Sabtu, 02 Desember 2000

Meruntuhkan Etnosentrisme

Judul Buku: Ras dan Sejarah
Penulis: Claude Lévi-Strauss
Penerjemah: Nasrullah Ompu Bana
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Agustus 2000
Tebal: x + 130 halaman


Globalisasi yang terjadi di berbagai lini kehidupan telah memungkinkan terjadinya pertemuan dan kontak-kontak kultural antar-kebudayaan. Kota-kota metropolis menjadi tempat interaksi manusia yang berasal dari ras yang berbeda. Sayangnya, dalam interaksi sosial sehari-hari, seringkali muncul sentimen-sentimen apriori yang dilekatkan kepada ras tertentu.

Claude Lévi-Strauss, empu antropolog-budaya beraliran strukturalis dari Prancis, dalam buku ini menceritakan sebuah anekdot yang cukup menarik tentang prasangka rasial. Beberapa tahun setelah ditemukannya Amerika, orang-orang Spanyol mengutus komisi penyelidik ke wilayah Antilla Raya untuk meneliti apakah penduduk pribumi memiliki nyawa atau tidak. Namun sayang, para penyelidik kulit putih itu akhirnya tertawan oleh penduduk pribumi. Penduduk pribumi kemudian menenggelamkan mereka, untuk menyelidiki apakah mayat orang-orang kulit putih itu dapat membusuk atau tidak.

Dalam buku ini Lévi-Strauss melakukan gugatan-gugatan ilmiah atas berbagai prasangka kultural yang bercorak rasialis atau etnosentris itu. Gugatan tersebut terutama dilakukan dengan membongkar asumsi-asumsi dasar ilmu antropologi (budaya) yang cenderung meneguhkan rasialisme dan etnosentrisme itu, terutama dengan teori evolusi kebudayaan.

Menurut Lévi-Strauss, ilmu antropologi selama ini telah mengaburkan pengertian biologis ras dan fenomena-fenomena sosiologis dan psikologis kebudayaan manusia. Kebudayaan modern dianggap telah mencapai kemajuan yang begitu pesat, sementara kebudayaan arkais yang disebut primitif dianggap masih berada dalam kategori “barbar”. Kategorisasi kebudayaan arkais tersebut pada dasarnya merupakan reaksi sepihak terhadap kebudayaan lain yang terdengar asing dengan memasukkannya dalam wilayah kehidupan binatang. Atribut “barbar” atau “liar” digunakan seakan-akan untuk mencabut status kemanusiaan mereka.

Etnosentrisme yang berlebihan ini menginginkan pengingkaran realitas berupa keanekaragaman kebudayaan yang melampaui jumlah ras manusia, dengan menumpangnindihkan fakta-fakta biologis dengan fakta-fakta kebudayaan. Padahal, keanekaragaman kebudayaan adalah kenyataan yang tak terbantahkan, yang berada di antara kehendak masyarakat untuk mempertahankan kekhasan kebudayaan yang dimilikinya dan kehendak untuk tetap menjaga keselarasan kebudayaan mereka.

Lévi-Strauss telah mempelajari berbagai bentuk kebudayaan arkais dengan pendekatan antropologi-struktural. Dengan pendekatan ini, Lévi-Strauss merekonstruksi struktur kode-kode kultural yang terdapat dalam kebudayaan-kebudayaan masyarakat arkais sehingga akhirnya ia menemukan hubungan ekuevalensi formal, isomorfisme, dan aturan-aturan transformasi yang terjadi di antara berbagai tingkatan kode yang berbeda.

Dalam penelitiannya itu terungkap bahwa bahkan dalam suatu kebudayaan tertentu pun terdapat suatu diversifikasi internal yang terjadi akibat keberagaman kelompok masyarakat yang membentuk kebudayaan itu sendiri.

Penilaian terhadap kebudayaan lain pada dasarnya tidak dapat dilakukan kecuali bila tetap berada dalam bingkai relativisme. Karena itu, tak aneh bila pada akhirnya penilaian-penilaian semacam itu berakhir dengan sikap yang bercorak superioristik dan tidak lain merupakan wujud intervensi kebudayaan tertentu untuk menghegemoni kebudayaan lain.

Karena itu, Lévi-Strauss menawarkan suatu pembacaan struktural terhadap fenomena kemajuan kebudayaan. Menurut Lévi-Strauss, tak ada kebudayaan yang benar-benar berdiri sendiri. Suatu kebudayaan harus berkoalisi dengan kebudayaan yang lain sehingga ia membangun rangkaian sejarahnya secara kumulatif. Sejarah kebudayaan Eropa setidaknya telah membuktikan hal itu. Eropa, menurut Lévi-Strauss, pada awal masa Renaisans adalah tempat pertemuan dan bercampurnya pengaruh yang beragam: Yunani, Romawi, Jerman, dan Anglo-Sakson; pengaruh Arab dan Cina. Konsekuensinya, tidak ada suatu peradaban dunia dalam pengertian absolut karena ia selalu mencakup koeksistensi kebudayaan.

Dengan mengakui karakter kebudayaan yang demikian, Lévi-Strauss menegaskan bahwa satu-satunya tuntutan yang bermanfaat dalam konteks ini adalah terjadinya keanekaragaman kebudayaan dengan bentuk-bentuk yang merupakan kontribusi setiap individu bagi kemuliaan yang lebih tinggi terhadap orang lain.

Buku ini menarik karena secara cukup baik mematahkan argumen-argumen ilmiah yang selama ini dibangun oleh ilmu antropologi untuk menegaskan etnosentrisme atau superioritas kultural tertentu. Karena itu, pada akhirnya, pesan yang terangkum dari buku ini adalah perlunya pandangan yang setara terhadap berbagai ekspresi kebudayaan dunia. Selanjutnya, kerjasama antar-kebudayaan perlu ditingkatkan karena kemajuan kebudayaan sebenarnya sangat ditentukan oleh fungsi suatu koalisi antar-kebudayaan.

Pemaparan argumen yang didasarkan atas penelitian-penelitian antropologis memang cukup membantu pembaca untuk memahami gagasan Lévi-Strauss. Akan tetapi, bahasanya yang agak rumit—seperti biasa ditemukan dalam buku-buku pemikiran tradisi Prancis, khususnya yang berasaldari aliran strukturalis—mungkin akan membuat pembaca harus sedikit mengerutkan dahi. Akan tetapi, tulisan Jean Pouillon di akhir buku ini cukup membantu mengantarkan pembaca yang masih awam dengan pemikiran Lévi-Strauss.

Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 1 Desember 2000.

0 komentar: