Senin, 15 November 1999

Gus Dur Tidak Perlu Dibela

Judul Buku: Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan & Pernyataan Gus Dur
Penulis: Al-Zastrouw Ng
Penerbit: Erlangga, Jakarta
Cetakan: Kedua, Oktober 1999
Tebal: 290 + xii halaman


Mungkin hanyalah Gus Dur satu-satunya tokoh paling kontroversial dalam sejarah politik Indonesia. Tokoh yang kini “menguasai” Istana Negara ini memang terlalu sulit dipahami orang-orang, bahkan oleh pakar politik sekalipun. Pada suatu saat mungkin Gus Dur dipuji karena kecerdasan atau keberanian move politiknya, tetapi bisa juga Gus Dur dihujat habis-habisan karena statemen atau langkah politik tertentu. Begitulah, orang sesekali menyebut Gus Dur sebagai reformer—jauh sebelum gerakan tuntutan reformasi meluas secara massif—, dan sesekali pula orang ada yang menyebutnya sebagai destroyer.


Buku yang laku keras di pasaran ini ditulis oleh salah seorang mantan asisten pribadi Gus Dur: Al-Zastrouw Ng. Buku ini merupakan bagian dari upaya klarifikasi atas beberapa laku politik Gus Dur, terutama pada bulan-bulan terakhir menjelang terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden RI. Secara spesifik, ada lima pokok soal yang dibahas secara panjang lebar, yakni kehadiran Gus Dur di Istana Negara dua hari menjelang lengsernya Soeharto, pembantaian di Banyuwangi, Deklarasi Ciganjur, rangkaian silaturrahim ke tokoh-tokoh Orde Baru, dan Open House di kediaman Gus Dur.

Kalau mau dicermati secara kritis, di sisi inilah sebenarnya kelemahan buku ini. Sidang pembaca tentu akan banyak berharap bahwa buku ini akan banyak bercerita tentang sosok pribadi Gus Dur, presiden baru Bangsa Indonesia di Era Reformasi. Provokasi judul yang dipilih setidaknya mengarah pada bayangan yang demikian. Nyatanya, buku ini lebih banyak bercerita konteks peristiwa kelima hal tersebut di atas secara lebih luas, sehingga sosok pemikiran Gus Dur secara lebih spesifik dan mendalam terasa terabaikan. Dalam uraian tentang kasus Banyuwangi yang ditulis hampir 50 halaman misalnya, Al-Zastrouw, penulis buku ini, lebih banyak mendeskripsikan data lapangan kasus Banyuwangi itu. Sementara, untuk memahami inti pemikiran Gus Dur dalam kasus ini pembaca sebenarnya hanya cukup mencermati alinea terakhir di ujung bab saja.

Terlepas dari kenyataan tersebut, bahwa fenomena buku ini cukup mampu menyedot animo pasar adalah sesuatu yang menarik. Ada semacam dugaan kuat yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia—atau setidak-tidaknya para pendukung Gus Dur—saat ini amat merindukan informasi-informasi menarik tentang Gus Dur dari orang-orang terdekatnya—demikian juga tentang tokoh-tokoh yang lain. Semacam catatan biografis. Kerinduan semacam ini bertolak dari suatu fakta lapangan yang menunjukkan bahwa betapa selama ini citra seorang tokoh, apalagi yang bermain di bidang politik, amat ditentukan oleh suatu konstruksi media massa. Tentang siapa Gus Dur, Amien Rais, Megawati, dan yang lainnya, orang-orang hanya dapat mereka-reka dalam pikiran mereka melalui informasi-informasi yang disusun sedemikian rupa oleh para juru disket. Hal ini sebenarnya tidaklah berarti kurang baik. Namun, orang-orang tentu akan sepakat bahwa media massa di era sibernetik ini bekerja dengan alas kepentingan-kepentingan tertentu. Bahkan, sebagian mungkin akan setuju bila dikatakan bahwa beberapa media bekerja di bawah kontrol kepentingan gurita kapitalisme-global atau kelompok kepentingan tertentu. Pun, keterbukaan pers yang seiring dengan tuntutan reformasi memang cukup berdampak positif, meski hal ini kadang menghadirkan euforia yang berlebihan dan tak jarang menyesatkan.

Dalam konteks yang demikian, buku ini sebenarnya merupakan sebuah awal yang cukup baik untuk lebih mengayakan wacana figur aktor politik di Indonesia. Semacam upaya transparansi kehidupan tokoh pada publik, sehingga publik memiliki referensi yang kaya untuk menilai. Dilihat dari segi isi, buku ini cukup bisa dikatakan suatu pembelaan atas kelima laku politik Gus Dur menjelang Pemilu ’99 tersebut. Atau, lebih tepatnya, suatu klarifikasi publik dan upaya membentuk komunikasi secara lebih cair. Pembelaan memang tidak terlalu perlu dilakukan. Gus Dur sendiri mungkin tidak suka hal itu. Bahkan, “...Tuhan pun tidak perlu dibela,” tulis Gus Dur pada pertengahan 1982 di Majalah Tempo. Apa yang dilakukan Al-Zastrouw melalui buku ini adalah semacam —dalam bahasa Gus Dur—“informasi dan ekspresi diri yang ‘positif-konstruktif’, dengan mendudukkan persoalan secara dewasa dan sewajarnya”.

Beberapa kalangan mungkin akan khawatir bahwa buku ini hanya akan menumpulkan kritisisme masyarakat terhadap Gus Dur, karena klarifikasi yang dilakukan memang cukup potensial untuk ditafsirkan sebagai suatu pembelaan. Tetapi, sosok Gus Dur sendiri sebenarnya memang problematik, bila dihadapkan dengan soal kritik atau oposisi. Persoalannya, Gus Dur sejak dulu sudah dikenal sebagai seorang oposan dan konsisten dengan perjuangan menegakkan hak-hak minoritas yang tertindas. Lagipula, Gus Dur juga seorang pemimpin umat (Islam-NU), sehingga cukup memiliki legitimasi yang kuat. Lalu, dari mana oposisi bisa diharapkan? Apakah kehadiran buku ini hanya akan lebih menumpulkan kritisisme yang amat perlu ditumbuhkan itu?

Mungkin, perlu ada buku-buku lain yang menulis tentang pemikiran Gus Dur secara lebih mendalam, terutama dari perspektif teoritis yang lebih canggih, lebih dari sekedar buku ini atau buku Hartono Ahmad Jaiz berjudul Bahaya Pemikiran Gus Dur (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999) yang lebih terkesan provokatif-doktriner itu. Perlu ada semacam wacana tandingan terhadap wacana-wacana yang telah disebarkan ini, tentu—dalam perspektif Foucault—dengan konsekuensi hantu-kuasa yang ikut mendekam di dalamnya. Kita tunggu saja, dan tidak perlu takut dengan bahaya hantu-kuasa itu. Sebab seperti kata Foucault, “Bila segala sesuatu ternyata berbahaya, setidaknya ada yang bisa kita lakukan.”

Tulisan ini dimuat di Majalah Balairung Edisi Khusus/TH. XV/1999.

0 komentar: