Jumat, 29 Desember 2000

Melucuti Hak Istimewa Sekolah

Judul Buku : Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah
Penulis : Ivan Illich
Penerjemah : A. Sonny Keraf
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Cetakan : Pertama, Agustus 2000
Tebal : xii + 166 halaman


Benarkah sekolah adalah satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas dalam bidang pendidikan bagi masyarakat? Benarkah orang yang tidak bersekolah identik dengan predikat tak berpendidikan?

Ivan Illich melalui buku yang semula berjudul Deschooling Society ini jelas-jelas mengatakan bahwa anggapan mengenai sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan adalah bias dari kehidupan kapitalis yang telah merasuk dalam kesadaran masyarakat. Menurut Illich, sekolah adalah fenomena modern yang lahir seiring dengan perkembangan masyarakat industri kapitalistik. Konspirasi terselubung antara pendidikan dan kapitalisme ini juga tak lepas dari dukungan pemerintah (kekuasaan) sehingga daya hegemonik yang diciptakannya menjadi cukup massif.

Struktur masyarakat industri menurut Illich telah menyeret kesadaran masyarakat kepada dependensi institusional dalam banyak hal. Masyarakat selalu dan hanya mengaitkan pendidikan dengan sekolah, pelayanan kesehatan dengan rumah sakit, mobilitas pribadi dengan frekuensi aktivitas yang banyak, dan seterusnya. Inilah fenomena ketika kebutuhan-kebutuhan non-material dalam spektrum masyarakat kapitalis telah diubah menjadi permintaan terhadap barang, yang tentu saja berada dalam jaringan sistem kapitalisme.

Ketergantungan masyarakat terhadap institusi sekolah untuk memperoleh pendidikan ini menurut Illich merupakan suatu bentuk pelembagaan nilai yang mau tidak mau pada akhirnya menimbulkan polusi fisik, polarisasi sosial, dan ketidakberdayaan psikologis. Definisi dan label-label sosial diciptakan dalam kerangka hubungannya dengan lembaga sekolah.

Di Meksiko misalnya kaum miskin dirumuskan sebagai orang yang tidak menempuh pendidikan sekolah tiga tahun, dan di New York orang miskin adalah orang yang berpendidikan di bawah dua belas tahun. Patokan-patokan kemiskinan dibuat oleh teknokrat dengan sesuka hatinya, dengan melulu menggunakan perspektif mereka—suatu perspektif yang bias kaum borjuis.

Pada level internasional, kewajiban bersekolah di suatu negara dan pencapaian pelaksanaannya dalam masyarakat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan peringkat kemajuan negara. Jadilah masyarakat dibagi ke dalam kutub-kutub berseberangan yang dalam konteks global menciptakan sistem kasta internasional.

Padahal, menurut Illich, sekolah dalam lingkungan kapitalis sama sekali tidak mengembangkan kegiatan belajar atau mengajarkan keadilan, sebab sekolah lebih menekankan pengajaran menurut kurikulum yang telah dipaket untuk memperoleh sertifikat. Sertifikat ini nantinya akan digunakan sebagai alat legitimasi bagi individu untuk memainkan perannya dalam pasar kerja yang tersedia.

Hal ini terjadi karena sekolah adalah lembaga yang dibangun atas dasar anggapan bahwa kegiatan belajar adalah hasil dari kegiatan mengajar. Guru dianggap sebagai pengawas, pengkhotbah, sekaligus ahli terapi untuk memberi petuah-petuah moral. Jadilah guru tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga berfungsi sebagai ideolog, hakim, dan dokter, yang memerkosa masa depan peserta didik.

Kehadiran sekolah juga telah membatasi usia seseorang dengan tingkat pendidikan yang dapat diikutinya. Masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan orang tua dibagi dan dipaket untuk tingkat pendidikan tertentu. Seorang anak-anak menurut Illich melewati suatu proses konflik yang tidak manusiawi ketika oleh sistem masyarakat diharuskan masuk dalam lembaga sekolah. Anak-anak terpaksa melewati masa kecilnya dengan kurang bahagia.

Kondisi pendidikan yang sedemikian itu bagi Illich telah mengabaikan motivasi tiap individu bagi aktivitas pendidikan yang diikutinya, dan memasukkan individu ke dalam struktur mekanis kebutuhan industri terhadap posisi-posisi tertentu masyarakat kapitalis. Pendidikan hanya menjadi pelayan kapitalisme.

Untuk itu, Illich mengusulkan bahwa lembaga pendidikan (formal) baru yang ideal adalah lembaga yang bertolak dari asumsi motivasi pribadi untuk belajar, serta adanya ketersediaan dan akses terhadap sarana bagi semua orang yang ingin belajar dan mengajar.

Usul Illich tersebut berpusat pada upaya pemanfaatan jaringan-jaringan sumber daya pendidikan untuk dapat dimanfaatkan secara maksimal. Berbagai fasilitas umum yang dapat digunakan sebagai perangkat pendidikan harus dibuka aksesnya bagi semua orang yang ingin belajar: perpustakaan, laboratorium, museum, teater, pabrik, dan sebagainya. Birokrasi ketat harus dienyahkan sehingga jasa referensial yang dimiliki sarana-sarana itu dilepas untuk kepentingan pendidikan seluas-luasnya.

Orang-orang yang memiliki keterampilan khusus dimanfaatkan secara baik dengan menghapuskan persyarakatan kelembagaan serta membiarkan mereka mengolah dan mempertukarkan keterampilannya dalam suatu komunitas yang lebih terbuka. Seorang pemilik keterampilan tertentu tak boleh diasingkan sehingga menjadikan suatu keterampilan tertentu menjadi langka.

Peserta didik juga diberi kesempatan untuk memperluas hubungan-hubungan sosial dengan sesamanya (teman sebaya). Mereka tidak hanya dikumpulkan dan dipertemukan di sekolah, tetapi diberi kesempatan pula untuk menjalin kontak dengan individu lain yang memiliki minat dan kecenderungan yang serupa. Di sinilah makna penting dari komunitas atau organisasi di luar sekolah yang menampung minat dan hobi yang bersifat khusus.

Lebih jauh lagi, peserta didik dibebaskan dari harapan-harapan yang terlalu berlebihan dengan menggantungkan masa depannya kepada jasa-jasa profesi manapun (sekolah). Peserta didik sebaiknya lebih dibebaskan menurut motivasi dan keinginannya untuk membentuk lingkungan belajar dan arah belajar yang diinginkan sehingga otonomi individu benar-benar terjaga.

Kritik dan pemikiran Ivan Illich ini menarik terutama dalam konteks pembangunan suatu bangsa. Sudah saatnya untuk disadari bahwa otoritas pendidikan tidak hanya dimiliki oleh lembaga sekolah, tetapi juga berada dalam setiap sisi kehidupan masyarakat. Karena itulah, pemberdayaan pendidikan sebenarnya dapat dilakukan di mana saja, asal semua sumber daya tersebut dibebaskan seluruhnya demi dikelola bagi kepentingan pendidikan.

Revolusi Budaya yang diinginkan Illich adalah dengan melepas mitor sekolah dan lembaga sosial lainnya yang berperan terlalu dominan dalam kehidupan masyarakat saat ini, sehingga akhirnya mendikte laju kehidupan individu dan membelenggu aktivitas dan otonomi masyarakat.


Read More..

Rabu, 20 Desember 2000

Menulis Artikel

Dalam pengertian yang cukup mendasar, menulis adalah upaya untuk menuturkan pengalaman-acak yang kita lewati sehari-hari melalui bahasa tulisan. Pengalaman ditata sedemikian rupa sehingga menjadi runtut, terfokus, dan dapat dipahami oleh orang lain. Yang dimaksud pengalaman di sini tak  hanya menyangkut “aktivitas harian yang bergerak”, tetapi termasuk juga “pengalaman berpikir”, seperti membaca, merenung, dan semacamnya.

Tulisan ini kurang lebih sebenarnya juga adalah upaya untuk menuturkan pengalaman saya, yakni pengalamana kepenulisan saya. Secara khusus, tulisan ini akan terfokus pada pengalaman menulis artikel.

Sebagai titik berangkat, saya akan memulai dari kesimpulan yang saya dapatkan bahwa dalam pengertian tertentu, menulis dapat dilihat sebagai suatu langkah percobaan untuk melihat sejauh mana penguasaan seseorang terhadap tema yang hendak ditulisnya itu. Hasil pembacaan yang bersifat tekstual maupun non-tekstual terhadap suatu permasalahan akan terbukti bila seseorang telah mampu menuliskannya secara baik. Persoalannya adalah, bagaimana menulis, dalam hal ini menulis artikel, yang baik itu?

Pertanyaan menggoda ini memang (akan) selalu hinggap dalam benak setiap orang yang ingin menulis. Mohamad Sobary, seorang penulis esai yang cukup tangguh, pernah menyatakan bahwa menulis itu ibarat berenang. Artinya, kalau ingin bisa berenang, seseorang harus langsung nyemplung ke dalam air. Menulis juga demikian. Akan sangat abstrak dan absurd kiranya jika kita hanya membicarakan tentang teknik penulisan artikel tanpa pernah mengalami rumitnya liku penulisan artikel itu sendiri.

Dengan bertolak dari pengalaman sendiri itulah, pada tahapan selanjutnya mesti dilakukan evaluasi dan pembandingan dengan pengalaman orang lain. Jadi, teknik penulisan (artikel) bukanlah semacam “adi-teori” yang sudah mapan, tetapi lebih merupakan suatu ajang bersama untuk saling berbagi pengalaman dalam menulis. Dari beberapa bahan bacaan dan pembicaraan yang pernah saya alami, memang pada akhirnya ditemukan beberapa kunci pokok dalam penyusunan suatu tulisan (artikel). Satu persatu, beberapa pokok soal yang bisa disebutkan adalah sebagaimana berikut ini.

Pertama, yang paling penting dalam hal menulis adalah menemukan ide. Ide, adalah suatu barang yang paling berharga bagi seorang penulis. Sayangnya, tak ada seorang penulis pun yang memiliki kiat khusus untuk memperoleh ide untuk suatu tulisan. Mungkin, ide memang mirip dengan ilham yang dibisikkan Tuhan entah melalui siapa. Akan tetapi, yang pasti adalah, bahwa ide atau ilham haruslah diusahakan untuk ditangkap melalui pelbagai cara: jalan-jalan, nonton film atau pertunjukan, surfing atau chatting di internet, pembicaraan di telepon entah dengan siapa, atau obrolan di angkringan dengan teman. Unsur terpenting dalam soal pencarian ide adalah adanya kepekaan intuitif seseorang terhadap realitas yang dihadapi. Pada titik ini, seorang penulis (artikel) harus cukup cerdas untuk dapat melampaui realitas faktual yang dihadapi, untuk kemudian menyeberanginya hingga tiba ke dataran yang lebih dalam.

Ini berarti, seorang penulis artikel tidak sekedar berusaha menyajikan suatu factual knowledge saja, melainkan juga berusaha menyajikan suatu conceptual knowledge. Bekal penguasaan teoritik untuk dijadikan sebagai pisau pembedah realitas-faktual (factual knowledge) merupakan syarat yang cukup penting untuk dapat menemukan gagasan-gagasan segar sekaligus cara pandang (angle) yang menarik dan khas terhadap realitas-faktual itu. Berpadulah kemampuan menemukan ide itu dengan kemampuan untuk menemukan sudut pandang sekaligus titik fokus dari tulisan yang hendak disajikan itu. Sekali lagi, penguasaan teoritik dan kekayaan perspektif keilmuan akan cukup menentukan ruang kreatif yang berada dalam diri si penulis.1

Menulis memang seperti sebuah pergulatan untuk menyajikan kelebat pikiran yang melintas dalam benak seseorang dengan suatu penyajian yang berisi, padat, tapi tidak kehilangan daya komunikatif. Untuk menjaga keruntutan tulisan, penulis akan sangat dibantu dengan pembuatan outline (kerangka). Outline ini berisi pokok-pokok dan sisi-sisi pemikiran yang hendak disampaikan kepada pembaca dengan tetap mengacu kepada fokus pembahasan tertentu. Jadi, butir-butir gagasan yang akan diangkat itu disistematisasikan terlebih dahulu dalam sebuah kerangka.

Setelah seseorang menemukan ide sekaligus angle dan fokus dari tulisan yang akan digarapnya, langkah selanjutnya adalah memulai menulis. Persoalan pertama dalam memulai menulis adalah mengawali tulisan. Dalam teknik penulisan dikenal istilah lead atau kalimat pembuka sebuah tulisan. Ada banyak jenis lead yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya, antara lain dengan gaya menyentak, menggelitik rasa ingin tahu, meringkas isi tulisan, dengan kutipan, dengan pertanyaan, dan sebagainya.2 Rumusan teoritik bagi teknik penyusunan lead ini adalah: buat si pembaca ingin terus melanjutkan tulisan Anda!

Teknik memulai tulisan ini sebenarnya juga terkait erat dengan teknik penyajian tulisan itu sendiri. Menulis pada dasarnya juga merupakan sebuah bentuk komunikasi (dengan pembaca). Karena itu, pertimbangan terciptanya suatu komunikasi yang baik juga harus dipikirkan baik-baik. Segmen pembaca yang mana yang menjadi sasaran harus ditentukan lebih dulu. Yang jelas, umumnya tulisan yang baik akan selalu enak dibaca setiap orang meski dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda. Di sinilah kemampuan seorang penulis ditantang untuk dapat menyajikan tulisan yang enak dibaca (alias komunikatif) tanpa harus mengurangi muatan tulisan yang hendak disampaikan. Tentu saja, pemilihan pola kalimat dan pemilihan kata (diksi) juga turut menentukan. Penulis-penulis tertentu akan sangat kelihatan memiliki diksi yang khas.

Berkait pula dengan masalah teknik penyajian tulisan, masalah tata bahasa juga perlu menjadi perhatian. Tata bahasa terkadang juga terkait dengan logika bahasa, selain juga menyangkut hal yang agak teknis. Aspek logika bahasa inilah yang perlu dijaga, agar kalimat-kalimat yang ditulis mudah dipahami pembaca. Terkadang, karena menyalahi tata bahasa, kalimat yang kita buat menjadi ambigu dan disalahpahami.

Pada titik inilah kita menyadari bahwa dalam sebuah tulisan, apalagi artikel, pasti memuat hukum-hukum logika yang berusaha dibangun untuk membantu memperkuat argumen yang diajukan—eksplisit ataupun implisit.

Juga, patut diingat bahwa dalam hal penyajian tulisan, penajaman atau pendalaman fokus tulisan atau sudut pandang tulisan harus tetap dijaga keajegannya. Jangan sampai tulisan terkesan bersifat dangkal tanpa suatu pendalaman atau penajaman yang berarti. Lebih parah lagi bila sebuah tulisan terkesan kehilangan atau terlepas dari fokus atau sudut pandang yang diancangkannya. Keruntutan argumen dan keruntutan penyajian fakta dan data cukup memainkan peran yang berarti dalam hubungannya dengan keterfokusan tulisan.

Selain penajaman titik fokus tulisan, jangan pula dilupakan sisi-sisi penunjang tulisan yang lain. Usahakan tulisan (apalagi artikel) tidak kering dibaca sehingga membuat pembaca kegerahan. Tulisan harus diselingi dengan gaya bahasa yang lancar mengalir seperti arus sungai yang tenang, atau kalau perlu diselingi dengan anekdot.

Bila tulisan sudah selesai disusun, akan lebih baik bila dilakukan pengecekan berdasarkan prinsip keruntutan, proporsionalitas, diksi dan tatabahasa, serta gaya bahasa penyajian. Jangan sampai menggunakan satu kata tertentu yang berulang begitu banyak tanpa keperluan yang mendesak. Proses pengecekan akan menjadi cukup sempurna bila dilakukan oleh orang lain—syukur-syukur oleh orang yang dipandang lebih tahu. Orang lain biasanya cenderung lebih peka melihat kesalahan daripada diri kita sendiri.

Wallahualam.

 

Catatan:

1.     Ignas Kleden pernah menggambarkan bagaimana Goenawan Mohamad melalui esai-esai dalam rubrik Catatan Pinggir-nya di Tempo mampu mengolah secara baik unsur factual knowledge yang identik dengan kewartawanan Goenawan dengan unsur conceptual knowledge yang identik dengan kepenyairannya. Lihat, Ignas Kleden, “Eksprimen Seorang Penyair,” kata pengantar untuk buku karya Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 2, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, Cet. III, 1996, h. vii-xxi.

2.     Tentang lead, bisa dilacak lebih lanjut dalam Bambang Bujono dan Toriq Hadad (Ed.), Seandainya Saya Wartawan Tempo, Penerbit ISAI dan Yayasan Alumni Tempo, Jakarta, Cet. II, 1997, h. 34-49. Buku ini sebenarnya cukup bagus untuk menjadi kawan berbagi pengalaman, karena buku ini awalnya menjadi semacam resep bagi wartawan majalah Tempo dalam mengelola penerbitannya, hingga akhirnya dibredel oleh pemerintah Orde Baru pada 21 Juni 1994.

 

Read More..

Kamis, 14 Desember 2000

Metamorfosis Sang Penyelamat

Judul Buku: Wajah Baru Etika dan Agama
Penulis: I. Bambang Sugiharto dan Agus Rachmat W.
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2000
Tebal: 279 halaman


Carut-marut kehidupan sosial di berbagai pelosok negeri ini seringkali diidentifikasi sebagai akibat kelumpuhan etika dan agama untuk ikut menuntaskan problem-problem sosial. Karena itu, menghadapi krisis multidimensi yang dihadapi bangsa ini, diam-diam ada beberapa kelompok yang menaruh harapan kepada etika dan agama untuk mempertegas perannya dalam membangun kehidupan sosial yang beradab.
Akan tetapi, secara internal keduanya ternyata mengidap beberapa keakutan paradigmatis untuk menjalankan fungsinya secara optimal. Dengan kenyataan ini, maka hal yang harus segera dilakukan adalah pembenahan internal menyangkut paradigma dan cara aplikasi etika dan agama dalam kehidupan masyarakat global saat ini.
Akar penyebab keakutan paradigmatis yang dialami etika dan agama itu ternyata terdapat dalam pola pikir warisan modernitas. Kebenaran universal yang dicita-citakan modernisme serta upaya untuk menciptakan pribadi-pribadi yang otonom malah melahirkan gejala yang bertentangan. Universalitas kebenaran moral justru cenderung mendikte apa yang sesungguhnya dinilai “baik” dan “bermoral”, birokrasi modern menenggelamkan individu dalam privatisme-impersonal yang mengabaikan tanggung jawab serta ikatan emosional kehidupan bermasyarakat.
Sementara itu, agama yang idealnya menjadi rujukan sistem nilai untuk menciptakan kedamaian justru menjadi pemicu konflik sosial berkepanjangan. Akhirnya, kekerasan sosial disakralkan oleh legitimasi religius sehingga yang terjadi sebenarnya adalah demoralisasi agama. Agama kemudian menjadi simbol infantilisme, seperti telah lama diperingatkan oleh Sigmund Freud.
Kehadiran gerakan (dan aliran pemikiran) Postmodernisme dalam pengertian tertentu sebenarnya merupakan kritik pedas terhadap paradoks modernitas yang telah melenceng dari cita-cita pencerahan. Keyakinan akan universalitas kebenaran ternyata menjadi legitimasi untuk melakukan imperialisme nilai kepada masyarakat lain.
Untuk itu, Jurgen Habermas misalnya berusaha mengembalikan modernisme ke dalam cita idealnya semula. Sebagai penerus Mazhab Frankfurt, ia kemudian mengajukan pemaknaan baru terhadap rasionalitas, yakni sebagai suatu ‘adaptasi terus-menerus bahasa terhadap pemahaman yang berkembang makin luas berkat dialog’. Dialog di sini berarti kesediaan untuk saling mengoreksi dan memperluas worldview masing-masing kelompok. Bentuk aplikasi paling nyata dari pemaknaan Habermas terhadap rasionalitas-komunikatif ini dapat ditemukan dalam usaha-usaha untuk melakukan dialog antar-agama yang belakangan cukup ramai dibicarakan.
Menghadapi berbagai paradoks modernitas, maka agama menurut penulis buku ini seharusnya memerlukan suatu lingkaran hermeneutik kritis, yakni suatu penafsiran timbal-balik antara paradigma agama dan modernitas: paradigma modern dikritik oleh agama, dan agama juga perlu dikritik oleh paradigma modern.
Paradigma modern yang cenderung membuat manusia mengelak dari tanggung jawab moral serta kecenderungan materialisme sehingga menghilangkan komitmen terhadap nilai dan mengakibatkan kekosongan batin patut dikritik oleh agama dengan mengajukan alternatif pemecahan untuk memberi makna eksistensial yang lebih dalam bagi kehidupan manusia.
Demikian pula paradigma modern mesti diberi kesempatan untuk memberi kritik kepada agama. Formalisme-dogmatis dalam memaknai wahyu yang mengabaikan makna historisitas dan kebebasan manusia serta simbolisme elemen-elemen keagamaan untuk kepentingan tertentu akan dapat terungkap melalui dialog agama dengan ilmu-ilmu sosial produk modernisme.
Buku ini mengingatkan bahwa etika dan agama adalah sandaran perkembangan peradaban manusia. Karena itu, keduanya harus terus diupayakan untuk dapat menunjukkan perannya secara baik dalam kehidupan, terutama dengan mengembalikan keduanya kepada ‘situasi primordial’ yang mengutamakan kerendahhatian, tanggung jawab, pengorbanan diri, dan kepekaan manusiawi.

Tulisan ini dimuat di Majalah Gamma, 13 Desember 2000.

Read More..

Selasa, 05 Desember 2000

Anatomi Massa Partai Terlarang

Judul Buku: Badai Revolusi: Sketsa Kekuatan Politik PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur
Penulis: Arbi Sanit
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, November 2000
Tebal: xiv + 252 halaman


Meski memiliki catatan kelam berkenaan dengan pembantaian massal di pertengahan dekade 1960-an, Partai Komunis Indonesia (PKI) banyak meninggalkan sesuatu yang menarik untuk dikaji. Dari catatan sejarah terungkap bahwa partai yang menurut Tap MPRS No XXV/MPRS/1966 ini resmi dilarang keberadaannya di Indonesia merupakan partai yang cukup akrab dengan kalangan masyarakat desa. Kemampuannya membujuk dan mengorganisasi massa merupakan suatu kelebihan yang diakui banyak pihak, sehingga pada Pemilu 1955 PKI masuk dalam empat partai besar selain PNI, NU, dan Masyumi.

Buku yang semula merupakan skripsi karya Arbi Sanit ini mencoba menelusuri kondisi sosiologis yang berlangsung di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang memungkinkan PKI mampu bekerjasama dengan baik dengan kelompok petani dan kaum abangan. Kedua kelompok ini, petani dan abangan, adalah simpatisan utama yang memberikan suaranya untuk PKI pada Pemilu 1955. Dalam studi yang lebih merupakan studi literatur ini Arbi Sanit mencoba menjawab pertanyaan: mengapa petani dan abangan mendukung PKI? Bagaimana hubungan dan kerjasama antara kedua elemen sosial ini berlangsung?

Menurut Arbi Sanit, pilihan kelompok petani dan abangan untuk mendukung PKI muncul karena konstuksi obyektif yang menjadi background sosio-kultural masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kesadaran kelas (sosial) sebagaimana diteorikan Karl Marx yang mestinya menjadi acuan teoritik PKI sama sekali belum terbentuk. Bagi petani, PKI lebih nampak memberi harapan yang besar bagi usaha perbaikan hidup mereka yang tertekan.

Watak PKI yang radikal dan revolusioner menambah ketertarikan para petani. Di dalam struktur masyarakat pedesaan yang cenderung ketat dan tertutup hal ini berarti memberi peluang besar bagi mereka untuk melangsungkan mobilitas sosial. Sejak awal abad ke-19 orientasi nilai masyarakat pedesaan telah banyak dipengaruhi oleh keterlibatan mereka dalam perusahaan dan pabrik milik pemerintah kolonial Belanda. Orientasi kuat terhadap kekayaan materi menjadi perangsang yang besar bagi ketertarikan masyarakat pedesaan terhadap PKI. PKI mengkampanyekan diri sebagai partai yang peduli dengan nasib petani, terutama menyangkut masalah pertanahan dan upah buruh serta upaya memerangi kelompok borjuis di pedesaan.

Kelompok borjuis pedesaan oleh PKI diasosiasikan kepada kelompok santri yang memang banyak menguasai tanah dan bidang perdagangan. Kelompok santri yang secara ideologis cenderung memihak kepada partai-partai Islam (Masyumi, NU, PSII, dan Perti) diperhadapkan dengan kelompok petani yang masih belum memiliki basis ideologis. Kehadiran PKI bagi masyarakat pedesaan seakan-akan datang untuk menjadi media penegasan identitas mereka di hadapan kelompok santri. Apalagi masyarakat pedesaan memang cukup lemah dalam berorganisasi, sehingga mereka butuh pihak ketiga untuk membantu mereka.

Konflik ideologis masyarakat pedesaan antara kaum santri dan abangan ini semakin menguat menjelang Pemilu 1955. Iklim kebebasan berorganisasi dimanfaatkan oleh partai-partai untuk memperkuat basis politik di pedesaan yang secara obyektif memiliki jumlah pemilih yang besar. Walhasil, penegasan identitas kelompok semakin mengental. Masing-masing kelompok semakin terikat secara ideologis kepada kelompoknya.

Sebenarnya PKI memanfaatkan petani hanya lebih dalam rangka menjadikannya sebagai medan penggalangan dan pengawetan massa. Masalah para petani dan masyarakat pedesaan yang sebenarnya tidak dicarikan penyelesaian yang baik dan tepat. Daya kritis masyarakat pedesaan yang rendah dimanfaatkan PKI untuk “mengelabuhi” mereka dengan simbol-simbol tertentu. Pembagian tanah melalui land reform yang diperjuangkan PKI misalnya sebenarnya bukan jalan pemecahan terbaik bagi petani. Kondisi petani yang belum mampu mengelola tanah yang lebih luas dari satu hektar sama sekali diabaikan—bahkan oleh petani sendiri.

Buku ini menarik dan penting untuk dikaji karena tema yang diangkat terkait dengan bagian sejarah gelap bangsa Indonesia. Diskusi tentang PKI selama Orde Baru diharamkan, sehingga yang berkembang hanyalah penilaian-penilaian sepihak terhadap PKI. Melalui buku ini, Arbi Sanit cukup berhasil memetakan anatomi kekuatan massa PKI secara proporsional dengan menggunakan pendekatan sosiologis yang kental. Juga tentang bagaimana keduanya melakukan interaksi sehingga melahirkan kondisi sosial-politik tertentu pada kehidupan bangsa ini.


Tulisan ini dimuat di Majalah Forum Keadilan, 4 Desember 2000.



Read More..

Senin, 04 Desember 2000

Menakar Tawaran Ekonomi Islam

Judul Buku: Islam dan Tantangan Ekonomi
Penulis: Dr. M. Umer Chapra
Penerbit: Gema Insani Press Jakarta bekerja sama dengan Tazkia Institute
Cetakan: Pertama, Juni 2000
Tebal: xxvi + 370 halaman


Dalam pentas dunia, umat Islam tidak hanya terlihat “kalah” di dalam persaingan-persaingan ideologi dunia, akan tetapi secara empiris juga berada dalam keterpurukan kehidupan sosial-ekonomi, politik maupun budaya yang mengenaskan. Negara-negara Islam kebanyakan masih berada dalam level kategori Negara Dunia Ketiga yang terutama lemah secara ekonomi.

Buku ini mencoba mengatakan dan memberi tawaran bahwa sebenarnya Islam memiliki konsep yang cukup mampu bersaing dengan ideologi-ideologi dunia. Bahkan, secara tegas dikatakan bahwa ideologi-ideologi sekuler, yakni sistem ekonomi kapitalisme, sosialisme, dan konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State) terbukti secara empiris telah gagal memenuhi cita kebahagiaan dan kesejahteraan manusia, baik secara spiritual maupun material.

Menurut Dr. M. Umer Chapra, penulis buku ini, ketiga sistem ekonomi tersebut lahir dari rahim ideologi sekuler yang menampik peran agama dalam kehidupan sosial. Kapitalisme sebagai sistem yang pertama kali muncul di Eropa menurut Chapra dibangun di atas Pandangan Dunia Pencerahan yang percaya pada superioritas akal manusia, merayakan kebebasan, dan menganggap kehidupan sebagai sesuatu yang tak bertujuan. Akibatnya, tak ada lagi kesakralan kolektif yang dimiliki sistem moral agama. Tak ada lagi mekanisme filter dalam sistem kapitalisme, kecuali prinsip utilitarianisme atau pragmatisme yang kesemuanya dikembalikan kepada keputusan masing-masing individu.

Individu dalam kapitalisme menempati posisi penting. Individu bebas mengaktualisasikan seluruh potensi ekonomi yang dimilikinya. Menurut kapitalisme, kepentingan individu bersifat simetri dengan kepentingan umum. Pasar dianggap memiliki mekanisme sendiri—yang disebut “tangan-tangan gaib (invisible hand)—yang menjaga keharmonisan antara kepentingan individu dan kepentingan umum.

Asumsi seperti inilah yang menjadikan sistem kapitalisme gagal memenuhi cita-cita kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Bila produksi atau distribusi produk tertentu sepenuhnya berada pada genggaman kekuasaan individu, tentu tak ada jaminan bahwa distribusi atau produksi tersebut sebenarnya dibutuhkan secara sosial, sehingga prinsip efisiensi dan keadilan sebenarnya telah diabaikan. Dengan demikian, tulis Chapra dengan mengutip E.F. Schumacher, kapitalisme telah melembagakan individualisme dan meniadakan tanggung jawab sosial.

Secara empiris kapitalisme sebenarnya telah hancur ketika terjadi Depresi Besar pada tahun 1930-an. Sebagai gantinya, dilakukan sejumlah revisi terhadap kapitalisme yang akhirnya melahirkan konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State).

Konsep Negara Kesejahteraan lahir untuk mengimbangi sistem ekonomi dengan tetap melibatkan individu sekaligus negara dalam kegiatan perekonomian. Negara menjadi penengah untuk mencapai kesejahteraan dengan memberikan subsidi-subsidi tertentu. Akan tetapi, keseimbangan ekonomi yang stabil sulit terjaga ketika belanja sektor pemerintah meningkat dan tidak dibarengi dengan pengurangan klaim-klaim atas sumber daya, sehingga anggaran negara defisit, meski pajak telah maksimal.

Sementara itu, sistem sosialisme memiliki asumsi adanya keharmonisan antara kepentingan negara dan kepentingan masyarakat. Individu tidak dipercaya mengurus masalah kehidupan ekonominya sendiri, sehingga negaralah yang kemudian memegang kendali. Persoalannya adalah betapa rumitnya negara untuk mengetahui kebutuhan masyarakat yang sebenarnya. Dari mana dan cukupkah informasi dan tenaga pemerintah yang diperlukan untuk mengetahui kebutuhan masyarakat?

Pada sisi yang lain, sosialisme ternyata juga tidak memiliki mekanisme filter terhadap kebijakan pemegang pemerintahan. Pemerintah sebagai pembuat keputusan ekonomi tidak dapat dikontrol sehingga rentan melahirkan pola pemerintahan diktator.
Dari kegagalan sejumlah sistem ekonomi tersebut di atas, Chapra menawarkan Islam sebagai teori dan sistem ekonomi yang dapat menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Sistem ekonomi Islam menurut Chapra berakar pada syariat yang terumuskan dalam maqashid asy-syariah sebagai sasaran dan strategi ekonomi.

Pandangan dunia ekonomi Islam berkaitan dengan tiga prinsip fundamental, yakni tauhid (keesaan), khilafah (perwakilan), dan `adalah (keadilan). Tauhid berarti bahwa alam raya diciptakan secara sadar oleh Tuhan dengan suatu tujuan tertentu. Khilafah berarti manusia sebagai ciptaan Tuhan dibekali dengan kemampuan mental dan spiritual serta fisik yang memungkinkannya hidup dan mengemban misi Tuhan dalam penciptaan alam raya. Secara fitrah manusia itu baik dan mulia dan mampu menjaga kebaikan dan kemuliaannya itu.

Karena itu, sebagai khalifah, manusia harus dapat memanfaatkan sumber daya alam raya dengan cara efisien dan adil sehingga kemakmuran manusia seluruhnya dapat tercapai. Hal ini juga berarti bahwa manusia harus tetap mengingat prinsip persaudaraan universal, yakni bahwa manusia adalah bersaudara sesamanya, sehingga prinsip persamaan perlakuan di depan hukum juga harus dijunjung tinggi.

Dari pandangan dunia Islam tersebut, maka pada tataran praktis, sistem ekonomi Islam menurut Chapra harus mereorganisasi keseluruhan sistem yang saling memperkuat menyangkut beberapa elemen: (1) mekanisme filter yang secara sosial disepakati, (2) sistem motivasi individu yang seimbang, (3) restrukturisasi ekonomi secara menyeluruh, dan (4) peran positif pemerintah.

Mekanisme filter dalam Islam memiliki dua lapis. Pertama, filter moral, dan kedua, filter harga. Filter moral berkaitan dengan preskripsi normatif dalam menentukan skala preferensi yang sesuai dengan kedudukan manusia sebagai khalifah dan sesuai dengan prinsip keadilan. Filter moral ini didasarkan kepada ajaran-ajaran Tuhan, karena diasumsikan bahwa preskripsi moral yang diberikan Tuhan telah disesuaikan dengan hakikat kodrat kemanusiaan.

Dimensi keimanan dalam Islam menjadi sistem motivasi sosial untuk memanfaatkan seluruh sumber daya ekonomi dalam terang pertimbangan jangka panjang yang jernih. Perspektif jangka panjang dalam Islam ini ditegaskan dengan kepercayaan terhadap adanya pertanggungjawaban di Hari Akhir, sehingga setiap individu termotivasi untuk memenuhi tuntutan kemaslahatan umum.

Restrukturisasi ekonomi yang menyeluruh harus dilakukan agar mekanisme filter dan sistem motivasi yang terdapat dalam sistem ekonomi Islam dapat diterapkan secara baik. Karena itu, dalam proses restrukturisasi ini dibutuhkan upaya-upaya untuk mengingatkan kembali pertimbangan faktor manusia sebagai pelaku sekaligus sasaran kegiatan ekonomi, menangani konsentrasi kekayaan yang berlebihan, dan membenahi semua institusi sosial.

Sementara itu, negara dalam sistem ekonomi Islam dituntut berperan aktif. Negara harus dapat mencerminkan aktualisasi tujuan dan nilai-nilai Islam. Negara harus memenuhi kewajiban moral membantu mewujudkan kesejahteraan yang berimbang.

Di akhir buku ini, ternyata Chapra sendiri masih mencium adanya kemungkinan hambatan pelaksanaan bangunan teoritik yang dijelaskan panjang lebar ini ketika akan diterapkan dalam tataran praktis. Keinginan untuk mengaktualisasikan visi Islam dan keterbatasan sumber daya yang dihadapi oleh umat Islam menjadi penghambat yang tidak mudah diselesaikan.

Ada sejumlah catatan yang bisa dikemukakan terhadap uraian-uraian Chapra dalam buku ini. Pertama, uraian teoritik yang dikemukakannya cenderung dikaitkan dengan Negara Islam, sehingga semangat Islam yang ada di balik teori-teori yang diuraikannya itu terasa problematis untuk diterapkan pada sebuah negara yang plural. Kedua, karena berbicara pada level makro-ekonomi, maka pemikiran ekonomi Islam Chapra dalam buku ini lebih banyak berorientasi pada teori ekonomi yang terikat dengan sistem negara. Artinya, uraian Chapra tentang ekonomi Islam yang berorientasi kerakyatan (diperjuangkan secara kultural) masih kurang dominan. Ketiga, dalam menguraikan kelemahan-kelemahan kapitalisme, Chapra sama sekali tidak menyinggung penelitian Max Weber tentang kaitan Etika Protestan dengan kelahiran kapitalisme. Bila pikiran Weber diapresiasi, tentu ada kemungkinan kedekatan kapitalisme awal dengan etos atau nilai-nilai agama.

Terlepas dari ketiga hal tersebut, buku ini tetap menarik karena mencoba menggali kemungkinan kekayaan khazanah kebudayaan lain (Islam) untuk tampil dalam ajang sistem ekonomi dunia, dengan tidak semata-mata berkaca pada pengalaman dunia Barat. Apalagi, uraian Chapra dalam buku ini tidak semata bersifat teoritik, tetapi juga dilengkapi dengan aplikasi praktis dalam bidang perencanaan pembangunan. Lebih jauh, buku ini dapat pula dilihat sebagai usaha melakukan islamisasi ilmu ekonomi—meski masalah islamisasi ilmu ini juga masih debatable. Karena itu, buku ini sebenarnya layak diapresiasi bagi mereka yang peduli dengan upaya-upaya perbaikan ekonomi umat Islam yang menghadapi tantangan begitu berat.

Read More..

Sabtu, 02 Desember 2000

Meruntuhkan Etnosentrisme

Judul Buku: Ras dan Sejarah
Penulis: Claude Lévi-Strauss
Penerjemah: Nasrullah Ompu Bana
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Agustus 2000
Tebal: x + 130 halaman


Globalisasi yang terjadi di berbagai lini kehidupan telah memungkinkan terjadinya pertemuan dan kontak-kontak kultural antar-kebudayaan. Kota-kota metropolis menjadi tempat interaksi manusia yang berasal dari ras yang berbeda. Sayangnya, dalam interaksi sosial sehari-hari, seringkali muncul sentimen-sentimen apriori yang dilekatkan kepada ras tertentu.

Claude Lévi-Strauss, empu antropolog-budaya beraliran strukturalis dari Prancis, dalam buku ini menceritakan sebuah anekdot yang cukup menarik tentang prasangka rasial. Beberapa tahun setelah ditemukannya Amerika, orang-orang Spanyol mengutus komisi penyelidik ke wilayah Antilla Raya untuk meneliti apakah penduduk pribumi memiliki nyawa atau tidak. Namun sayang, para penyelidik kulit putih itu akhirnya tertawan oleh penduduk pribumi. Penduduk pribumi kemudian menenggelamkan mereka, untuk menyelidiki apakah mayat orang-orang kulit putih itu dapat membusuk atau tidak.

Dalam buku ini Lévi-Strauss melakukan gugatan-gugatan ilmiah atas berbagai prasangka kultural yang bercorak rasialis atau etnosentris itu. Gugatan tersebut terutama dilakukan dengan membongkar asumsi-asumsi dasar ilmu antropologi (budaya) yang cenderung meneguhkan rasialisme dan etnosentrisme itu, terutama dengan teori evolusi kebudayaan.

Menurut Lévi-Strauss, ilmu antropologi selama ini telah mengaburkan pengertian biologis ras dan fenomena-fenomena sosiologis dan psikologis kebudayaan manusia. Kebudayaan modern dianggap telah mencapai kemajuan yang begitu pesat, sementara kebudayaan arkais yang disebut primitif dianggap masih berada dalam kategori “barbar”. Kategorisasi kebudayaan arkais tersebut pada dasarnya merupakan reaksi sepihak terhadap kebudayaan lain yang terdengar asing dengan memasukkannya dalam wilayah kehidupan binatang. Atribut “barbar” atau “liar” digunakan seakan-akan untuk mencabut status kemanusiaan mereka.

Etnosentrisme yang berlebihan ini menginginkan pengingkaran realitas berupa keanekaragaman kebudayaan yang melampaui jumlah ras manusia, dengan menumpangnindihkan fakta-fakta biologis dengan fakta-fakta kebudayaan. Padahal, keanekaragaman kebudayaan adalah kenyataan yang tak terbantahkan, yang berada di antara kehendak masyarakat untuk mempertahankan kekhasan kebudayaan yang dimilikinya dan kehendak untuk tetap menjaga keselarasan kebudayaan mereka.

Lévi-Strauss telah mempelajari berbagai bentuk kebudayaan arkais dengan pendekatan antropologi-struktural. Dengan pendekatan ini, Lévi-Strauss merekonstruksi struktur kode-kode kultural yang terdapat dalam kebudayaan-kebudayaan masyarakat arkais sehingga akhirnya ia menemukan hubungan ekuevalensi formal, isomorfisme, dan aturan-aturan transformasi yang terjadi di antara berbagai tingkatan kode yang berbeda.

Dalam penelitiannya itu terungkap bahwa bahkan dalam suatu kebudayaan tertentu pun terdapat suatu diversifikasi internal yang terjadi akibat keberagaman kelompok masyarakat yang membentuk kebudayaan itu sendiri.

Penilaian terhadap kebudayaan lain pada dasarnya tidak dapat dilakukan kecuali bila tetap berada dalam bingkai relativisme. Karena itu, tak aneh bila pada akhirnya penilaian-penilaian semacam itu berakhir dengan sikap yang bercorak superioristik dan tidak lain merupakan wujud intervensi kebudayaan tertentu untuk menghegemoni kebudayaan lain.

Karena itu, Lévi-Strauss menawarkan suatu pembacaan struktural terhadap fenomena kemajuan kebudayaan. Menurut Lévi-Strauss, tak ada kebudayaan yang benar-benar berdiri sendiri. Suatu kebudayaan harus berkoalisi dengan kebudayaan yang lain sehingga ia membangun rangkaian sejarahnya secara kumulatif. Sejarah kebudayaan Eropa setidaknya telah membuktikan hal itu. Eropa, menurut Lévi-Strauss, pada awal masa Renaisans adalah tempat pertemuan dan bercampurnya pengaruh yang beragam: Yunani, Romawi, Jerman, dan Anglo-Sakson; pengaruh Arab dan Cina. Konsekuensinya, tidak ada suatu peradaban dunia dalam pengertian absolut karena ia selalu mencakup koeksistensi kebudayaan.

Dengan mengakui karakter kebudayaan yang demikian, Lévi-Strauss menegaskan bahwa satu-satunya tuntutan yang bermanfaat dalam konteks ini adalah terjadinya keanekaragaman kebudayaan dengan bentuk-bentuk yang merupakan kontribusi setiap individu bagi kemuliaan yang lebih tinggi terhadap orang lain.

Buku ini menarik karena secara cukup baik mematahkan argumen-argumen ilmiah yang selama ini dibangun oleh ilmu antropologi untuk menegaskan etnosentrisme atau superioritas kultural tertentu. Karena itu, pada akhirnya, pesan yang terangkum dari buku ini adalah perlunya pandangan yang setara terhadap berbagai ekspresi kebudayaan dunia. Selanjutnya, kerjasama antar-kebudayaan perlu ditingkatkan karena kemajuan kebudayaan sebenarnya sangat ditentukan oleh fungsi suatu koalisi antar-kebudayaan.

Pemaparan argumen yang didasarkan atas penelitian-penelitian antropologis memang cukup membantu pembaca untuk memahami gagasan Lévi-Strauss. Akan tetapi, bahasanya yang agak rumit—seperti biasa ditemukan dalam buku-buku pemikiran tradisi Prancis, khususnya yang berasaldari aliran strukturalis—mungkin akan membuat pembaca harus sedikit mengerutkan dahi. Akan tetapi, tulisan Jean Pouillon di akhir buku ini cukup membantu mengantarkan pembaca yang masih awam dengan pemikiran Lévi-Strauss.

Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 1 Desember 2000.

Read More..

Sabtu, 25 November 2000

Pembelaan Sang "Provokator" Demokrasi

Judul Buku : Daulat Manusia
Penulis : Thomas Paine
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Cetakan : Pertama, Februari 2000
Tebal : xiv + 244 halaman


Revolusi Perancis pada tahun 1789 diakui sebagai peristiwa yang memberi inspirasi bagi munculnya gagasan-gagasan besar tentang demokrasi, persamaan derajat, dan Hak Asasi Manusia. Akan tetapi, pada saat kelahirannya, ide-ide tersebut tidak langsung begitu saja dinilai sebagai gagasan cemerlang karena menjunjung tinggi martabat manusia.
Edmund Burke misalnya, menanggapi heroisme Revolusi Perancis dengan penuh cemooh. Menurut Burke, Revolusi Perancis adalah aksi pemberontakan terhadap seorang raja yang sah dan berhati lembut serta dipenuhi dengan amarah yang haus darah. Bagi Burke, Raja Perancis, Louis XVI, adalah satu-satunya orang yang memiliki hak untuk menjadi pemimpin di Perancis, dan aksi massa pada peristiwa Revolusi Perancis adalah pemberontakan keji yang kekejamannya melebihi kekejaman dan caci maki yang pernah dilontarkan bangsa manapun yang menentang penguasa paling lalim di muka bumi.
Thomas Paine, seorang kelahiran Inggris melalui buku ini memberi catatan-catatan kritis atas serangan Burke terhadap Revolusi Perancis itu. Menurut Paine, Revolusi Perancis bukan perlawanan terhadap pemerintahan Raja Louis XVI, tapi perlawanan terhadap prinsip pemerintahan berkekuasaan mutlak. Dalam pengamatan Paine, Revolusi Perancis meletus gara-gara terjadi persekongkolan struktural antara kerajaan, parlemen, dan gereja untuk menerapkan despotisme feodal di seluruh Perancis.
Revolusi Perancis, yang ditandai dengan penyerbuan Penjara Bastille pada tanggal 14 Juli 1789, adalah perjuangan rakyat Perancis untuk merebut kembali hak-hak kodrati yang direnggut seenaknya oleh penguasa. Dalam serangannya terhadap Revolusi Perancis, Burke mengatakan bahwa rakyat sebenarnya tidak memiliki hak apa-apa karena dahulu para sesepuh masyarakat mereka telah menyerahkan seluruh haknya kepada pemerintah.
Menanggapi pernyataan Burke inilah Paine secara panjang lebar menguraikan hakikat Hak Asasi Manusia yang menjunjung tinggi kebebasan dan persamaan dalam seluruh uraian buku ini. Menurut Paine, tak ada satu generasi di muka bumi ini yang berhak mengatur generasi berikutnya. Setiap zaman dan generasi bebas menentukan dirinya sendiri.
Sejarah penciptaan manusia mengakui bahwa pada dasarnya manusia itu satu. Dengan kesatuan manusia (the unity of man) dimaksudkan bahwa manusia itu semua memiliki derajat yang sama, dan, karena itu, juga memiliki hak-hak kodrati yang sama pula. Pengakuan bahwa suatu generasi memiliki hak untuk mengatur generasi berikutnya bagi Paine adalah suatu tiranisme yang usaha menjauhkan manusia dari kodrat kedaulatannya yang bersifat ilahi.
Kodrat manusia, selain kesamaan derajat dan kedaulatan untuk menentukan dirinya sendiri, juga berkaitan dengan kehidupan sosial. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Watak ini, menurut Paine, juga didorong oleh kondisi alam sehingga manusia tidak hanya harus hidup bermasyarakat untuk dapat survive, akan tetapi juga harus menanamkan suatu sistem cinta kasih kepada masyarakat demi meraih kebahagiaannya sendiri. Ketertiban dalam sejarah peradaban manusia pada hakikatnya terbentuk dari hakikat manusia itu sendiri.
Dengan demikian, pemerintah, bagi Paine, semestinya tidak lebih dari suatu perhimpunan yang bertindak menurut prinsip-prinsip hidup bermasyarakat. Pemerintah harus menjamin terlaksananya kehidupan tertib yang menunjung kedaulatan manusia, dan bukannya mengikis habis ikatan alami manusia untuk bermasyarakat itu.
Karya yang berjudul asli The Rights of Man ini tergolong naskah klasik yang menjadi dokumen sejarah pergolakan revolusi di Perancis. Keberanian Paine dalam membela praksis revolusi di Perancis--meski di tempat kelahirannya ia dicaci dan dituduh pengkhianat--adalah bagian dari perjuangannya untuk kebebasan manusia lepas dari cengkeraman kekuasan mutlak. Refleksi kritis bercorak filosofis yang dilakukan Paine dalam buku ini pada akhirnya berhasil mengungkap makna hakikat kebebasan dan persamaan derajat yang menjadi semangat kehidupan demokrasi serta prinsip-prinsip dasar hidup bernegara.
Karena itulah, dalam kondisi bangsa kita yang sedang berusaha "meraba-raba" sosok demokrasi, buku ini dapat menjadi "kawan dialog" yang cukup baik untuk memunculkan gagasan bijak sekaligus mengingatkan kita bersama tentang hak dan kedaulatan manusia yang selama ini terampas dan terabaikan.


Tulisan ini dimuat di www.berpolitik.com 24 November 2000.


Read More..

Minggu, 19 November 2000

Peradaban (dan) Politik yang Terkoyak


Judul Buku : Kekuasaan Tak Pernah Senyum: Ini Bukan Salah Peradaban
Penulis : Mohamad Sobary
Penerbit : Kompas, Jakarta
Cetakan : Pertama, September 2000
Tebal : xx + 181 halaman

Judul Buku : Pil Koplo dan Don Quixote: Kegagalan Membangun Sebuah Peradaban
Penulis : Mohamad Sobary
Penerbit : Kompas, Jakarta
Cetakan : Pertama, September 2000
Tebal : xx + 165 halaman



Salah satu warisan kotor yang ditinggalkan rezim Orde Baru adalah remuknya wajah peradaban (dan) politik di negeri ini. Peradaban menurut pengertian yang luas dikerangkeng dalam definisi dan kendali negara, sementara tafsir dan kebijakan politik dimonopoli elit-elit negara. Pembangunan semata diarahkan untuk memacu kesejahteraan material, dibarengi dengan represi terhadap segala gejolak sosial yang sesungguhnya bersifat alamiah.
Carut-marut yang sedemikian mengenaskan dalam wajah peradaban (dan) politik ini membuat bangsa Indonesia terpuruk dalam situasi krisis yang bersifat multidimensional. Dan, nyatanya, hingga kini, bangsa Indonesia masih belum bisa sepenuhnya melakukan langkah-langkah mendasar untuk memulai sejarah peradaban Indonesia Baru.
Kumpulan kolom Mohamad Sobary yang berasal dari rubrik “Asal Usul” di Harian Kompas ini mencoba mengeksplorasi persoalan-persoalan tersebut dari perspektif yang cukup unik. Sebagai seorang peneliti ilmiah dengan pendekatan antropologi, sekaligus pengamat ‘non-disipliner’—seperti pernah disebut Gus Dur dalam pengantar salah satu buku Sobary yang lain—Sobary melakukan penyelaman terhadap berbagai realitas ketertindasan kebudayaan itu dengan nuansa yang khas. Ada semacam rasa keterlibatan yang dalam yang dapat ditemukan pembaca di dalam kolom-kolom ini, yang menunjukkan rasa tanggung sosial dan dibalut dengan rasa kemanusiaan yang kental.
Keterlibatan sosial yang terbaca dalam pikiran-pikiran Sobary dalam buku ini didasarkan pada asumsi bahwa sebenarnya gaung reformasi yang keras diteriakkan mesti melibatkan lapisan bawah masyarakat. Reformasi bagi Sobary bukan hanya berurusan dengan penggantian penguasa, tetapi, yang lebih penting, membangun basis sosial yang luas di tingkah bawah.
Selama ini masyarakat di lapisan bawah (rakyat kecil) tak pernah dilibatkan dalam proses-proses politik. Partai politik hanya memanfaatkan mereka pada saat pemilu, demi meraih kursi kekuasaan. Inilah kebohongan politik yang melembaga setiap lima tahun, sehingga rakyat dijauhkan dari proses kehidupan sosial yang sebenarnya.
Para elit politik mempergunakan legitimasi sejarah untuk menundukkan kesadaran politik masyarakat di lapisan bawah. Para elit politik menyodorkan sejarah dengan cara baca yang bersifat mistis, sehingga proses pendewasaan politik bagi masyarakat tak kunjung dimulai.
Sejarah, tradisi, atau warisan budaya, disajikan dengan kerangka ideologis: ia dilihat sebagai orientasi sekaligus tujuan hidup bangsa. Tak ada lagi kearifan sejarah yang mengandalkan pembacaan kritis terhadap segala bentuk warisan budaya atau tradisi bangsa. Rakyat diajak untuk bersikap romantis dengan sejarah dengan memitoskan momen-momen tertentu yang dianggap sakral. Pun, pembangunan banyak diisi dengan mendirikan monumen-monumen (peringatan) sejarah yang dapat menjadi simbol legitimasi keberhasilan pembangunan.
Sementara itu, elit-elit politik tak henti-hentinya memainkan perilaku politik yang tidak mendidik masyarakat. Sobary menengarai bahwa seringkali kebencian terhadap lawan politik melahirkan sikap yang mengabaikan prinsip keadilan—bahkan terhadap diri sendiri. Para elit politik itu seringkali menerapkan politik subsistensi: suatu bentuk egoisme politik dengan prinsip mencari keselamatan diri meski harus rela mengenyahkan harga diri, nyali, dan hati nurani.
Dendam politik menjadi landasan bersikap yang dinilai wajar. Pemegang kekuasaan baru seolah dendam atas ketertindasan politik yang dialaminya di masa lalu. Bersitegang dalam politik berarti mengumbar dendam sejarah. Semangat cinta dan kepekaan kemanusiaan yang lebih tinggi menjadi sesuatu yang langka. Fanatisme kembali dihalalkan bukan hanya dalam mengultuskan seseorang, tetapi juga di dalam membenci seseorang.
Akhirnya, konflik politik tak pernah berkaitan dengan konflik budaya atau ideologi yang bermutu. Malah watak kekanak-kanakan yang mengemuka. Lihatlah misalnya ketika Amien Rais mengajukan gagasan tentang negara federal yang sebenarnya merupakan pintu masuk bagi suatu perdebatan bernuansa ideologis demi mengakomodasi situasi politik nasional secara realistis. Beberapa kelompok justru menyikapinya dengan jawaban mematikan: tak ada federal-federalan! Menurut Sobary, sikap seperti inilah yang membuat bangsa ini tak kunjung cerdas dan beradab dalam berpolitik.
Berbagai persoalan rumit yang diulas Sobary dalam kedua buku ini didekati dengan kesederhanaan berpikir ala masyarakat kelas bawah. Tak heran bila kolom-kolom Sobary ini sarat dengan renungan kemanusiaan yang jernih sehingga dapat mencerahkan masalah ruwet yang menimpa bangsa ini.
Gaya Sobary yang cukup sederhana ini seakan-akan menegaskan bahwa kegagalan bangsa ini dalam membangun peradaban (dan) politik antara lain karena bangsa ini telah kehilangan cara kesederhanaan berpikir yang bertumpu kepada harkat kemanusiaan. Kebudayaan yang dibangun selama Orde Baru adalah kebudayaan yang materialistis sehingga lalai mengasah dimensi dalam pada diri manusia. Hukum dan politik berjalan tanpa bimbingan kepekaan etis, karena cara berpikir yang dikembangkan dalam sistem pendidikan cenderung bersifat birokratis. Pergaulan sosial sehari-hari dipenuhi dendam dan kebencian, sementara cinta dan kearifan dikubur dalam-dalam.
Kedua buku ini kurang lebih membisikkan hal yang sama: sudah saatnya bangsa Indonesia membentuk suatu tata kehidupan yang baru, sebagai langkah awal membangun peradaban Indonesia masa depan yang lebih baik. Menurut perspektif ini, segala aspek kehidupan harus dilihat dari kacamata peradaban dalam pengertian luas. Dan, karena peradaban adalah sesuatu yang hanya khas dimiliki manusia, maka manusia harus menjadi sentral pertimbangan bagi setiap langkah kehidupan. Inilah kiblat baru yang perlu dibangun bersama-sama menyambut kelahiran kembali dan kebangkitan bangsa ini.
Dalam buku yang pertama, Kekuasaan Tak Pernah Senyum, Sobary menyorot masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan politik dalam terang pendekatan antropologi dan kebudayaan. Pokok masalah yang dibahas cukup beragam, dari masalah moralitas politik, kepemimpinan politik, hingga masalah pembentukan budaya politik demokrasi. Sementara, dalam buku kedua, Pil Koplo dan Don Quixote, Sobary menggambarkan bagaimana lingkungan kebudayaan yang dibangun selama ini gagal memberikan ruh kehidupan baru bagi masyarakat. Persoalan-persoalan kebudayaan berkaitan dengan masalah pendidikan, agama, moralitas, atau kepemimpinan diuraikan dengan jernih.
Kelebihan buku ini tampak dalam cara bertuturnya yang sederhana, sehingga pembaca awam pun dapat bergabung dalam hiruk-pikuk kehidupan politik dan kebudayaan secara lebih berkesan. Dengan cara ini, reformasi yang dicita-citakan dapat terwujud dan menyentuh seluruh elemen masyarakat.

Read More..

Senin, 13 November 2000

Paradigma Iman yang Membebaskan

Judul Buku: Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya
Penulis: Fr. Wahono Nitiprawiro
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, September 2000
Tebal: l + 171 halaman


Agama adalah salah satu institusi sosial yang selalu diharapkan terlibat secara aktif mendukung proses transformasi sosial. Tuntutan ini mau tidak mau harus diakomodasi oleh agama, karena agama sering mengklaim sebagai pengusung nilai kedamaian, keadilan, dan kesetaraan. Ironisnya, fakta sosial yang terjadi ternyata bersifat paradoks. Di berbagai belahan penjuru dunia, agama menjadi pemicu berbagai konflik sosial.
Setting sosial masyarakat juga semakin menantang peran agama untuk menegaskan visi pembebasannya bagi masyarakat. Globalisasi ekonomi dan sosial-politik yang disponsori oleh proyek developmentalisme dan kapitalisme-global ternyata menerbitkan struktur sosial yang timpang: jurang kesenjangan yang semakin menganga, ketergantungan dunia ketiga kepada negara maju; sehingga pada tahap tertentu menghasilkan suatu kekerasan sosial yang terstruktur (institutionalized violence).
Dalam pengantarnya, Romo Wahono menegaskan bahwa teologi pembebasan semakin relevan untuk diperbincangkan terutama dalam rangka mensiasati gelombang globalisasi. Perspektif teologi pembebasan dalam melihat struktur sosial yang pincang akibat globalisasi dan ideologi pembangunan tersebut diletakkan dalam kerangka dosa sosial agama. Artinya, dalam teologi pembebasan dosa tidak semata-mata dilihat dalam kerangka individu, tetapi dilihat sebagai konsekuensi logis dari struktur sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama.
Karena itu, teologi pembebasan menyerukan untuk mengedepankan praksis sosial yang lebih konkret dengan komitmen keberpihakan kepada kelompok yang tertindas. Teologi pembebasan berusaha menghubungkan antara teori dan praksis dalam terang historisitas nilai dan norma agama. Berbeda dengan model teologi "konvensional", teologi pembebasan selalu mengusahakan agar kegiatan berteologi merupakan kegiatan men-"teori"-kan praksis agar dapat menghasilkan praksis yang semakin intens dan baru.
Secara historis, teologi pembebasan lahir di kawasan Amerika Latin pada dekade 1960-an. Kondisi sosial di kebanyakan negara-negara Amerika Latin ketika itu adalah keterjajahan ekonomi oleh borjuasi dan birokrasi negara setempat dengan dukungan negara-negara Amerika Utara dan negara-negara maju. Menghadapi situasi sosial yang demikian, beberapa aktivis Gereja Katolik bergerak bersama-sama rakyat (tertindas) melawan rezim diktator yang represif.
Perbedaan antara teologi pembebasan khas Amerika Latin dari teologi "konvensional" dari Amerika Utara dan Eropa terutama terletak dalam metode yang dipergunakan. Teologi Eropa dan Amerika Utara bertolak dari metode transendental Immanuel Kant, sedangkan teologi pembebasan bertolak dari metode transformasi Karl Marx. Yang pertama bekerja dengan berusaha memuaskan akal budi dengan menentukan kondisi-kondisi apriori dalam berteologi, kemudian diikuti dengan tindakan sesuai dengan iman yang telah dimengerti tadi. Sementara yang terakhir berusaha merefleksikan praksis tertentu dalam sejarah di bawah sinaran ajaran-ajaran agama.
Dari hal ini terlihat nilai lebih teologi pembebasan Amerika Latin tinimbang teologi Eropa dan Amerika Utara. Dalam teologi pembebasan, ada semacam mekanisme kritik internal yang memungkinkan tersedianya ruang kritis untuk memperbarui praksis pembebasan yang dilakukan. Sedangkan dalam teologi Eropa dan Amerika Utara, karena sisi praksis tidak ditekankan, ada kecenderungan bahwa teologi hanya akan menjadi ideologi yang semakin memantapkan status quo.
Teologi pembebasan sama sekali tidak menghendaki cara-cara kekerasan. Keberatan yang selama ini diajukan adalah bahwa teologi pembebasan kadangkala melahirkan praktik kekerasan. Menurut Romo Wahono, teologi pembebasan semestinya mengusahakan umat keluar dari belenggu penindasan ekonomi, hantu kekerasan yang melembaga, dan pembebasan dosa yang memungkinkan manusia dapat bersekutu dengan Tuhan dan semua manusia.
Teologi pembebasan pada dasarnya adalah kritik terhadap struktur agama yang bungkam berhadapan dengan struktur sosial yang tidak adil. Upaya untuk merumuskan dan mempraktikkan teologi pembebasan, karena itu, adalah upaya untuk mengingatkan kalangan agamawan untuk semakin menegaskan peran sosialnya dalam masyarakat, tanpa harus terjebak dalam sikap fanatisme sempit atau praktik politisasi agama.

Read More..

Sabtu, 11 November 2000

Potret Kerakusan Kekuasaan

Judul Buku: Mangir
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Pengantar: Savitri Scherer
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2000
Tebal: xlix + 114 halaman


Ini adalah kisah tentang perlawanan mempertahankan kebebasan melawan pemerintahan teror yang haus kekuasaan. Inilah kisah penggunaan praktik kekerasan dan penghalalan segala cara dalam dunia politik demi meraih tahta dan kekuasaan.
Kisah drama dengan setting sosial masyarakat Jawa Tengah di akhir abad ke-16 ini terjadi setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit di tahun 1527. Runtuhnya Kerajaan Majapahit yang memiliki wilayah kekuasaan yang begitu luas telah mengantarkan masyarakat Jawa khususnya dalam suasana transisi yang serba tak menentu. Beberapa kelompok masyarakat menginginkan menjadi penguasa tunggal di tanah Jawa. Kekuasaan yang tak lagi memusat menghidangkan aroma kekuasaan yang betul-betul memikat semua kelompok. Karena itu, tak heran bila pada akhir abad ke-16 itu, kisah-kisah tentang perebutan kekuasaan senantiasa bersimbah darah, sehingga kemudian terdengar tabu untuk dituturkan.
Drama Mangir ini adalah salah satu versi dari kisah tragis semacam itu. Mangir mengisahkan tentang persaingan menyandang kekuasaan antara Panembahan Senapati, Raja Mataram generasi kedua dalam kurun 1575-1607, dengan Ki Ageng Mangir alias Wanabaya, seorang pemuda dari perdikan Mangir, sebuah perdikan berjarak 20 km ke arah selatan Yogyakarta. Wanabaya adalah seorang pemimpin baru yang lahir dari setting sosial pasca-keruntuhan Majapahit. Jatuhnya Majapahit telah banyak melahirkan pemimpin-pemimpin masyarakat baru yang beberapa di antaranya menghendaki untuk memperluas wilayah kekuasaannya.
Panembahan Senapati bercita-cita untuk menguasai seluruh pulau Jawa. Karena itu, politik ekspansionisme ia terapkan habis-habisan. Dalam drama Mangir ini, digambarkan bagaimana Panembahan Senapati menggunakan cara-cara tertentu untuk menaklukkan perdikan Mangir.
Sementara itu, Wanabaya di desa perdikannya sendiri dikenal sebagai seorang pemimpin muda berbakat yang mampu menjaga keutuhan perdikan Mangir dari jamahan politik ekspansionis Panembahan Senapati. Tawaran Panembahan Senapati agar rakyat perdikan Mangir menyerah dan membayar upeti kepada Mataram ditolak mentah-mentah. Upaya penaklukan melalui penyerangan pasukan ternyata juga tidak berhasil, karena Wanabaya cukup cakap dalam mengatur strategi perang.
Apa yang kemudian dilakukan Panembahan Senapati untuk memuaskan nafsu kekuasaannya adalah dengan mengutus puterinya sendiri sebagai telik sandi (mata-mata) untuk mengelabuhi Wanabaya. Bersama rombongan telik sandi lainnya dengan dipimpin oleh Tumenggung Mandaraka alias Ki Juru Martani, Puteri Pambayun menyamar sebagai penari desa yang berkeliling mencari nafkah.
Nyatanya, Wanabaya benar-benar termakan dengan umpan Panembahan Senapati itu. Wanabaya akhirnya jatuh cinta pada Puteri Pambayun, seperti juga Puteri Pambayun mencintai Wanabaya. Setelah melewati perdebatan panjang antara Wanabaya dengan beberapa demang dan kawan setianya, Baru Klinting, akhirnya secara resmi Wanabaya memperistri Puteri Pambayun.
Akan tetapi, meski di antara keduanya saling mencintai, ternyata baik Puteri Pambayun maupun Wanabaya masih dapat dikelabui akal bulus Panembahan Senapati. Atas nasihat Tumenggung Mandaraka, menjelang lahirnya bayi pasangan Wanabaya dan Puteri Pambayun, diundanglah Wanabaya bersama istrinya ke Mataram untuk pertemuan keluarga. Baru Klinting, sahabat karib Wanabaya, sudah memperingatkan risiko undangan itu.
Atas dasar ini, maka Wanabaya bersama Baru Klinting kemudian menyusun langkah antisipatif bila Panembahan Senapati berniat jahat. Seluruh pasukan perdikan Mangir dikerahkan mengawal rombongan Wanabaya dan istrinya ke Mataram.
Tentu saja Panembahan Senapati bersama Tumenggung Mandaraka telah mempersiapkan jebakan dengan sebaik-baiknya. Pasukan Wanabaya berhasil dipecah selama perjalanan dengan tipuan penyambutan para penari Mataram. Di akhir kisah, tanpa basa-basi Wanabaya dibunuh, ditikam keris dan tombak prajurit Mataram.
Dalam kisah tragis tersebut, jelas Panembahan Senapati telah mengabaikan fakta bahwa Wanabaya adalah menantunya sendiri. Dalam hal ini, Panembahan Senapati konsisten dengan obsesi tunggalnya untuk menaklukkan perdikan Mangir, apapun tumbal yang harus dipersembahkan. Sesuai dengan kata-kata Panembahan Senapati: “Mataram menjanjikan mati, bagi siapa saja pembikin lemah, retak dan pecah.” Ketika ditanya oleh bapaknya, Ki Ageng Pamanahan: “Apakah seorang raja tak perlu jadi seorang bapa bagi anaknya?”, Panembahan Senapati menjawab: “Dia bapa tunggal dari anaknya yang tunggal: negara”.
Kisah Mangir yang terjadi di akhir abad ke-16 ini baru diangkat dalam bentuk karya sastra pada akhir pemerintahan Raja Mataram Amangkurat I (1645-1677) dalam buku Babad Tanah Jawi, terpaut sekitar seratus lima puluh hingga dua ratus tahun dari waktu kejadiannya. Karena itu, kata Pram dalam pengantarnya, ada banyak versi yang beredar dalam masyarakat, termasuk juga usaha-usaha penghalusan cerita melalui sanepa atau kiasan yang banyak dijumpai dalam Babad Tanah Jawi. Ini berkaitan dengan ketergantungan para pujangga zaman dahulu terhadap kekuasaan politik kerajaan.
Usaha Pram dalam buku ini dengan mengangkat tradisi lisan yang berkembang di masyarakat Jawa tentang kisah Mangir patut dihargai. Selama ini, kisah Mangir hanya menjadi kisah yang cukup tabu untuk dipentaskan kepada khalayak umum, karena seperti mengandung unsur subversif terhadap mainstream kekuasaan.
Letak penting kisah ini akan semakin nyata bila dilihat dari kacamata antropologi politik khas masyarakat Jawa. Seperti disinggung oleh Savitri Scherer dalam pengantar buku ini, proses suksesi dan regenerasi politik serta kekuasaan dalam masyarakat Jawa ternyata selalu gagal berjalan tanpa konflik yang tajam. Pergantian kekuasaan selalu diperagakan dengan kekerasan, atas dalih pelanggaran tata-krama sosil menurut definisi penggenggam kekuasaan. Konsekuensinya, proses pendidikan politik antar-generasi untuk menghasilkan generasi politik yang tangguh dan bervisi jauh ke depan selalu tertunda.
Drama Mangir yang ditulis Pram ketika ia masih berstatus sebagai tahanan politik di Pulau Buru ini patut diapresiasi bersama untuk menyingkap warisan sejarah yang bisa jadi masih tidak jauh berbeda dengan realitas sosial saat ini, atau, setidaknya masih membayangi dalam nalar politik masyarakat Indonesia sehari-hari.

Read More..

Senin, 30 Oktober 2000

Kesaksian atas Carut-Marut Kehidupan

Judul buku: Dua Tengkorak Kepala: Cerpen Pilihan Kompas 2000
Penyunting: Kenedi Nurhan
Penerbit: Harian Kompas, Jakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2000
Tebal: xxxiv + 156 halaman


Tradisi mengantologikan sejumlah karya sastra ternyata masih marak dilakukan oleh banyak kalangan, termasuk Harian Kompas—koran nasional dengan jumlah pembaca terbesar di Indonesia. Harian Kompas sendiri belakangan memang berusaha mengintensifkan divisi penerbitannya, yakni untuk menerbitkan buku-buku yang bersumber dari Harian Kompas sendiri. Tradisi mengantologikan cerpen adalah tradisi penerbitan yang “paling tua” di Harian Kompas. Sejak 1992 Kompas tiap tahun (kecuali tahun 1998) menerbitkan kumpulan cerpen terbaik.
Cerpen pilihan Kompas tahun 2000 ini diantologikan dengan judul Dua Tengkorak Kepala, yaitu mengambil dari judul cerpen pilihan terbaik dalam antologi ini, yakni karya Motinggo Busye. Cerpen ini menampilkan potret tragedi kehidupan masyarakat Aceh selama dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM). Cerpen yang merupakan cerpen terakhir karya Motinggo Busye ini—sebelum ia meninggal dunia—mengisahkan tokoh bernama Ali yang tewas dalam pembantaian militer dan dikubur secara massal di Desa Dayah Baureuh.
Kisah tragis Ali dalam cerpen ini mampu dikelola secara baik oleh Motinggo Busye sehingga cukup memperkental makna dan pesan yang hendak disampaikan. Lihatlah misalnya di bagian akhir cerita, ketika Motinggo Busye berusaha memperhadapkan tragedi pembantaian terhadap kakek si “aku” yang merupakan korban pembantaian fasisme Jepang dengan pembantaian terhadap Ali, seperti tergambar dalam kalimat: “Lalu teman saya Ali, bagaimana? Dia malah bukan korban kekejaman tentara penjajah, melainkan korban kekejaman tentara bangsa sendiri?”. Ada nada sinis yang terasa getir dalam kalimat itu yang semakin mempertebal kesan pembaca.
Cerita tentang Aceh juga ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma dalam cerpennya berjudul Telepon dari Aceh. Cerpen ini berkisah tentang sekeluarga pejabat Orde Baru yang korup yang sedang makan-makan bersama di sebuah restoran, hingga kemudian menerima interlokal dari Aceh. Interlokal itu mengabarkan tentang kematian saudara bungsu istri pejabat itu. Setibanya di rumah, di luar kemudian terjadi hujan darah—darah korban kekerasan militer yang dikirim dari Aceh.
Selain tentang tragedi Aceh, profil kehidupan mahasiswa yang lekat dengan simbol reformasi di Indonesia juga tak lepas dari pengamatan cerpenis Kompas. Cerpen Harris Effendi Thahar misalnya, berjudul Darmon, berkisah tentang profil seorang aktivis pergerakan mahasiswa bernama Darmon. Dalam cerita ini digambarkan sosok Darmon yang secara fisik sama sekali tidak necis, bahkan kelihatan tidak intelek, ternyata memiliki kadar pengetahuan dan kepedulian sosial yang cukup tinggi. Seorang pegawai yang kebetulan bertemu dengan Darmon, lantaran Darmon mengantarkan anaknya, terkejut dan kagum dengan kenyataan itu, Diam-diam si pegawai mengidealkan sosok Darmon yang aktivis itu.
Kisah tentang mahasiswa yang tergolong aktivis reformasi ternyata tidak melulu mengantarkan kepada pujian dan perasaan kagum semata. Jujur Prananto melalui cerpennya yang berjudul Seusai Revolusi tampaknya berusaha menampilkan tipe aktivis mahasiswa yang lain dengan apa yang diceritakan Harris Effendi Thahar. Jujur menyajikan paradoks sosok aktivis mahasiswa yang hanya menjadikan isu reformasi sebagai komoditas politik belaka—tidak didasarkan atas kepekaan dan tanggung jawab sosial sebagai mahasiswa. Tokoh bernama Hendaru dalam cerpen ini digambarkan kebingungan ketika mengetahui dana organisasinya—yakni organisasi yang menjadi wadah para aktivis mahasiswa—mulai menipis dan mulai kekurangan untuk kegiatan sehari-hari. Apa yang dilakukan Hendaru di akhir cerpen ini adalah sebuah tindakan yang terkesan paradoks: “menjual” proposal kepada sebuah yayasan internasional untuk sebuah isu buruh yang sebenarnya tidak proporsional. Sebuah sindiran yang sepertinya memang patut direnungkan!
Cerpen-cerpen dalam antologi ini pada umumnya memang banyak memberikan kesaksian atas carut-marut kehidupan Indonesia saat ini yang sedang tertimpa krisis multi-dimensional. Fenomena realitas sosial yang begitu beragam dan bersifat tragis dikemukakan dengan sarana cerpen.
Persoalannya adalah, apakah cerpen cukup mampu memberikan alternatif bagi pembaca untuk menemukan “sesuatu yang lain” yang tidak didapatkan dalam berita di koran atau majalah. Goenawan Mohamad dalam pengantar buku ini mengutip Walter Benjamin yang mengatakan: “setiap pagi membawa kita berita dari seantero bumi, tapi toh kita hampir tak punya cerita-cerita yang layak dicatat.” Apa yang hendak dikemukakan Goenawan dengan kutipan tersebut adalah bahwa sebenarnya cerpen berhadapan dengan realitas sosial memiliki ruang yang cukup lebar untuk menempatkan dirinya, yakni untuk mengendapkan makna berbagai peristiwa dalam suatu formulasi kisah yang menawan. Seorang penyair, dengan demikian, bergelut dengan berbagai peristiwa faktual untuk kemudian mengantarkan pembaca kepada suatu penghayatan atas fakta melalui makna peristiwa yang bersifat dalam.
Peran bahasa yang menjadi elemen penting dalam bercerita tentu saja sangat penting. Karena itu, menurut Goenawan, penjelajahan terhadap potensi-potensi bahasa seharusnya dijadikan prioritas utama dalam penulisan cerpen. Kritik Goenawan terhadap cerpen-cerpen yang termuat dalam antologi ini adalah keterikatannya terhadap realitas faktual yang terlalu besar sehingga memiskinkan kreativitas penulisnya untuk bermain-main dengan dunia bahasa secara lebih maksimal.
Beberapa cerpen dalam antologi ini yang mengambil latar kehidupan sosial-politik di Indonesia memang mengalami dilema tersebut di atas. Ketika cerpen ditulis, dan ada tuntutan agar cerpen itu memberikan pesan tertentu kepada pembaca, maka ketika itu cerpen menjadi “kuda tungganggan” gagasan atau pesan yang henak disampaikan itu. Karena itu, tak heran bila dalam pengamatan Goenawan beberapa cerpenis Kompas dalam antologi ini terjebak dalam persoalan ini. Terlepas dari hal itu, pembaca tentu dapat memberikan penilaian tersendiri terhadap kualitas cerpen-cerpen dalam antologi ini.
Kumpulan cerpen Kompas tahun 2000 ini berisi 16 cerpen pilihan yang ditulis oleh cerpenis-cerpenis terkemuka: Motinggo Busye, Herlino Soleman, Hamsad Rangkuti, Umar Kayam, Prasetyohadi, Harris Effendi Thahar, Ratna Indraswari Ibrahim, Yanusa Nugroho, Abel Tasman, Jujur Prananto, Seno Gumira Ajidarma, Arie MP Tamba, Bre Redana, Nenden Lilis A, A.A., Navis, dan Gus tf Sakai.
Pada umumnya, cerpen-cerpen dalam antologi ini memang seperti memberi kesaksian atas dinamika kehidupan Indonesia saat ini. Selain potret kehidupan demokrasi yang kental dengan suasana politis, seperti dalam cerpen Dua Tengkorak Kepala, Telepon dari Aceh, Darmon, atau Seusai Revolusi, cerpen berjudul Usaha Beras Jrangking karya Prasetyohadi, Bulan Angka 11 karya Arie MP Tamba, atau Metropolitan Sakai karya Abel Tasman berusaha menampilkan berbagai gejolak perubahan sosial yang terjadi di tanah air.
Cerpen-cerpen dalam antologi ini memang layak diapresiasi bersama. Setidaknya, ada tiga alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, antologi ini dapat dijadikan sebagai tolok ukur perkembangan “sastra koran” yang marak dalam kehidupan kesusastraan di tanah air. Kedua, cerpen-cerpen dalam antologi ini dapat dilihat sebagai sebuah cara pandang para sastrawan Indonesia berhadapan dengan realitas sosial-politik di negerinya. Ketiga, secara umum dapat dikatakan bahwa cerpen berusaha mengail gagasan dan pesan dari realitas sosial melalui realitas tekstual yang ia bangun. Pada gilirannya, kepada pembaca, cerpen akhirnya menyajikan semacam pengalaman tekstual yang bersifat alternatif berhadapan dengan realitas faktual di masyarakat.

Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 29 Oktober 2000.

Read More..

Jumat, 27 Oktober 2000

Eksprimentasi Metodologi Postmodern

Judul Buku‭ :‭ ‬Civil Society versus Masyarakat Madani:‭
Arkeologi Pemikiran‭ “‬Civil Society‭” ‬dalam Islam Indonesia
Penulis‭ :‭ ‬Ahmad Baso
Pengantar‭ ‬:‭ Muhammad A.S.‭ ‬Hikam dan Nurcholish Madjid
Penerbit‭ ‬:‭ ‬Pustaka Hidayah,‭ ‬Bandung
Cetakan‭ ‬:‭ ‬Pertama,‭ ‬Oktober‭ ‬1999
Tebal‭ ‬:‭ ‬402‭ ‬halaman


Perdebatan tentang‭ ‬Civil Society‭ ‬di Indonesia merupakan salah satu elemen penting dalam wacana demokrasi dan reformasi.‭ ‬Seperti halnya wacana demokrasi dan reformasi,‭ ‬Civil Society‭ ‬diakses oleh berbagai lapisan kalangan intelektual Indonesia.‭ ‬Secara historis,‭ ‬debat masalah‭ ‬Civil Society‭ ‬di Indonesia sebenarnya telah dimulai cukup lama,‭ ‬yakni bermula sekitar awal‭ ‬1990-an,‭ ‬bersamaan dengan lahirnya ICMI.‭ ‬Frekuensi perbincangan‭ ‬Civil Society‭ ‬menjadi semakin meninggi ketika hampir semua ilmuwan sosial-politik dan—terutama—cendekiawan muslim yang‭ ‬concern‭ ‬terhadap masalah tersebut masuk dalam arena debat ini.

Buku ini adalah sebuah usaha pelacakan‭ ‬arkeologis terhadap hampir semua teks perdebatan‭ ‬Civil Society‭ ‬di Indonesia.‭ ‬Dengan mengandalkan pada metode penelitian sejarah yang disebut‭ ‬arkeologi,‭ ‬yang dipelopori oleh seorang filsuf postmodern asal Prancis,‭ ‬Michel Foucault‭ (‬1926-1984‭)‬,‭ ‬penulis buku ini mengkaji secara kritis teks-teks yang berhubungan dengan perdebatan‭ ‬Civil Society‭ ‬dalam konteks‭ (‬politik‭) ‬Islam Indonesia.‭ ‬Yang sangat menarik dari buku utuh ini adalah kesimpulan akhir yang diungkap:‭ ‬bahwa debat‭ ‬Civil Society‭ ‬di Indonesia sama sekali tidak produktif,‭ ‬karena orang-orang yang terlibat di dalamnya hanya menggunakan ajang perdebatan itu sebagai sarana untuk memperkokoh identitas kelompok,‭ ‬bersifat ideologis,‭ ‬politisasi atas hal-hal yang transenden,‭ ‬pencarian legitimasi dari masa lalu,‭ ‬dan romantisisme kejayaan Islam periode klasik.‭ ‬Selain berbentuk romantisisme yang menyesatkan,‭ ‬debat‭ ‬Civil Society‭ ‬juga hanya sering berisi harapan-harapan dan keinginan tak berdasar,‭ ‬dengan diungkapkan melalui suatu‭ ‬glorifikasi bahasa yang cukup memukau.‭ ‬Corak seperti itulah yang oleh Ahmad Baso disebut sebagai‭ ‬Nalar Melayu,‭ ‬yang tetap tidak berubah sejak abad ke-16.

Bagaimana kesimpulan itu bisa ditarik hingga menjadi sedemikian rupa dan seperti cukup mengejutkan‭? ‬Di sinilah sebenarnya letak kekuatan buku ini,‭ ‬yakni ketika Ahmad Baso menggunakan sebuah metode mutakhir yang digagas oleh Michel Foucault,‭ ‬yakni metode‭ ‬arkeologi‭ (‬pemikiran‭; ‬Bhs.‭ ‬Inggris:‭ ‬Archaeology of Knowledge‭)‬.‭ ‬Metode arkeologi itu sendiri amat dekat dengan tradisi strukturalisme yang juga tumbuh di Prancis,‭ ‬yang berpijak pada asumsi otonomi teks.‭ ‬Teks ketika dilemparkan kepada publik dianggap memiliki otonominya sendiri dari tiga hal:‭ ‬dari sang pengarang,‭ ‬dari konteks budaya awal,‭ ‬dan dari konteks pembaca awal dari teks itu.

Dengan lacakan arkeologis terhadap teks-teks yang‭ ‬begitu banyak itu—yang ditulis oleh Nurcholish Madjid,‭ ‬Muhammad A.S.‭ ‬Hikam,‭ ‬M.‭ ‬Dawam Rahardjo,‭ ‬Fachry Ali,‭ ‬Kuntowijoyo,‭ ‬M.‭ ‬Amien Rais,‭ ‬Abdurrahman Wahid,‭ ‬Bahtiar Effendy,‭ ‬Azyumardi Azra,‭ ‬Muhammad Fajrul Falakh,‭ ‬dan sebagainya—Baso mulai bekerja untuk melihat sejauh mana hubungan dan‭ ‬batas-batas wacana‭ (‬the limits of discourse‭) ‬dari debat‭ ‬Civil Society dalam konteks politik Islam di Indonesia.‭ ‬Selain itu,‭ ‬dari berbagai teks‭ ‬Civil Society‭ ‬yang berserakan itu,‭ ‬Baso mencari dan kemudian menemukan gambaran pola‭ ‬pemikiran macam apa yang akan terbentuk,‭ ‬yang nantinya akan menunjukkan sebuah kecenderungan intelektual di Indonesia.‭ ‬Walhasil,‭ ‬aroma ideologis dan eksklusivitas kelompok dalam debat‭ ‬Civil Society‭ ‬di Indonesia yang begitu kental‭ ‬itu ternyata dicium Baso‭ ‬sudah sejak awal,‭ ‬yakni mulai dari ihwal penerjemahan‭ ‬Civil Society‭ ‬menjadi‭ ‬Masyarakat Madani‭ ‬atau‭ ‬Masyarakat Sipil.‭

Kelompok yang menerjemahkan‭ ‬Civil Society menjadi‭ ‬Masyarakat Madani‭ ‬terutama adalah kalangan cendekiawan yang tergabung dalam ICMI.‭ ‬Bahtiar Effendy misalnya menulis bahwa penerjemahan‭ ‬Civil Society menjadi Masyarakat Sipil adalah salah kaprah,‭ ‬karena di situ terkesan mempertentangkan sipil dan militer.‭ ‬Dengan istilah Masyarakat Madani,‭ ‬menurut Bahtiar dan kawan-kawannya,‭ ‬Civil Society merupakan konsep yang merujuk pada corak kehidupan Nabi Muhammad di Madinah pada awal perkembangan Islam.‭ ‬Dengan bantuan para sosiolog Barat yang mengkaji Islam,‭ ‬semisal Ernest Gellner,‭ ‬Marshall G.S.‭ ‬Hodgson,‭ ‬dan Robert N.‭ ‬Bellah,‭ ‬Nurcholish Madjid—sebagai salah satu eksponen dari kelompok ini—menjelaskan bagaimana‭ ‬Civil Society lalu dimaknai sebagai masyarakat yang beradab,‭ ‬masyarakat yang sopan.

Nurcholish menjelaskan bahwa semangat dan pengertian‭ ‬Civil Society terkandung dalam makna perkataan‭ ‘‬madinah‭’ ‬yang berarti‭ “‘‬masyarakat sopan,‭ ‬beradab,‭ ‬dan teratur‭’ ‬dalam bentuk negara yang baik‭”‬.‭ ‬Tetapi,‭ ‬apa yang terbayang ketika secara agak mengejutkan,‭ ‬Ahmad Baso lalu mengantarkan pembaca kepada suatu pemahaman bahwa konsep‭ ‬Civil Society-nya Nurcholish malah cenderung memiliki simpul pemikiran bahwa‭ “‬Civil Society dapat,‭ ‬dan sering,‭ ‬punya sisi-sisi buruk‭” ‬dan bahwa‭ “‬kiprah‭ ‬Civil Society yang bebas tak terkekang bukanlah suatu gagasan yang harus disambut hangat,‭ ‬melainkan pikiran yang sungguh mengerikan‭”‬,‭ ‬sehingga akhirnya‭ “‬dalam‭ ‬Civil Society‭ [‬pribadi‭] ‬diakui hak-hak asasinya oleh negara,‭ ‬tapi,‭ ‬sebagai imbalannya,‭ ‬dituntut penunaian kewajiban kepada negara,‭” ‬dan‭ “‬tidak punya makna apa-apa membicarakan‭ ‬Civil Society tanpa negara yang cukup tangguh,‭” ‬dan‭ “‬karena negara kita adalah negara yang sedemikian besar tetapi‭ ‬fragile‭ ‬atau mudah pecah‭” ‬maka‭ “‬hanya militer yang dapat menanggulanginya‭”‬.

Sementara itu,‭ ‬kelompok‭ ‬Masyarakat Sipil‭ ‬yang dipelopori Muhammad A.S.‭ ‬Hikam‭ (‬mewakili kelompok NU‭) ‬lebih memaknai konsep‭ ‬Civil Society dari perspektif Barat.‭ ‬Bagi Hikam,‭ ‬Civil Society mewujud dalam bentuk organisasi atau asosiasi yang dibuat masyarakat di luar pengaruh negara.‭ ‬Kelembagaan‭ ‬Civil Society ini hendak mandiri dari negara karena pada dasarnya‭ ‬Civil Society hendak berusaha mengimbangi hegemoni negara dan memperkokoh posisi dan kemandirian masyarakat.‭ ‬Satu persatu Hikam mengutip pandangan tokoh-tokoh Barat,‭ ‬seperti Jurgen Habermas,‭ ‬Hannah Arendt,‭ ‬Alexis de Tocquevelle,‭ ‬J.S.‭ ‬Mills,‭ ‬Daniel Bell,‭ ‬dan Vaclav Havel,‭ ‬tentang‭ ‬Civil Society,‭ ‬khususnya yang bertolak dari kasus di negara-negara Eropa Timur.

Kritik yang dilancarkan Baso dalam hal ini adalah sikap Hikam—seperti juga orang-orang lain yang terlibat dalam wacana‭ ‬Civil Society ini—yang dengan seenaknya saja mengutip pandangan tokoh-tokoh itu dengan melepaskan‭ ‬historisitas pemikiran yang ikut lahir bersama.‭ ‬Inilah yang oleh Muhammad Arkoun disebut dengan kecenderungan‭ ‬Logosentrisme,‭ ‬ketika pengalaman-pengalaman sejarah yang spesifik disederhanakan begitu saja dengan dikembalikan kepada suatu periode sejarah tertentu—masa kehidupan Nabi Muhammad,‭ ‬misalnya—atau malahan menyikapinya secara ahistoris.‭ ‬Jadinya,‭ ‬kutip-mengutip yang dilakukan hanya digunakan sebagai legitimasi dan tempelan yang kering,‭ ‬tanpa suatu akar epistemologis atau‭ ‬sosiologis yang memadai.‭ ‬Dalam konteks ini,‭ ‬konsep Hikam tentang‭ ‬Civil Society‭ ‬yang dipinjamnya dari para pemikir Barat kemudian mengabaikan perangkat kondisi sosial yang memungkinkan terciptanya‭ ‬Civil Society‭ ‬tersebut,‭ ‬seperti syarat adanya liberalisme ekonomi.

Tidak hanya itu.‭ ‬Aroma ideologis masih tetap saja menggenangi teks-teks Hikam.‭ ‬Misalnya,‭ ‬ketika pada salah satu tulisannya Hikam menyimpulkan bahwa NU pasca-Khittah sangat relevan dengan upaya penguatan‭ ‬Civil Society di Indonesia.‭ ‬Sementara,‭ ‬ketika‭ ‬pada pertengahan‭ ‬1998‭ ‬NU mensponsori pendirian Partai Kebangkitan Bangsa‭ (‬PKB‭) ‬Hikam menulis:‭ “‬Menurut saya,‭ ‬dalam rangka pembentukan format baru di masa depan,‭ ‬perlu dipertimbangkan pendekatan kedua ini‭ [‬yakni‭ “‬yang lebih menekankan kepada masyarakat‭”] ‬agar semakin mendapat tempat di dalam gerakan-gerakan Islam di negeri ini.‭” ‬Nampaknya Hikam mulai bingung ketika kalangan NU sendiri akhirnya harus‭ “‬menyerah‭” ‬dengan hanya menitikberatkan perjuangannya pada level masyarakat dan harus ikut bermain dalam arena kekuasaan‭ (‬negara‭)‬,‭ ‬dengan menulis bahwa‭ ‬Civil Society perlu dipertimbangkan.

Carut-marut dan kebingungan yang dialami cendekiawan Indonesia ini amat jelas menunjukkan betapa dalam wilayah wacana keilmuan‭ (‬epistemologis‭)‬,‭ ‬cendekiawan Indonesia masih belum bisa memiliki status otonom.‭ ‬Status epistemologis sebuah wacana dalam konteks Indonesia masih banyak ditentukan dan diarahkan oleh konstruksi identitas diri yang telah terbentuk sebelumnya,‭ ‬sehingga arah berkembangnya wacana tersebut hanyalah permainan peneguhan politik identitas itu sendiri.‭ ‬Akhirnya,‭ ‬wacana tersebut sama sekali tidak dapat teruji secara ilmiah-filosofis,‭ ‬apalagi secara kontekstual,‭ ‬karena wacana yang dibangun berpijak pada eksklusivisme-ideologis yang secara epistemologis amat rapuh.

Kritik terhadap konstruksi‭ (‬perkembangan‭) ‬keilmuan di tanah air memang sesuatu hal yang cukup penting.‭ ‬Apa yang sebenarnya terjadi di sini dalam waktu beberapa dekade terakhir tentu bukan sekedar krisis ekonomi dan sosial-politik.‭ ‬Tetapi,‭ ‬krisis dalam dunia‭ ‬keilmuan juga menjadi suatu bagian penting yang patut dipikirkan.‭ ‬Dalam salah satu tulisannya,‭ ‬Ignas Kleden mengkritik tidak adanya tradisi diskusi dalam sistem kebudayaan Indonesia.‭ ‬Menurut Ignas,‭ ‬tradisi‭ ‬ngobrol lebih akrab dalam dunia keilmuan kita.‭ ‬Artinya,‭ ‬setiap gagasan yang muncul dalam arena publik tidak pernah selesai dibicarakan secara mendalam.‭ ‬Kesetiaan pada suatu persoalan serta kejernihan dalam menangkap persoalan diabaikan begitu saja,‭ ‬sehingga kerja keilmuan yang dihasilkan hanya semacam cerai-berai pikiran yang ternyata masih cukup membingungkan—dan seringkali ideologis‭ (‬Kleden,‭ ‬1988:‭ ‬xlv‭)‬.

Sejalan dengan hal tersebut,‭ ‬Ahmad Baso sendiri di dalam buku ini juga mengkritik terhadap belum adanya kecenderungan analisis pemikiran Islam yang mengarah kepada sebuah sistem pemikiran yang utuh.‭ ‬Artinya,‭ ‬proyek intelektual yang dikerjakan oleh kelompok cendekiawan cenderung semata-mata merupakan respon sesaat terhadap situasi kontekstual,‭ ‬tanpa mau melanjutkannya dengan kerja-kerja intelektual‭ (‬penelitian‭) ‬yang lebih serius.‭ ‬Apalagi,‭ ‬kecenderungan ini diperparah dengan sikap konsumtivisme-intelektual yang berlebihan‭ (‬tidak pada tempatnya‭) ‬sehingga pemikiran yang lahir kehilangan daya kritisnya serta nyaris tidak menyajikan sesuatu yang baru dalam kancah‭ ‬pemikiran di Indonesia.

‭* * *
Selain kritik terhadap kecenderungan kajian keilmuan‭ (‬keislaman‭) ‬di Indonesia,‭ ‬khususnya tentang perdebatan‭ ‬Civil Society,‭ ‬buku ini juga bisa dilihat sebagai sebuah eksprimentasi metodologis dari sebuah perangkat metodologis yang relatif baru dalam kancah metodologi analisis sosial,‭ ‬yakni metode arkeologi‭ (‬pengetahuan‭)‬.‭ ‬Kiranya,‭ ‬cukup menarik untuk melihat bagaimana sebenarnya metode arkeologi ala Michel Foucault ini lahir,‭ ‬dengan diawali perkembangan aliran strukturalisme di‭ ‬Prancis.

Demam pemikiran Strukturalisme di Prancis yang mewabah pada sekitar akhir‭ ‬1960-an merupakan suatu bentuk ekspresi kekecewaan kaum intelektual Prancis dengan paradigma berpikir kaum Marxis dalam menganalisis kehidupan sosial-politik masyarakat.‭ ‬Huru-hara bulan Mei‭ ‬1968‭ ‬di Prancis yang diikuti respon Partai Komunis Prancis‭ (‬PCF‭) ‬yang kurang berpihak pada‭ ‬“people power‭”‬ untuk menentang berbagai keputusan pemerintah Prancis telah membuat kaum intelektual Prancis yang sebelumnya berada di belakang PCF itu menjadi harus berpikir ulang dengan posisi mereka,‭ ‬terutama berkaitan dengan paradigma perjuangan ala Marxis.‭ ‬Apalagi,‭ ‬ada kabar tidak menyenangkan dari Soviet yang membuka mata mereka akan kekejaman pemerintahan Stalin di Soviet.‭ ‬Pada akhirnya,‭ ‬rangkaian kejadian itu mengantarkan mereka kepada rasa kecewa terhadap cara berpikir kaum Marxis.‭ ‬Menurut mereka,‭ ‬pemikiran Marx harus ditafsirkan ulang‭ (‬Seno Joko Suyono:‭ ‬1997:‭ ‬5-10‭)‬.

Pada bagian yang lain,‭ ‬situasi yang menunjukkan kebangkrutan Marxisme baik secara teoritis maupun praktis ini telah mengubah haluan beberapa intelektual Prancis untuk menekuni pemikiran Strukturalisme yang dikembangkan bertolak dari studi linguistik Ferdinand de Saussure.‭ ‬Fenomena ini didukung oleh proses depolitisasi kampus yang dilakukan pemerintah Prancis.‭ ‬Strukturalisme Saussurian itu sendiri bertujuan untuk menemukan struktur permanen yang aktif yang dipandang mendasari realitas.‭ ‬Kaum strukturalis berpijak pada sistem bahasa,‭ ‬karena mereka percaya bahwa bahasa dapat dipandang sebagai sebuah sistem sosial.‭ ‬Karena menekankan pada struktur,‭ ‬maka cara kerja metode ini menfokuskan pada koherensi internal sebuah realitas sosial‭ (‬teks,‭ ‬bahasa‭)‬.

Teks diasumsikan otonom,‭ ‬sehingga yang diutamakan adalah makna obyektif teks,‭ ‬bukan intensi obyektif dari pengarang.‭ ‬Untuk itu,‭ ‬yang diutamakan dalam pelacakan yang dilakukan kaum strukturalis adalah struktur internal dari teks itu sendiri‭ (‬Ricouer,‭ ‬1977:‭ ‬319‭)‬.‭ ‬Apalagi penulis teks diyakini tidak bisa sepenuhnya bisa mengontrol makna keseluruhan dari teks-teks yang dibuatnya,‭ ‬sehingga penjelasan‭ (‬subyektif‭) ‬dari penulis teks hanya akan mengesankan upaya menyelamatkan diri dari label-label yang tidak menguntungkan bagi dirinya,‭ ‬sementara,‭ ‬teks yang dibuatnya sendiri mengarahkan kesan pembaca kepada‭ ‬sesuatu yang lain.

Dengan bertolak pada asumsi-asumsi pemikiran strukturalisme itu,‭ ‬metode arkeologi Michel Foucault sebenarnya lalu identik dengan sebuah pelacakan sejarah yang berusaha meneliti proses penataan teks-teks sehingga mengarah kepada suatu irama kebenaran tertentu.‭ ‬Inilah yang oleh kaum strukturalis disebut sebagai‭ “‬Kode Tersembunyi‭” ‬dari interaksi sosial.‭ ‬Arkeologi dengan demikian berusaha meneliti gagasan-gagasan yang dilemparkan kepada publik dengan asumsi bahwa ada‭ ‬episteme tertentu di balik semuanya itu.‭ ‬Yang dimaksudkan dengan‭ ‬episteme‭ ‬adalah pengandaian-pengandaian tertentu,‭ ‬prinsip-prinsip tertentu,‭ ‬syarat-syarat kemungkinan tertentu,‭ ‬yang dimiliki setiap zaman yang mendasari konstruksi epistemologis suatu zaman.‭ ‬Jadi,‭ ‬episteme adalah semacam apriori historis tertentu yang menentukan jalannya pemikiran tiap bidang ilmu‭ (‬Bertens,‭ ‬1996:‭ ‬215-216‭)‬.‭ ‬Dengan cara ini,‭ ‬diharapkan bahwa dasar-dasar pembentukan suatu pemikiran dapat ditemukan.‭ ‬Dari suatu perspektif,‭ ‬metode ini seperti hendak membongkar kesucian setiap pemikiran,‭ ‬karena pada dasarnya setiap pemikiran‭ (‬di)tegak(kan‭) ‬di atas suatu‭ ‬episteme tertentu.‭ ‬Dalam konteks ini,‭ ‬metode arkeologi Foucault yang berbasis penelitian‭ (‬kritik‭) ‬sejarah oleh Habermas disejajarkan dengan metode dekonstruksi Jacques Derrida yang‭ ‬mengkritik rasio modernisme dengan bertolak dari kritiknya terhadap Metafisika Kehadiran‭ ‬dalam pemikiran Filsafat Barat‭ ‬(Habermas,‭ ‬1998:‭ ‬254‭)‬.

Fokus penelitian kaum strukturalis pada struktur internal teks seringkali menghadirkan kesalahpahaman ilmuwan sosial lainnya.‭ ‬Dengan hanya meneliti struktur internal teks,‭ ‬kaum strukturalis dianggap menjauh dari realitas sosial-empiris yang bersifat aktual dan lebih konkret.‭ ‬Ahmad Baso juga kurang lebih mengalami hal ini.‭ ‬Akan tetapi haruslah‭ ‬dipahami bahwa dengan mengalihkan fokus perhatiannya dari kenyataan konkret menuju struktur internal teks,‭ ‬kaum strukturalis bukan hendak meninggalkan realitas sosial-empiris sepenuhnya,‭ ‬melainkan langkah ini dilakukan demi menemukan suatu pemahaman yang lebih bersifat asasi terhadap realitas empiris yang terjadi.‭ ‬Bahkan,‭ ‬dalam bagian tertentu,‭ ‬analisis struktural nampak lebih berhasil untuk memperlihatkan aroma ideologis sebuah sistem tertentu,‭ ‬seperti yang pernah dilakukan Roland Barthes ketika meneliti‭ ‬trend gaya hidup sehari-hari di Prancis dalam bukunya,‭ ‬Mythologies.

Ahmad Baso melalui buku ini setidaknya juga telah ikut membuktikan keampuhan metode arkeologi ala‭ (‬pasca)strukturalisme Foucault,‭ ‬terutama dalam membongkar eksklusivisme-ideologis kaum intelektual Indonesia yang terlibat dalam debat‭ ‬Civil Society.‭ ‬Inilah gaya atau‭ ‬prototype sebuah metodologi postmodernisme,‭ ‬sehingga dalam pengertian tertentu buku ini juga menjadi semacam klarifikasi bagi kebingungan debat postmodernisme di Indonesia.‭ ‬Ciri kental pemikiran postmodernisme ternyata juga tak bisa ditinggalkan:‭ ‬ia bersifat dekonstruktif dan nyaris berakhir dengan nihilisme.‭ ‬Mungkin,‭ ‬ini memang adalah sisi lain dari pemikiran postmodernisme itu.‭ ‬Akan tetapi,‭ ‬sejauh mengenai resiko atau bahaya yang‭ ‬juga diusung pemikiran postmodernisme yang cenderung berujung pada nihilisme ini,‭ ‬cukup penting untuk dikutip sepenggal ujaran Foucault pada salah satu karyanya:‭ ‬“...Yang saya persoalkan bukanlah bahwa segalanya buruk,‭ ‬melainkan bahwa segala sesuatu itu berbahaya,‭ ‬yang tidak persis sama dengan buruk.‭ ‬Jika segalanya ternyata berbahaya,‭ ‬setidaknya kita selalu memiliki sesuatu untuk dikerjakan.‭” ‬***



Daftar Pustaka

Bertens,‭ ‬K.,‭ ‬1996,‭ ‬Filsafat Barat Abad XX Jilid II:‭ ‬Prancis,‭ ‬Gramedia,‭ ‬Jakarta.

Habermas,‭ ‬Jurgen,‭ ‬1998,‭ ‬The Philosophical Discourse of Modernity,‭ ‬Cet.‭ ‬X,‭ ‬Penerjemah:‭ ‬Frederick Lawrence,‭ ‬MIT Press,‭ ‬Massachusetts.

Kleden,‭ ‬Ignas,‭ ‬1988,‭ ‬Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan,‭ ‬Cet.‭ ‬II,‭ ‬LP3ES,‭ ‬Jakarta.

Ricoeur,‭ ‬Paul,‭ ‬1977,‭ ‬The Rule of Metaphor:‭ ‬Multi-Disciplinary Studies of the Creation of Meaning in Language,‭ ‬Toronto University Press,‭ ‬Toronto.

Seno Joko Suyono,‭ ‬1997,‭ “‬Tubuh yang Rasis:‭ ‬Telaah Klinis Michel Foucault atas Dasar-Dasar Pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa‭”‬,‭ ‬Skripsi di Fakultas Filsafat UGM,‭ ‬Yogyakarta.


Read More..