Rabu, 13 September 2000

Pesan Inklusif dari Shambala

Judul Buku: Shambala: Fajar Pencerahan di Lembah Kesadaran
Pernulis: Anand Krishna
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, Maret 2000
Tebal: 230 + viii halaman


Teror kekerasan menyebar di mana-mana. Kerusuhan, tawuran, atau bahkan perang adalah berita biasa yang tampil setiap hari. Konflik antar-agama tak kunjung reda. Bahkan, ada ajakan dan seruan untuk “berperang” di jalan Tuhan, demi agama.
Betapa kehidupan sudah dikotori oleh tangan manusia sendiri. Di tengah kemajuan teknologi yang kian pesat, hidup spiritual manusia kian terabaikan tak terisi. Kesadaran spiritual manusia kini entah terisi oleh apa; mungkin kesadaran material telah meluap sedemikian rupa. Rasa terasing dan putus asa menghadapi kehidupan yang belakangan semakin tampak tidak bersahabat telah memutuskan rasa kemanusiaan terhadap sesama, sehingga tindak kekerasan lebih terasa memungkinkan untuk muncul ke permukaan.
Di tengah situasi yang demikian, ada beberapa pemikir yang mencoba meramalkan bahwa abad ke-21 adalah abad agama. Andre Malraux, seorang filsuf Perancis meramalkan bahwa abad ke-21 adalah era kebangkitan agama, atau kalau tidak demikian, dunia tidak akan dapat disaksikan lagi oleh manusia. Pertanyaannya adalah: keberagamaan yang macam apa yang nanti akan muncul? Kebanyakan orang sudah merasa kecewa bahwa selama ini agama ternyata tidak menampakkan wajahnya yang ramah. Berbagai tragedi konflik sosial bermotif agama seperti meneriakkan ancaman agama sekaligus bernada pembetulan bagi suatu perseteruan suci, sehingga seruan kemanusiaan agama teralpakan.
Secara teoritis, ada tiga model keberagamaan yang berintikan perbedaan tingkatan bagi penghayatan keimanan atau religiusitas. Tingkat pertama terwujud dalam bentuk pengabdian atau pembelaan secara fisik terhadap agama, seperti aspek ritual, dan sebagainya. Tingkat kedua berupa pembelaan kebenaran keimanan melalui suatu dialog rasional dan terbuka di antara pemeluk keimanan yang berbeda. Tingkat ketiga adalah penghayatan yang sudah tiba di jenjang yang melampaui formalitas agama-agama. Pada tingkat ini, seorang pemeluk keimanan tertentu telah menemukan the common vision—dalam istilahnya Huston Smith—yang menyatukan pesan berbagai tradisi spiritualitas. Spiritualitas keagamaan sudah tiba pada pemahaman dan rasa kesadaran akan persaudaraan manusiawi, sehingga sekat formalitas agama-agama sudah tidak berfungsi lagi.
Model penghayatan keimanan yang ketiga inilah yang dalam buku bagus karya terbaru Anand Krishna ini berusaha untuk disosialisasikan. Dalam buku ini, Anand Krishna mengajak khalayak pembaca untuk bersama-sama kembali merenungkan hakikat spiritualitas keagamaan dalam konteks persaudaraan manusia membangun peradaban dunia yang lebih baik dan penuh kedamaian.
Untuk menyampaikan pesan ini, Anand Krishna memilih bentuk fiksi, yakni sebuah alur cerita petualangan seorang bernama Joseph yang beragama Kristen ke India. Di awal cerita dikisahkan bagaimana hancurnya perasaan Joseph ketika mengetahui bahwa kekasihnya, Dewi, yang beragama Islam, bunuh diri lantaran hubungan mereka tidak disetujui oleh orang tua Dewi. Surat terakhir dari Dewi sebelum ia mengakhiri hidupnya menghadirkan pertanyaan-pertanyaan yang bagi Joseph menggugah kesadaran keberagama-annya. Joseph penasaran. Dan, selama perjalanannya ke India itulah Joseph masuk ke dalam suatu petualangan spiritual yang pada akhirnya mengantarkan Joseph ke Shambala.
Shambala bagi Anand Krishna adalah suatu tempat di pegunungan Himalaya yang menjadi semacam ‘Jantung Dunia’ (hal. 75). Dalam berbagai literatur, Shambala digambarkan sebagai tempat yang memungkinkan dialaminya suatu pengalaman spiritual lintas agama. James Redfield misalnya, dalam novel terbarunya berjudul The Secret of Shambala yang merupakan lanjutan dari novel bestseller sebelumnya, yakni The Celestine Prophecy dan The Tenth Insight menyatakan bahwa Shambala adalah the synthesis of all religions. Di Shambala, pesan damai agama-agama terawat dengan baik. Shambala mengusung pesan inklusif agama-agama.
Selama di Shambala itulah, Joseph kemudian menemukan sekaligus mengalami fajar pencerahan yang mengantarkan pemahaman Joseph pada suatu kesadaran keberagamaan yang inklusif, melampaui formalitas agama-agama—suatu model keberimanan yang peduli terhadap sesama dan alam raya. Agama bagi Joseph adalah suatu jalan yang membentang untuk mengantarkan manusia pada Tuhan, yang kesadarannya tumbuh dari pengalaman individual (eksistensial) (hal. 64). Religiusitas baru akan tumbuh ketika individu-individu mengalami dan terlibat dengan pesan terdalam yang dipancarkan spiritualitas tersebut. Dan religiusitas itu memancar dari setiap diri seseorang. Begitulah halnya dengan Joseph, ketiga tragedi cinta yang menimpanya telah menghalau kesadaran Joseph kepada suatu kesadaran spiritual (yang inklusif). Sebaliknya, religiusitas yang dihayati tanpa dialami dan tanpa terlibat di dalamnya hanya akan melahirkan tafsir-tafsir keagamaan yang kaku, dan cenderung melupakan pesan damai agama (hal. 170).
Tuhan itu Satu Ada-Nya. Agama-agama yang berbeda itu hanyalah jalan untuk menuju Tuhan yang Satu Ada-Nya (hal. 93). Pandangan semacam ini akrab terdengar dari pemikiran khas Filsafat Perennial. Dalam perspektif Filsafat Perennial, Tuhan adalah ibarat cahaya yang ditangkap dalam pelbagai warna oleh manusia, sehingga melahirkan beragam agama. Sementara itu, hakikat Agama tetaplah satu. Hanya karena partikularitas historis sajalah agama lahir dengan sebutan yang bermacam-macam.
Kesadaran semacam inilah yang terasa mulai hilang dari para pemeluk agama-agama. Hal ini mungkin bisa sedikit dimaklumi, ketika agama secara sosiologis mengalami proses reifikasi atau pengentalan, maka spirit suci agama menjadi tertimbun simbol-simbol yang dibakukan oleh pemeluk agama itu sendiri.
Kehadiran buku ini selayaknya disambut baik oleh masyarakat di Indonesia, yang pada dasawarsa terakhir kerap mengalami tragedi konflik sosial berlatar perbedaan agama. Anand Krishna, pecinta dunia mistik keturunan India ini seperti menyerukan rasa keprihatinannya terhadap berbagai tragedi itu, untuk kemudian mengingatkan pentingnya mengedepankan model spiritualitas-antropomorfis-humanis untuk membangun peradaban manusia di milenium ketiga. Visi perennial yang berusaha menegaskan the common vision dari agama-agama diangkat setinggi-tingginya melalui dialog para tokoh yang terlibat dalam rangkaian cerita ini.
Model keberagamaan sufistik yang inklusif inilah sebenarnya patut dijadikan model keberagamaan di era mendatang. Tragedi kemanusiaan harus diakhiri. Rasa persaudaraan harus dijunjung tinggi. Agama harus berpihak kepada manusia. Pemahaman etis yang seperti inilah yang oleh Hans Kung disebut sebagai “Etika Global” agama-agama, yang dilandasi pada suatu kerinduan dan kebutuhan konkret terhadap dunia yang penuh damai. Upaya untuk menghidupkan kembali pesan sufistik-inklusif dari agama-agama juga dilakukan dalam rangka menghindari politisasi terhadap agama yang dapat menyuburkan sikap fanatis, intoleran, dan eksklusif. Sebab, kalau mau lebih dipikirkan secara mendalam, sikap-sikap ideologis terhadap agama tersebut sebenarnya adalah cara lain bagi pengebirian religiusitas agama itu sendiri.

0 komentar: