Jumat, 30 Juni 2000

Ketika Ruh Agama Meniup Api Kekerasan

Judul Buku: Spiral Kekerasan
Penulis : Dom Helder Camara
Penerbit: INSIST Press bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Maret 2000
Tebal: xxv + 88 halaman


Terbentuknya pemerintahan baru hasil SU MPR Oktober 1999 yang berhasil memilih Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati Soekarno Putri sebagai Wapres ternyata tidak serta-merta mampu menghilangkan ancaman kehancuran bangsa. Malahan, belakangan terbukti bahwa ancaman besar itu masih cukup kuat. Gejala praktik KKN di lingkungan pemerintah dan berbagai aksi kekerasan di tingkat masyarakat bawah merupakan sejumlah indikator paling jelas yang tentu saja menjadi bagian dari ancaman itu.
Satu hal yang menarik dan kelihatan paradoksal dalam era reformasi ini adalah masih menguatnya praktik politik kekerasan di mana-mana, mulai dari tingkat elit politik hingga tingkat masyarakat luas. Politisasi berbagai kasus kronis yang sedang ditangani menunjukkan rendahnya moral para elit politik, yang dalam pengertian tertentu tidak bisa lepas dari pengertian politik kekerasan itu sendiri. Sementara itu, berbagai aksi massa yang bermaksud menuntut percepatan proses reformasi dan pembenahan kehidupan bangsa malah juga terjebak dalam tindak kekerasan. Lihatlah misalnya kasus Laskar Jihad di Maluku atau ‘pendudukan’ kantor Jawa Pos oleh Banser. Keduanya semula memang bertolak dari niat baik untuk segera menyelesaikan praktik-praktik kekerasan politik yang semakin meluas. Akan tetapi, tak dapat disangkal bahwa ternyata yang muncul kemudian adalah juga praktik politik kekerasan.
Itulah yang oleh Dom Helder Camara disebut dengan spiral kekerasan (spiral of violence). Tokoh gereja dan pekerja sosial dari Brazil ini menjelaskan bahwa praktik kekerasan tidak efektif bila dilawan dengan bentuk kekerasan yang lain. Perlawanan kekerasan dengan kekerasan hanya akan semakin merawat spiral kekerasan yang akan memiliki efek jangka panjang dan mengenaskan.
Menurut Camara, kekerasan bersumber terutama dari praktik ketidakadilan, yang menimpa sekaligus pada level individu, kelompok, atau negara. Ketidakadilan melahirkan kondisi sosial yang bersifat sub-human, yaitu kondisi hidup di bawah standar untuk hidup sebagai manusia normal yang selayaknya. Kondisi ini membuat masyarakat semakin terkungkung dalam struktur penindasan yang kian akut. Masyarakat kemudian tidak sabar. Lahirlah pemberontakan. Aksi-aksi massa dan protes menentang ketidakadilan terjadi di mana-mana. Inilah bentuk kekerasan yang kedua, yang merupakan wujud turunan dari kekerasan dengan bentuk ketidakadilan itu.
Giliran yang terakhir, lahirlah kekerasan yang ketiga: represi penguasa. Menghadapi protes massa yang semakin meluas, tak ada pilihan lain bagi penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya kecuali dengan menekan mereka dengan cara-cara kekerasan melalui lembaga-lembaga negara. Militer dikerahkan, pikiran-pikiran kritis dibungkam, dan hak-hak politik dikebiri. Akhirnya, kekerasan justru semakin mencekam.
Ketiga bentuk kekerasan yang bermula dari praktik ketidakadilan itu terus berputar seperti tak menghendaki titik akhir. Represi penguasa, bentuk ketiga dalam teori kekerasan ini, menurut Camara, masih akan kembali melahirkan kekerasan seperti semula. Represi penguasa bagi Camara akan semakin memperparah praktik ketidakadilan itu sendiri, sehingga gelombang protes massa semakin meningkat. Tentu saja, sebagai konsekuensinya, fenomena kekerasan praktis akan meningkat pula (hal. 30-38).
Diilhami dengan pesan-pesan kudus agama, Camara kemudian merumuskan suatu formulasi konseptual bagi upaya melawan kekerasan tidak dengan cara kekerasan. Keberanian untuk menghadapi dan melawan ketidakadilan adalah langkah awal bagi usaha memutus benang kusut spiral kekerasan ini. Ketidakadilan dilawan dengan langkah-langkah pencerdasan dan pemberdayaan masyarakat sehingga dapat terbentuk komunitas yang kuat dan memiliki daya tawar yang tinggi. Inilah bentuk pendidikan dengan penyadaran (conscientization) yang bertolak dari prinsip-prinsip kemanusiaan dan mengusahakan suatu transformasi etik yang universal.
Titik tolak agama sebagai landasan yang mengilhami Camara dalam usaha memadamkan api kekerasan ini menjadi bagian yang cukup menarik dari teori Spiral Kekerasan Camara tersebut di atas. Dalam berbagai kasus di Indonesia, seperti juga di berbagai penjuru dunia yang lain, agama memang seringkali tidak mampu memberikan tanggapan aktif-strategis terhadap berbagai tindak kekerasan. Bahkan sebaliknya, agama turut punya andil yang tidak kecil dalam memproduksi kekerasan bentuk kedua, yakni dalam rangka resistensi terhadap ketidakadilan dan represi penguasa.
Di dalam sistem negara kapitalis, menurut Camara, agama kesulitan untuk membawa prinsip-prinsip indah ajarannya ke dalam wilayah praksis yang lebih konkret dengan dalih ketakutan akan kooptasi terhadap agama itu sendiri. Sementara di dunia sosialis, agama dipandang sebagai kekuatan asing yang secara naif justru mengasingkan manusia (hal. 56).
Dengan fenomena yang sedemikian itu, Camara dengan penuh optimisme menyerukan agar para kaum agamawan berusaha keras untuk ‘menemukan kembali teks-teks suci yang mengkhotbahkan kebenaran yang dapat mendorong pembangunan manusiawi bagi kaum terbuang di dunia modern ini dan menggugah nurani kaum kaya’ (hal. 75). Prinsip keadilan sekaligus perdamaian kembali dirayakan untuk menghidupkan semangat bahasa universal pesan ilahi dan mengingatkan visi humanis dari pesan-pesan ilahi itu. Seruan ini menurut Camara amat perlu ditekankan untuk menghindari ‘kolonialisme internal’, baik yang dilakukan oleh sekelompok unsur masyarakat dalam suatu negara atau bahkan kelompok agama tertentu.
Kaum agamawan, terutama kaum agamawan muda yang memiliki semangat aksi yang cukup tinggi, harus melakukan penafsiran ulang terhadap ajaran-ajaran agamanya dalam rangka upaya ikut menyelesaikan lingkaran-setan kekerasan ini. Dengan ajaran-ajaran agama itu, kaum agamawan harus mampu mengajak orang lain untuk ikut berpikir tentang fenomena kekerasan di sekitarnya sehingga akhirnya mereka harus mengambil posisi pemihakan tertentu.
Gagasan-gagasan Camara tentang teori Spiral Kekerasan ini amat menarik untuk dikaji lebih jauh, terutama karena pengandaian dasar yang diasumsikan Camara sejak awal: bahwa agama semestinya dapat mendorong bagi suatu usaha penciptaan kondisi manusia yang lebih baik tanpa harus terjebak ke dalam praktik-praktik kekerasan. Selain itu, teori Spiral Kekerasan Camara juga memperlihatkan corak teori kekerasan yang bersifat induktif-analitik, sehingga lebih lugas dibaca dan dipahami, ketimbang teori kekerasan Johan Galtung yang bersifat deduktif atau teori kekerasan Erich Fromm yang bertolak dari psiko-sosial. Melalui analisis sosiologis-historis dalam buku ini, Camara dapat memperlihatkan variabel-variabel historis yang berperan dalam pembentukan dunia yang damai, dengan berpijak pada pesan-pesan suci agama.

Read More..