Kamis, 14 Desember 2000

Metamorfosis Sang Penyelamat

Judul Buku: Wajah Baru Etika dan Agama
Penulis: I. Bambang Sugiharto dan Agus Rachmat W.
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2000
Tebal: 279 halaman


Carut-marut kehidupan sosial di berbagai pelosok negeri ini seringkali diidentifikasi sebagai akibat kelumpuhan etika dan agama untuk ikut menuntaskan problem-problem sosial. Karena itu, menghadapi krisis multidimensi yang dihadapi bangsa ini, diam-diam ada beberapa kelompok yang menaruh harapan kepada etika dan agama untuk mempertegas perannya dalam membangun kehidupan sosial yang beradab.
Akan tetapi, secara internal keduanya ternyata mengidap beberapa keakutan paradigmatis untuk menjalankan fungsinya secara optimal. Dengan kenyataan ini, maka hal yang harus segera dilakukan adalah pembenahan internal menyangkut paradigma dan cara aplikasi etika dan agama dalam kehidupan masyarakat global saat ini.
Akar penyebab keakutan paradigmatis yang dialami etika dan agama itu ternyata terdapat dalam pola pikir warisan modernitas. Kebenaran universal yang dicita-citakan modernisme serta upaya untuk menciptakan pribadi-pribadi yang otonom malah melahirkan gejala yang bertentangan. Universalitas kebenaran moral justru cenderung mendikte apa yang sesungguhnya dinilai “baik” dan “bermoral”, birokrasi modern menenggelamkan individu dalam privatisme-impersonal yang mengabaikan tanggung jawab serta ikatan emosional kehidupan bermasyarakat.
Sementara itu, agama yang idealnya menjadi rujukan sistem nilai untuk menciptakan kedamaian justru menjadi pemicu konflik sosial berkepanjangan. Akhirnya, kekerasan sosial disakralkan oleh legitimasi religius sehingga yang terjadi sebenarnya adalah demoralisasi agama. Agama kemudian menjadi simbol infantilisme, seperti telah lama diperingatkan oleh Sigmund Freud.
Kehadiran gerakan (dan aliran pemikiran) Postmodernisme dalam pengertian tertentu sebenarnya merupakan kritik pedas terhadap paradoks modernitas yang telah melenceng dari cita-cita pencerahan. Keyakinan akan universalitas kebenaran ternyata menjadi legitimasi untuk melakukan imperialisme nilai kepada masyarakat lain.
Untuk itu, Jurgen Habermas misalnya berusaha mengembalikan modernisme ke dalam cita idealnya semula. Sebagai penerus Mazhab Frankfurt, ia kemudian mengajukan pemaknaan baru terhadap rasionalitas, yakni sebagai suatu ‘adaptasi terus-menerus bahasa terhadap pemahaman yang berkembang makin luas berkat dialog’. Dialog di sini berarti kesediaan untuk saling mengoreksi dan memperluas worldview masing-masing kelompok. Bentuk aplikasi paling nyata dari pemaknaan Habermas terhadap rasionalitas-komunikatif ini dapat ditemukan dalam usaha-usaha untuk melakukan dialog antar-agama yang belakangan cukup ramai dibicarakan.
Menghadapi berbagai paradoks modernitas, maka agama menurut penulis buku ini seharusnya memerlukan suatu lingkaran hermeneutik kritis, yakni suatu penafsiran timbal-balik antara paradigma agama dan modernitas: paradigma modern dikritik oleh agama, dan agama juga perlu dikritik oleh paradigma modern.
Paradigma modern yang cenderung membuat manusia mengelak dari tanggung jawab moral serta kecenderungan materialisme sehingga menghilangkan komitmen terhadap nilai dan mengakibatkan kekosongan batin patut dikritik oleh agama dengan mengajukan alternatif pemecahan untuk memberi makna eksistensial yang lebih dalam bagi kehidupan manusia.
Demikian pula paradigma modern mesti diberi kesempatan untuk memberi kritik kepada agama. Formalisme-dogmatis dalam memaknai wahyu yang mengabaikan makna historisitas dan kebebasan manusia serta simbolisme elemen-elemen keagamaan untuk kepentingan tertentu akan dapat terungkap melalui dialog agama dengan ilmu-ilmu sosial produk modernisme.
Buku ini mengingatkan bahwa etika dan agama adalah sandaran perkembangan peradaban manusia. Karena itu, keduanya harus terus diupayakan untuk dapat menunjukkan perannya secara baik dalam kehidupan, terutama dengan mengembalikan keduanya kepada ‘situasi primordial’ yang mengutamakan kerendahhatian, tanggung jawab, pengorbanan diri, dan kepekaan manusiawi.

Tulisan ini dimuat di Majalah Gamma, 13 Desember 2000.

0 komentar: