Jumat, 22 September 2000

Mengatasi Dilema Tradisi

Judul Buku: Post-Tradisionalisme Islam
Penulis: Muhammad Abed Al Jabiri
Penerjemah: Ahmad Baso
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2000
Tebal: lviii + 246 halaman


Sejarah menurut Hegel seperti aliran sungai yang terus bergerak secara dialektis dengan dibasuh bebatuan dan kerikil yang terdapat di dalamnya. Demikian pula halnya dengan sebuah gugus pemikiran. Setiap pemikiran yang ditampilkan di pentas sejarah selalu akan berhadapan dengan realitas faktual di lapangan sehingga wajah pemikiran itu sendiri senantiasa menunjukkan watak dinamisnya.

Apalagi bila pemikiran itu mengapung dalam sepetak ruang yang kehilangan batas-batasnya yang pasti. Proses globalisasi telah meruntuhkan sekat-sekat sosio-kultural sehingga sebuah gugus pemikiran dapat dengan mudah berpindah ruang dari suatu lingkungan budaya tertentu ke lingkungan budaya yang lain.

Tak jarang perjumpaan gugus pengetahuan yang pada dasarnya merupakan bagian dari sistem kebudayaan suatu masyarakat itu mengalami suatu problem yang cukup akut. Salah satu contoh yang dikaji secara cukup tuntas adalah permasalahan yang dikaji dalam buku ini: problem tradisi (Islam) dan modernitas (Barat).

Diskursus tentang masalah tradisi dan modernitas dalam wacana keislaman Arab kontemporer saat ini mendapatkan ruang yang cukup luas. Bermula dari munculnya kesadaran akan kemunduran yang menimpanya pada akhir dekade 1960, kaum intelektual Islam-Arab kemudian merumuskan suatu pertanyaan mendasar untuk memberikan jawaban sekaligus jalan keluar yang memuaskan atas persoalan ini: bagaimana sebaiknya menyikapi tradisi secara tepat sehingga Islam dapat mengalami kemajuan dan kebangkitan?

Muhammad Abed Al Jabiri adalah salah seorang intelektual terkemuka kelahiran Maroko yang terlibat secara intens dalam permasalahan ini. Penyikapan terhadap persoalan ini menurut Al Jabiri secara umum membagi umat Islam dalam tiga kelompok, yaitu kelompok yang menyerukan untuk mengadopsi modernitas Barat (disebut kelompok “modernis”), kelompok yang mengembangkan gagasan tentang orisinilitas dan menyerukan untuk kembali berkaca kepada masa kejayaan Islam (disebut kelompok “tradisionalis”), dan kelompok yang berusaha mengambil sisi yang terbaik dari unsur tradisi Islam dan modernitas Barat (disebut kelompok “eklektik”).

Akan tetapi, menurut Al Jabiri persoalan tradisi (Islam) dan modernitas (Barat) sebenarnya bukan sekedar persoalan pilihan, seperti yang tergambar dalam tiga kelompok di atas. Al Jabiri sendiri menduga kuat adanya semacam “keterbelahan struktural” umat Islam dalam menyikapi tradisi dan modernitas. Umat Islam, dalam pengamatan Al Jabiri, masih bersikap ambigu dalam menyikapi persoalan ambiguitas tradisi dan modernitas. Beberapa sektor kehidupan umat Islam telah dirasuki semangat kehidupan modern (Barat) yang menjunjung tinggi nilai perubahan dan pembaruan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Sementara, tradisi lokal (Islam) dipegang kuat-kuat dengan diam-diam mengusung semangat anti-perubahan. Dalam bahasa Al Jabiri: Kita membiayai pembangunan sektor-sektor “modern” dengan menopang dan memperluasnya atas nama ‘modernisasi’, sebagaimana halnya kita juga mengeluarkan biaya besar-besaran untuk pengembangan sektor-sektor “tradisional” demi kelestarian hidupnya atas nama “kemurnian identitas” dan menjaga “kepribadian nasional”.

Menghadapi ambiguitas sikap yang dilematis dan ambivalen ini, Al Jabiri menawarkan suatu metode pembacaan kritis terhadap tradisi. Metode pembacaan yang dikemukakan Al Jabiri pertama-tama menempatkan pemikiran sebagai suatu sistem yang utuh, sehingga penelusuran yang dilakukan bersifat struktural dan berusaha merambah ke berbagai relung warisan tradisi—tanpa menyisakan ruang yang terabaikan.

Sesudah itu, Al Jabiri menegaskan bahwa dalam pembacaan terhadap tradisi, penentuan otoritas mesti dipastikan terlebih dahulu. Bagi Al Jabiri, otoritas seharusnya berada pada si pembaca tradisi. Pandangan ini hendak meruntuhkan otoritas tradisi yang menghegemoni model pembacaan umat Islam atas tradisi. Selama ini, tradisi disikapi secara tidak kritis dan dibaca dalam kerangka pembacaan yang bercorak instrumentalis: mencari-cari suatu legitimasi historis dan mengabaikan elemen kritis dari tradisi. Karena itu, untuk mengalihkan otoritas tradisi dari tradisi itu sendiri kepada si pembaca tradisi, maka si pembaca tradisi harus membebaskan diri dari asumsi-asumsi apriori terhadap tradisi untuk kemudian menimba makna teks (tradisi) dari teks itu sendiri.

Selain itu, ada tiga konsep kunci yang diajukan Al Jabiri dalam rangka membaca tradisi, yakni historisitas, obyektivitas, dan kontinuitas. Historisitas berarti bahwa tradisi diletakkan dalam kerangka sejarah tertentu. Secara lebih spesifik, Al Jabiri mengemukakan bahwa dalam tradisi Islam terdapat suatu kerangka rujukan historis dan epistemologis tertentu yang mematok wilayah historitas tradisi dalam wilayah yang sempit. Masa pembukuan dan pembakuan (dikenal dengan masa tadwin) pada abad ke-2 H atau abad ke-8 M merupakan “standar” pembacaan tradisi yang masih mendominasi nalar Islam saat ini. Untuk itu, kerangka historisitas yang ditawarkan Al Jabiri dalam hal ini juga berarti ajakan untuk membaca masa tadwin itu dalam konteks kesejarahannya.

Adapun obyektivitas berarti bahwa tradisi harus dikaji secara kontekstual pada dirinya sendiri, dengan melepaskannya dari kondisi kekinian. Pada tahap ini, pembacaan atas tradisi berada pada aras teoritis dan kognitif dengan menanganinya secara kritis baik dari aspek epistemologis, sosiologis, maupun historis.

Kontinuitas berarti bahwa pada titik akhir pembacaan atas tradisi mengharuskan si pembaca untuk berpikir dengan dasar rasional, yakni dengan menempatkan tradisi dalam konteks kehidupan konkret saat ini. Ini juga berarti otoritas teks sepenuhnya diserahkan kepada si pembaca untuk menghasilkan suatu model pembacaan yang kreatif dan produktif (tidak semata-mata repetitif).

Dari uraian di atas terlihat semangat besar Al Jabiri untuk melampaui dilema tradisi dengan berusaha menjadikan tradisi sebagai sesuatu yang produktif, bukannya menjadi belenggu-historis yang menghambat perubahan. Al Jabiri sendiri merasa kecewa dengan penyikapan umat Islam selama ini terhadap tradisi dengan hanya menjadikan tradisi sebagai senjata ideologis dalam melakukan resistensi terhadap invasi kebudayaan luar (Barat).

Tawaran metodologis yang diajukan Al Jabiri tersebut di atas jelas berusaha menyematkan sikap kritis-produktif dalam membaca tradisi. Ini berarti bahwa pada dasarnya Al Jabiri tetap memberi makna dan posisi penting tradisi dalam khazanah pemikiran Islam. Akan tetapi, tradisi itu harus mampu mengantarkan kepada suatu kearifan sejarah yang mampu memperlebar cakrawala berpikir umat Islam saat ini.

Bila diamati secara cermat, pemikiran Al Jabiri dalam buku ini terlihat memadukan beberapa metodologi pembacaan dari kalangan pemikir postmodernisme. Penelusuran arkeologis dan pembacaan yang bercorak dekonstruktif terhadap tradisi (seperti yang diterapkannya ketika mengkaji masalah hubungan antara bahasa dan pemikiran dalam Islam) jelas memperlihatkan kuatnya pengaruh Michel Foucault dan Jacques Derrida yang berasal dari tradisi post-strukturalisme Perancis. Hal ini tidak cukup mengherankan karena Al Jabiri memang dibesarkan dalam tradisi Arab Maghribi (Maroko) yang sangat apresiatif terhadap pemikiran Perancis kontemporer.

Buku ini menjadi cukup layak untuk dibaca dan dikritisi bersama terutama karena kontribusi metodologisnya yang cukup kental. Selama ini dilema yang dihadapi umat Islam dalam membaca tradisi adalah kurangnya kerangka metodologis yang cukup memadai yang dapat menempatkan tradisi dalam makna yang positif dan produktif. Banjir pemikiran yang berasal dari berbagai kelompok kebudayaan masyarakat lain harus diwaspadai agar tidak menggerogoti otentisitas khazanah budaya umat Islam, sementara umat Islam juga harus berhati-hati dengan seruan untuk kembali kepada tradisi yang akhirnya malah dapat menjebak umat Islam dalam suasana ketertutupan yang pengap. Melalui tawaran Al Jabiri inilah, setidaknya, umat Islam menemukan alternatif penyelesaian. Wallahu a`lam.

0 komentar: