Selasa, 17 Oktober 2000

Usaha “Mati-Matian” Memahami Gus Dur


Judul Buku: Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran & Gerakan Gus Dur
Penulis : Tim INCReS
Penerbit: PT Remaja Rosdakarya kerjasama dengan INCReS, Bandung
Cetakan: Pertama, Agustus 2000
Tebal: xxviii + 315 halaman

Judul Buku: Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid
Penulis : Ahmad Syafi`i Ma`arif, Franz Magnis-Suseno, Andree Feillard, dkk.
Editor: Ahmad Suaedy dan Ulil Abshar-Abdalla
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2000
Tebal: xviii + 212 halaman


Sisi kontroversial Gus Dur telah banyak mengundang ketertarikan berbagai pihak untuk mengkajinya. Dua buku ini adalah ‘buah’ yang tumbuh dari rasa ketertarikan, kekaguman, dan mungkin juga kejengkelan terhadap sosok kontroversial Gus Dur itu. Buku pertama dihimpun secara khusus oleh Tim INCReS (Institute of Culture and Religion Studies)—sebuah komunitas kaum muda NU di Bandung—melalui wawancara dengan sejumlah tokoh untuk membedah sosok Gus Dur dari berbagai sisi: agama, politik, kebudayaan, ekonomi, gender, dan tasawuf. Buku kedua dihimpun dan diterbitkan oleh LKiS (Lembaga Kajian islam dan Sosial)—sebuah komunitas anak muda NU di Yogyakarta—dengan meminta tulisan secara khusus kepada orang-orang yang telah ditentukan oleh redaksi LKiS.

Upaya untuk membedah sosok Gus Dur dalam buku yang pertama disajikan secara cukup utuh. Dengan pengantar prawacana oleh K.H. A. Mustofa Bisri dan pascawacana oleh Sinta Nuriyah Rahman (istri Gus Dur), buku ini seperti hendak mengungkapkan sisi-sisi pribadional kehidupan Gus Dur, yang dalam bahasa Tim INCReS disebut jejak-jejak antropologis Gus Dur. Melalui wawancara dengan beberapa tokoh yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing, sosok Gus Dur ditampilkan dan dibedah secara mendalam—ditambah lagi dengan pengantar tentang riwayat pribadi Gus Dur plus pemetaan pemikiran Gus Dur secara ringkas. Bagi kebanyakan penulis yang memiliki kedekatan pribadi secara khusus dengan Gus Dur, pembaca akan menemukan pengalaman-pengalaman pribadi narasumber dengan Gus Dur yang mengagumkan serta cukup mampu memberikan latar dan landasan antropologis bagi sikap dan laku kontroversial Gus Dur.

Di antara narasumber yang diwawancarai yang kebanyakan hasilnya disajikan dalam bentuk esai ini adalah: Djohan Effendi, Franz Magnis-Suseno, Th. Sumartana, MA. Sahal Mahfudz, Muhammad AS Hikam, J. Kristiadi, Fachry Ali, Sarwono Kusumaatmadja, Bondan Gunawan, Simuh, dan Said Aqiel Siradj.

Dalam pengantarnya, K.H. A. Mustofa Bisri mengatakan bahwa kehadiran Gus Dur yang kontroversial, apalagi setelah ia naik sebagai Presiden RI, merupakan ‘pelajaran’ atau ‘pengajaran’ paling keras dari Allah kepada bangsa Indonesia yang tak kunjung bisa berbeda pendapat dan bersikap adil. Dalam perspektif Gus Mus, sisi kontroversial Gus Dur menyatakan bahwa bagi Gus Dur perbedaan pendapat adalah sesuatu yang alamiah. Dobrakan pemikiran Gus Dur yang nyeleneh tiada lain adalah untuk mendidik masyarakat bersikap demokratis (hlm. v-ix).

Keberanian Gus Dur untuk berbeda itu menurut Sarwono Kusumaatmadja didasarkan atas sikap percaya diri yang amat besar yang dimilikinya (hlm. 185), sehingga tidak aneh bila Gus Dur dapat melampaui simbol-simbol agama (Islam) guna meneguhkan visi humanis yang dimilikinya (hlm. 87, 56). Dengan semua itu, Gus Dur dianggap sebagai seorang pembaru di bidang agama (hlm. 96). Meski demikian, Gus Dur tetap berada dalam kerangka fiqh, karena yang dilakukan Gus Dur terutama adalah pembaruan metodologi dalam memahami agama (hlm. 123).

Dalam buku yang kedua, sosok kontroversial Gus Dur dibaca terutama dalam konteks politik dengan berbagai paradigma ilmiah. Greg Barton misalnya pertama-tama melakukan pemetaan terhadap pemikiran Gus Dur, kemudian melakukan penafsiran terhadap tindakan kontroversial Gus Dur, seperti komentar Gus Dur terhadap kasus Aceh, Timor Timur, kerusuhan di Kalbar, kasus Israel, dan sebagainya (hlm. 84-120).

Dalam membaca teks-teks Gus Dur—dalam pengertian fenomena Gus Dur secara umum—para penulis di buku kedua ini—juga pada buku pertama—percaya penuh bahwa pada aras komitmen terhadap nilai sebenarnya tidak ada masalah pada sosok Gus Dur. Dengan asumsi demikian, penulis-penulis di buku ini rata-rata tinggal mencari penjelasan yang dapat memuaskan mereka untuk keluar dari sisi kontroversial sosok Gus Dur.

Franz Magnis-Suseno misalnya mengatakan bahwa 'apapun yang dilakukan Gus Dur, saya mempercayai komitmen utamanya kepada kemajemukan, persatuan, keadilan, dan demokrasi' (hlm 28). Shalahuddin Wahid, saudara kandung Gus Dur, juga mengatakan bahwa 'segala catatan yang serba kontroversial tentang Gus Dur dan sikap inkonsistensinya, seperti diuraikan di atas, tetap tidak mengurangi self image atau jati dirinya sebagai salah satu tokoh yang memperjuangkan terwujudnya demokrasi di Indonesia' (hlm. 61).

Karena itu, pembaca yang mengharapkan suara kritis terhadap sosok kontroversial Gus Dur dari kedua buku ini mungkin akan kecewa—meski tentu tidak semuanya demikian. Secara umum kedua buku ini hanya menghimpun upaya para pakar dan sahabat Gus Dur untuk keluar dari ketidakmengertian mereka terhadap Gus Dur dengan tetap berpegang pada prinsip berbaik sangka.

Akan tetapi, tidak berarti kedua buku ini tidak layak diapresiasi. Dari buku kedua, redaksi LKiS menawarkan dua kemungkinan yang bisa dikombinasikan dalam membaca teks-teks pembaca Gus Dur. Pertama, dengan mendeteksi pandangan dunia (ideologi) para pembaca teks Gus Dur, dan kedua, dengan mencari "suara-suara yang terpendam"—menurut istilah Roland Barthes—yang terlupakan dalam proses pembacaan itu (hlm. ix). Selain itu, kedua buku ini tentu juga cukup mampu menyajikan kisah-kisah pribadi Gus Dur secara lebih terbuka kepada publik, sehingga dapat dijadikan pelajaran berharga bagi seluruh komponen bangsa ini.

Tulisan ini dimuat di www.detik.com 16 Oktober 2000.

0 komentar: