabaikan religiusitas-transendental ajaran agama, dan mereka hendak memperjuangkan hal itu. Sayangnya, menurut Gus Dur, gerakan-gerakan keagamaan seperti itu—yang juga dapat ditemukan dalam sejarah politik (Islam) di Indonesia—tidak pernah mau mencoba secara serius untuk mencoba melacak sejauh mana sebenarnya kelompok gerakan keagamaan di Indonesia secara historis terlibat aktif dalam penyusunan ideologi negara (Pancasila). Padahal, Pancasila sebagai sebuah ideologi negara tentu tidak lahir dari satu kelompok saja. Secara obyektif, ketika itu mesti ada semacam bargaining-position antara berbagai elemen bangsa—termasuk kelompok keagamaan—dalam proses perumusan ideologi negara tersebut. Hal ini perlu disadari untuk mengurangi kadar konfrontatif di antara gerakan keagamaan tersebut dengan ideologi negara. Lebih jauh lagi, hal ini dimaksudkan demi menghindari upaya-upaya yang tidak produktif dengan mengabaikan kerja-kerja konkret pembangunan masyarakat.
Menurut Gus Dur, ketegangan hubungan antara kelompok agama versus ideologi negara ini merupakan fenomena lumrah di negara berkembang. Melalui perbandingan dengan beberapa kasus di Iran, Pakistan, Mesir, Turki, Korea Selatan, atau Nigeria, Gus Dur menyimpulkan bahwa gerakan keagamaan yang bersitegang tersebut berakhir dalam tiga bentuk: dicap sebagai gerakan separatis yang terus ditekan dan akhirnya gagal, kemenangan gerakan separatis itu sendiri, dan koalisi kelompok separatis dengan kelompok politik tertentu. Yang jelas, bagi Gus Dur, ketegangan yang rata-rata menimpa dunia ketiga menunjukkan pada lemahnya posisi ideologi negara berhadapan dengan keyakinan keagamaan. Terdapat suatu jurang kesenjangan yang cukup lebar antara ideologi negara dengan spirit agama sebagai sebuah komponen penting suatu bangsa. Ketika hal ini terjadi, maka sebenarnya rakyat dan pemerintah belum memiliki suatu kematangan yang cukup dewasa baik dalam hidup bernegara maupun beragama.
Dalam konteks hubungan agama dan ideologi negara ini sosok pemikiran Gus Dur memang memiliki keunikannya tersendiri. Dengan mengandalkan pada pemahaman keagamaan yang kuat dan berakar serta kelihaiannya dalam penguasaan ilmu-ilmu sosial Gus Dur mencoba memberikan alternatif terhadap dinamika kehidupan agama dan fenomena modernisasi. Kepada kalangan teknokrat-birokrat yang minim pengetahuan agamanya Gus Dur selalu memberikan perspektif yang liberal dan progresif dari kehidupan agama, sementara kepada kalangan agama sendiri Gus Dur memberikan perspektif religius dari cita kehidupan sekuler. Tindakan seperti ini dilakukan untuk memperoleh suatu keadaan pemahaman yang seimbang antara negara dan agama. Benang merah yang dapat diambil dari model Gus Dur ini adalah bahwa bagi Gus Dur agama (Islam) adalah suatu bagian dari peradaban dunia yang memiliki keyakinan egaliter, yang secara fundamental menolak perlakukan diskriminatif dengan alasan kelas sosial, ras, suku, gender, dan keyakinan agama, karena dalam pandangan Tuhan semua manusia adalah setara.
Dengan landasan pemikiran tersebut, Gus Dur secara aktif gencar mengampanyekan model-model pemikiran keberagamaan yang biasa disebut transformatif, toleran, dan inklusif. Model yang demikian oleh Greg Barton disebut dengan pemikiran Islam Liberal. Ciri pokok pemikiran liberal ini, seperti ditulis dalam disertasinya, adalah adanya “suatu komitmen terhadap ide-ide rasionalitas dan pembaruan; suatu keyakinan akan pentingnya suatu kontekstualisasi ijtihad; suatu penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama; serta pemisahan agama dari partai politik dan posisi non-sektarian negara.”
Yang menarik dari hal ini adalah kenyataan bahwa bagi sebagian orang liberalisme pemikiran Gus Dur ini cukup mengherankan dan sulit dipahami. Bagaimana bisa seorang yang dididik dalam lingkungan keagamaan yang kuat, apalagi pesantren, yang bahkan oleh sebagian kalangan disebut “wali”, dapat menerima pandangan-pandangan sekuler dari Barat, hingga dalam kasus terakhir berniat hendak membuka hubungan dagang dengan Israel?
Sosok Gus Dur memang merupakan sosok multidimensional. Lacakan historis akan menunjukkan betapa dulunya Gus Dur sudah merambah ke berbagai dunia aktivitas yang beragam. Sosok Gus Dur adalah seorang agamawan, seorang aktivis sosial (LSM), politikus, sekaligus juga cendekiawan. Tetapi, penting dicatat bahwa akar historis Gus Dur yang paling kuat menancap dalam dirinya adalah bahwa dia sosok agamawan yang taat. Kalau demikian, tentu bisa dikatakan bahwa sebenarnya segenap perilaku dan juga pemikiran Gus Dur tentunya diderivasikan dari keyakinan agamanya itu. Sehingga, sejauh mana ia memandang agama di antara variabel-varibel sosial lainnya, maka sejauh itu pulalah tafsir lanjutannya akan terealisasikan dalam laku keseharian dan pemikirannya. Pandangan semacam ini memang masih bersifat spekulatif, artinya, masih membutuhkan suatu pembuktian dengan tingkat evidensi yang cukup tinggi, terutama pada tataran epistemologis.
Dari perspektif tersebut, buku ini merupakan bagian dari upaya Gus Dur untuk menggambarkan keyakinan agamanya itu, untuk ditafsirkan dalam konteks sosial yang lebih konkret. Lalu, kalau hipotesis ini diterima, patut pula dilihat melalui pikiran-pikiran Gus Dur dalam buku ini, sejauh mana keyakinan agama yang dimiliki Gus Dur mewarnai bidang pemikirannya yang lain. Artinya, tafsir sosial Gus Dur terhadap realitas sebenarnya menunjuk pada pola keberagamaan yang dianutnya. Wallahu a`lam.

Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 2 April 2000.

Read More..