Sabtu, 11 November 2000

Potret Kerakusan Kekuasaan

Judul Buku: Mangir
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Pengantar: Savitri Scherer
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2000
Tebal: xlix + 114 halaman


Ini adalah kisah tentang perlawanan mempertahankan kebebasan melawan pemerintahan teror yang haus kekuasaan. Inilah kisah penggunaan praktik kekerasan dan penghalalan segala cara dalam dunia politik demi meraih tahta dan kekuasaan.
Kisah drama dengan setting sosial masyarakat Jawa Tengah di akhir abad ke-16 ini terjadi setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit di tahun 1527. Runtuhnya Kerajaan Majapahit yang memiliki wilayah kekuasaan yang begitu luas telah mengantarkan masyarakat Jawa khususnya dalam suasana transisi yang serba tak menentu. Beberapa kelompok masyarakat menginginkan menjadi penguasa tunggal di tanah Jawa. Kekuasaan yang tak lagi memusat menghidangkan aroma kekuasaan yang betul-betul memikat semua kelompok. Karena itu, tak heran bila pada akhir abad ke-16 itu, kisah-kisah tentang perebutan kekuasaan senantiasa bersimbah darah, sehingga kemudian terdengar tabu untuk dituturkan.
Drama Mangir ini adalah salah satu versi dari kisah tragis semacam itu. Mangir mengisahkan tentang persaingan menyandang kekuasaan antara Panembahan Senapati, Raja Mataram generasi kedua dalam kurun 1575-1607, dengan Ki Ageng Mangir alias Wanabaya, seorang pemuda dari perdikan Mangir, sebuah perdikan berjarak 20 km ke arah selatan Yogyakarta. Wanabaya adalah seorang pemimpin baru yang lahir dari setting sosial pasca-keruntuhan Majapahit. Jatuhnya Majapahit telah banyak melahirkan pemimpin-pemimpin masyarakat baru yang beberapa di antaranya menghendaki untuk memperluas wilayah kekuasaannya.
Panembahan Senapati bercita-cita untuk menguasai seluruh pulau Jawa. Karena itu, politik ekspansionisme ia terapkan habis-habisan. Dalam drama Mangir ini, digambarkan bagaimana Panembahan Senapati menggunakan cara-cara tertentu untuk menaklukkan perdikan Mangir.
Sementara itu, Wanabaya di desa perdikannya sendiri dikenal sebagai seorang pemimpin muda berbakat yang mampu menjaga keutuhan perdikan Mangir dari jamahan politik ekspansionis Panembahan Senapati. Tawaran Panembahan Senapati agar rakyat perdikan Mangir menyerah dan membayar upeti kepada Mataram ditolak mentah-mentah. Upaya penaklukan melalui penyerangan pasukan ternyata juga tidak berhasil, karena Wanabaya cukup cakap dalam mengatur strategi perang.
Apa yang kemudian dilakukan Panembahan Senapati untuk memuaskan nafsu kekuasaannya adalah dengan mengutus puterinya sendiri sebagai telik sandi (mata-mata) untuk mengelabuhi Wanabaya. Bersama rombongan telik sandi lainnya dengan dipimpin oleh Tumenggung Mandaraka alias Ki Juru Martani, Puteri Pambayun menyamar sebagai penari desa yang berkeliling mencari nafkah.
Nyatanya, Wanabaya benar-benar termakan dengan umpan Panembahan Senapati itu. Wanabaya akhirnya jatuh cinta pada Puteri Pambayun, seperti juga Puteri Pambayun mencintai Wanabaya. Setelah melewati perdebatan panjang antara Wanabaya dengan beberapa demang dan kawan setianya, Baru Klinting, akhirnya secara resmi Wanabaya memperistri Puteri Pambayun.
Akan tetapi, meski di antara keduanya saling mencintai, ternyata baik Puteri Pambayun maupun Wanabaya masih dapat dikelabui akal bulus Panembahan Senapati. Atas nasihat Tumenggung Mandaraka, menjelang lahirnya bayi pasangan Wanabaya dan Puteri Pambayun, diundanglah Wanabaya bersama istrinya ke Mataram untuk pertemuan keluarga. Baru Klinting, sahabat karib Wanabaya, sudah memperingatkan risiko undangan itu.
Atas dasar ini, maka Wanabaya bersama Baru Klinting kemudian menyusun langkah antisipatif bila Panembahan Senapati berniat jahat. Seluruh pasukan perdikan Mangir dikerahkan mengawal rombongan Wanabaya dan istrinya ke Mataram.
Tentu saja Panembahan Senapati bersama Tumenggung Mandaraka telah mempersiapkan jebakan dengan sebaik-baiknya. Pasukan Wanabaya berhasil dipecah selama perjalanan dengan tipuan penyambutan para penari Mataram. Di akhir kisah, tanpa basa-basi Wanabaya dibunuh, ditikam keris dan tombak prajurit Mataram.
Dalam kisah tragis tersebut, jelas Panembahan Senapati telah mengabaikan fakta bahwa Wanabaya adalah menantunya sendiri. Dalam hal ini, Panembahan Senapati konsisten dengan obsesi tunggalnya untuk menaklukkan perdikan Mangir, apapun tumbal yang harus dipersembahkan. Sesuai dengan kata-kata Panembahan Senapati: “Mataram menjanjikan mati, bagi siapa saja pembikin lemah, retak dan pecah.” Ketika ditanya oleh bapaknya, Ki Ageng Pamanahan: “Apakah seorang raja tak perlu jadi seorang bapa bagi anaknya?”, Panembahan Senapati menjawab: “Dia bapa tunggal dari anaknya yang tunggal: negara”.
Kisah Mangir yang terjadi di akhir abad ke-16 ini baru diangkat dalam bentuk karya sastra pada akhir pemerintahan Raja Mataram Amangkurat I (1645-1677) dalam buku Babad Tanah Jawi, terpaut sekitar seratus lima puluh hingga dua ratus tahun dari waktu kejadiannya. Karena itu, kata Pram dalam pengantarnya, ada banyak versi yang beredar dalam masyarakat, termasuk juga usaha-usaha penghalusan cerita melalui sanepa atau kiasan yang banyak dijumpai dalam Babad Tanah Jawi. Ini berkaitan dengan ketergantungan para pujangga zaman dahulu terhadap kekuasaan politik kerajaan.
Usaha Pram dalam buku ini dengan mengangkat tradisi lisan yang berkembang di masyarakat Jawa tentang kisah Mangir patut dihargai. Selama ini, kisah Mangir hanya menjadi kisah yang cukup tabu untuk dipentaskan kepada khalayak umum, karena seperti mengandung unsur subversif terhadap mainstream kekuasaan.
Letak penting kisah ini akan semakin nyata bila dilihat dari kacamata antropologi politik khas masyarakat Jawa. Seperti disinggung oleh Savitri Scherer dalam pengantar buku ini, proses suksesi dan regenerasi politik serta kekuasaan dalam masyarakat Jawa ternyata selalu gagal berjalan tanpa konflik yang tajam. Pergantian kekuasaan selalu diperagakan dengan kekerasan, atas dalih pelanggaran tata-krama sosil menurut definisi penggenggam kekuasaan. Konsekuensinya, proses pendidikan politik antar-generasi untuk menghasilkan generasi politik yang tangguh dan bervisi jauh ke depan selalu tertunda.
Drama Mangir yang ditulis Pram ketika ia masih berstatus sebagai tahanan politik di Pulau Buru ini patut diapresiasi bersama untuk menyingkap warisan sejarah yang bisa jadi masih tidak jauh berbeda dengan realitas sosial saat ini, atau, setidaknya masih membayangi dalam nalar politik masyarakat Indonesia sehari-hari.

0 komentar: