Selasa, 30 April 1996

Agama Menantang Masa Depan

Komaruddin Hidayat & Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial, Jakarta: Paramadina, Desember 1995, 160 + xlii


Beralihnya era agraris ke masyarakat industri yang dicirikan dengan era yang penuh dengan teknikalisme, kapitalisme, dan konsumerisme membuat hegemoni ilmu pengetahuan (modern) terhadap agama semakin menguat. Apalagi dengan munculnya berbagai macam penemuan-penemuan teknologi yang nampaknya kemudian membuat pola dan struktur sosial kehidupan manusia menjadi semakin lebih rasional. Sebagai kelanjutannya, rasionalitas menduduki kedudukan yang begitu penting, sehingga Descartes—seorang filosof dari Perancis—mengatakan cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada).
Berawal dari mendominasinya rasionalitas modern inilah, kemudian peran agama menjadi tereduksi dan didominasi oleh ilmu pengetahuan (modern). Masyarakat menuntut agar agama dapat tampil secara rasional sesuai dengan kndisi sosial ketika itu. Masyarakat menuntut peran agama secara lebih nyata dari apa yang selama ini mereka lihat di lapangan. Dan memang, ketika itu agama hanya terkesan sebagai aktivitas personal dan terlepas dari sistem interaksi sosial. Akibatnya, ketika lembaga agama tidak mampu memenuhi tuntutan masyarakat tersebut, agama mulai ditinggalkan dan diremehkan oleh masyarakat. Apalagi, agama kemudian dijadikan kambing hitam dan dianggap sebagai biang perpecahan dan pertumpahan darah di permukaan bumi.
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa peran agama di masa depan mendapat tantangan yang cukup besar dan tidak dapat diremehkan. Sehingga muncul beberapa pertanyaan yang menarik untuk dikaji. Misalnya, bagaimana model penghayatan keagamaan yang selayaknya diterapkan di tengah masyarakat yang penuh dengan sikap kritis, rasional, objektif, dan individual dan sedang mengalami krisis epistemologis ini? Bagaimana pula sikap dan pandangan kita menghadapi pluralitas agama-agama dunia dan tradisi-tradisi esoterik yang ada, dalam konteks mencari sebuah nilai kebenaran yang abadi?
Setidaknya, itulah beberapa butir pertanyaan menarik yang berusaha dikaji dan dijawab oleh buku ini. Tema sentral buku ini adalah kajian tentang masa depan agama ditinjau dari perspektif filsafat perennial (philosophia perennis, filsafat keabadian), sebuah aliran filsafat tradisional yang akhir-akhir ini kian populer.
Pendekatan kajiannya yang melalui filsafat perennial inilah yang menjadikan buku ini cukup menarik dan layak untuk dibaca. Seperti kita ketahui, belakangan ini ide-ide tentang filsafat perennial di kalangan cendekiawan tersosialisasikan secara intens dan dinamis. Apalagi perbincangan tersebut banyak dimotori oleh tokoh-tokoh pemikiran filsafat ternama, semisal Frithjof Schoun, Seyyed Hossein Nasr, dan sebagainya. Penulis buku ini, Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis,—dua orang staf Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta—adalah termasuk dari pemikir muda yang banyak mengemukakan ide filsafat perennial ini di forum-forum diskusi atau melalui tulisan-tulisannya di media massa.
Buku ini adalah salah satu tulisannya yang memang disusun dan ditulis khusus untuk sebuah buku yang utuh. Karya semacam ini, memang amat jarang sekali dihasilkan oleh para penulis di Indonesia. Kebanyakan, tulisan-tulisan ilmiah populer yang beredar, merupakan kompilasi dari beberapa tulisan yang kemudian disusun menjadi sebuah “buku”. Sehingga, “buku” tersebut kurang menampakkan sebuah ide yang komprehensif. Sisi inilah, yang menambah segi menarik buku ini.
Berbicara tentang pluralitas agama dan tradisi esoterik di dunia ini, filsafat perennial—atau disebut juga al-hikmah al-khalidah—mempunyai pandangan yang cukup menarik. Melihat bahwa terdapat berbagai macam agama dan tradisi esoterik yang berkembang, filsafat perennial menilai bahwa agama-agama dan tradisi-tradisi esoterik tersebut, pada hakekatnya membawa pesan keagamaan yang sama, yang kemudian muncul dalam berbagai nama dan dibungkus dengan bentuk-bentuk dan simbol-simbol berbeda, tetapi tetap merujuk pada hakekat yang sama. Agama-agama tersebut, memiliki sebuah substansi yang sama. Nilai dan pesan kebenaran yang dibawanya adalah sama. Sebab kebenaran abadi itu hanyalah satu. Mengambil analogi kepada cahaya; hakikat cahaya adalah satu dan tanpa warna tetapi spektrum kilatan cahayanya ditangkap oleh manusia dalam berbagai kesan yang beraneka warna. Artinya, walaupun terdapat bentuk-bentuk agama yang berbeda dan dilahirkan pada zaman yang berbeda pula, namun terdapat satu prinsip atau satu hakekat di balik agama-agama dan tradisi-tradisi esoterik tersebut, yang dapat membuatnya bersatu dalam tingkatan transendental.
Namun demikian, bukan berarti filsafat perennial berpandangan bahwa semua agama itu sama. Sebab pandangan semacam itu sama sekali tidak menghormati religiusitas yang partikular dan mereduksi dengan penyejajaran ajaran-ajaran mereka.
Selanjutnya, untuk memperjelas uraiannya ini Komar dan Nafis mengutip istilah yang dibuat oleh Seyyed Hossein Nasr, yang mengatakan bahwa agama itu bisa disebut sebagai sesuatu yang relatively-absolute (absolut secara relatif). Maksudnya, bentuk agama itu adalah sesuatu yang relatif adanya, tapi nilai substansi yang dimilikinya dalam esensi hakiki dan supraformalnya adalah mutlak. Maka, di sinilah satu karakteristik khas yang dimiliki tradisi perennial yang tetap memandang bentuk-bentuk dari agama apapun sebagai keistimewaan partikular yang harus dihormati. Sebagai kelanjutannya, diperlukan sebuah model keberagamaan yang dialogis yang penuh dengan sikap inklusif, simpatik, terbuka, dan sika pparalelisme, yang dimaksudkan untuk dapat memperlebar pintu kebenaran baru dengan memperkaya pesan-pesan luhur keagamaan dan pengalaman-pengalaman spiritual pada agama-agama yang lain.
Dari hal yang demikian ini, sekadang umat Islam—dan umat-umat agama yang lain—mengalami kebingungan teologis dalam memandang dan mensikapi pluralitas agama tersebut. Sedangkan, dalam al-Qur’an sendiri memang disebutkan beberapa isyarat tentang diakuinya pluralitas doktrin teologis. Misalnya pengakuan al-Qur’an terhadap kelompok-kelompok agama yang disebut dengan ahl al-kitab, dan sebagainya.
Mengenai model penghayatan keagamaan yang diperlukan masyarakat modern, Komar dan Nafis memberi gambaran yang juga cukup tegas. Bagi Komar dan Nafis, keberagamaan di masa depan memang menghadapi sebuah tantangan besar di tengah komunitas masyarakat modern yang telah banyak mengalami perubahan di berbagai segi, utamanya dalam hal nilai-nilai serta norma masyarakat. Memang, agama kemudian ditantang untuk dapat menjawab persoalan-persoalan sosial yang kian kompleks vis a vis ideologi sekuler yang juga ada.
Adakalanya, agama menjadi kurang mampu menjawab tantangan untuk menyelesaikan problem kemanusiaan tersebut. Ini terjadi bila agama hanya dipahami dan ditangkap pada dimensi institusinya, sedangkan intuisi dan ruh agama tersebut diabaikan dan kurang dihayati dengan sempurna. Akibatnya, agama sekedar dibaca sebagai sebuah tradisi yang turun temurun dan kurang memiliki daya panggil untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Spirit agama yang paling hanif itu kemudian menjadi terkubur dalam simbol-simbol yang diciptakan oleh pemeluk agamanya sendiri. Di sisi yang lain, ideologi sekuler yang menawarkan jasa bagi penyelesaian problem sosial semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Selanjutnya, terjadilah apa yang disebut Komar dan Nafis dengan marginalisasi peran agama dalam interaksi sosial masyarakat. Melihat fenomena ini tak heran bila dua orang futurolog, John Naisbitt dan Patricia Aburdene (suami-istri), meramalkan akan munculnya sebuah kecenderungan baru, Spirituality, Yes; Organized Religion, No.
Maka, agama yang sekiranya dapat diterima oleh masyarakat di masa depan adalah agama yan dapat mencerahkan hati dan akal, agama yang mampu membebaskan manusia dari dominasi dan hijab duniawi, yang memperjuangkan prinsip-prinsip antropik-spiritualisme, dan yang dapat menjadi wadah ekspresi dan manifestasi pencarian makna hidup manusia melalui aktualisasi kemanusiaannya.
Membaca dan menyimak alur pemikiran penulis buku ini dengan cermat dan teliti, memang memiliki keasyikan tersendiri. Apalagi, banyak informasi-informasi baru yang akan kita dapatkan di buku ini, mengenai hal-hal yang mungkin sangat jarang kita temukan. Namun sayangnya, bahasa yang digunakan dalam buku ini, cukup menuntut kita untuk sedikit mengernyitkan dahi, agar dapat memahaminya dengan sempurna. Sehingga mungkin, buku ini tidak dapat dikonsumsi oleh banyak lapisan pembaca.
Di tengah-tengah ramainya perbincangan mengenai studi (antar) agama dalam perspektif filsafat perennial, mungkin tidak berlebihan bila dikatakan bahwa hanya buku inilah yang satu-satunya dapat memberi gambaran yang cukup sempurna mengenai hal tersebut.
Wallahu a’lam.

Tulisan ini disusun sekitar bulan April 1996.

Read More..

Rasionalisme Menuju Dinamisme

Judul buku: Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran
Penulis: Prof. Dr. Harun Nasution
Penerbit: Penerbit Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, Mei 1995
Tebal: 464 halaman


Di antara para pemikir Islam di Indonesia, nama Harun Nasution memang cuup mempunyai tempat yang agak istimewa. Sebab—sebagaimana dikatakan oleh Nurcholish Madjid—Harun Nasution telah memulai dan ‘menanam’ semacam tradisi intelektual—yang beliau rintis di IAIN Jakarta—yang menghasilkan suatu fenomena umum di mana orang berani berdiskusi secara terbuka, dan tidak takut lagi untuk mempertanyakan doktrin yang dipandang sudah mapan di kalangan umat Islam. Lain dari itu, tokoh yang disebut-sebut sebagai penganut Neo-Mu’tazilah ini sering kali melontarkan ide dan gagasan-gagasan yang cukup menarik dan menjadi perhatian masyarakat.

Islam Rasional
, adalah buku terbarunya yang diterbitkan setelah sekitar tujuh judul buku yang ditulisnya diterbitkan. Buku ini merupakan sebuah kompilasi dari makalah-makalahnya antara tahun 1970 sampai dengan 1994. Walau rentang waktunya cukup lama dan terkesan sudah usang, namun buku ini tetap memiliki kekuatan analisis yang kuat dan tetap terasa enak dibaca.

Secara garis besar, buku ini mencoba memberikan sebuah alternatif solusi yang cuup mendasar bagi beraneka macam persoalan keislaman, di Indonesia. Persoalan pokok yang kini sedang dihadapi umat Islam Indonesia adalah berkaitan dengan kemunduran dan keterbelakangan kita (baca: umat Islam) dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat.

Sebagai seorang cendekiawan, Harun Nasution melihat adanya suatu kemandekan dalam segala aspek kehidupan masyarakat Islam, terutama dalam bidang kebudayaan dan tradisi keilmuan. Kreativitas umat Islam menjadi menurun sangat drastis sekali, bahkan bisa dikatakan hampir tidak ada sama sekali.

Untuk dapat menemukan dan menumbuhkan kembali kreativitas umat Islam, Harun mengajak kita untuk menengok kembali dan membuka-buka lembaran sejarah, di mana pada sekitar tahun 650-1250 masehi umat Islam mencapai masa keemasannya. Pada periode ini—yang oleh Harun disebut sebagai periode klasik—, dunia Islam berkembang ke barat sampai ke Spanyol, ke timur sampai ke India, ke utara sampai ke Kaukasus, dan ke selatan sampai ke Sudan. Terjadi pula kontak-kontak kebudayaan dengan barat dan kebudayaan Yunani klasik yang cukup masyhur dengan kebudayaan hellenisme-nya itu. Sementara dalam bidang keilmuan, muncul pemikir-pemikir Islam yang cukup handal, baik dalam bidang ilmu Al-Quran, tafsir, fiqh, tasawuf, akidah, dan sebagainya. Begitu pula dengan bidang sains juga mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dalam ilmu kedokteran, kita mengenal Ibn Rusyd dan Ibn Sina, di mana karya-karya keduanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan banyak dipakai di Eropa hingga abad ke-18 masehi. Ilmu kimia, dikembangkan oleh Jabir dan Al-Razi, dan pemikiran-pemikirannya merupakan sumbangan besar bagi para ilmuwan yang lainnya. Bidang matematika dikembangkan oleh Al-Khawarizmi, sehingga ia disebut sebagai Bapak Aljabar. Demikian juga dalam bidang-bidang yang lainnya.

Peradaban Islam, mengalami peningkatan yang pesat, dan dinamika masyarakat menunjukkan ke arah suatu perubahan yang semakin baik. Kemudian sesudah periode ini, Islam mengalami kemunduran secara total, tepatnya bermula setelah Baghdad jatuh ke tangan Hulagu Khan, cucu dari Jengis Khan pada tahun 1258 M.

Berangkat dari pengalaman sejarah itulah, Harun mencoba untuk menelaah guna menemukan sebuah solusi alternatif agar Islam dapat mengejar ketertinggalannya.

Dalam permasalahan ini, Harun melihat paling tidak ada tiga faktor utama yang dapat menjadikan peradaban umat Islam pada saat itu mengalmai kemajuan yang pesat.

Yang pertama, adalah kesanggupan ulama-ulama zaman klasik dalam hal membedakan ajaran-ajaran dasar Islam yang bersifat absolut dan ajaran-ajaran yang bukan dasar dan sifatnya tidak mutlak. Pada zaman klasik itu, diyakini bahwa hanya ajaran yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadits saja yang dapat dijadikan sebagai dogma. Ini sangat berbeda sekali dengan pandangan ulama-ulama zaman pertengahan, yaitu periode sesudah zaman klasik, yang menganggap bahwa selain Al-Quran dan Hadits, ajaran-ajaran yang dihasilkan ulama-ulama pada zaman klasik juga diyakini sebagai dogma. Sehingga yang mengikat pemikiran pada zaman pertengahan bukan hanya ajaran-ajaran absolut saja, tetapi juga ajaran-ajaran relatif yang hanya dapat menjadikan kebebasan berpikir dan bergerak mereka amat terikat. Sementara pada zaman klasik dogma yang mengikat pemikiran para ulama pada waktu itu sangat sedikit sekali, sehingga pemikiran menjadi terbuka, pandangan menjadi luas, serta sikap mereka menjadi dinamis. Tak heran jika kebudayaan Islam pada zaman klasik ini berkembang pesat sekali.

Mengenai hal ini, sebenarnya Harun sudah sering kali mengemukakannya. Misalnya saja dalam sebuah wawancaranya dengan Julizar Kasiri, seorang wartawan Tempo, —yang kemudian dimuat pada edisi No. 30 tahun XX, 22 September 1990—, Harun menjelaskan bahwa ajaran Islam yang absolut itu hanya sekitar 5% saja dari seluruh ajaran yang kita pakai selama ini. Yang 5% ini hanyalah terdapat dalam Al-Quran dan Hadits saja. Selebihnya (yang 95%), adalah karangan-karangan para sahabat dan ulama-ulama yang tidak ma‘sum (bebas dari kesalahan). Maka dari itu, kata Harun, jika ajaran yang nisbi itu tidak sesuai dengan perkembangan zaman sekarang, bisa saja ditinggalkan untuk kemudian mencari penyesuaiannya dengan tetap mengacu kepada Al-Quran dan Hadits.

Faktor yang kedua adalah pandangan ulama-ulama zaman klasik tentang posisi akal dalam Islam. Pada periode klasik ini, akal digunakan sebagai perinci serta yang menafsirkan ajaran-ajaran dasar dalam Al-Quran, sehingga ajaran-ajaran tersebut dapat disesuaikan dengan kondisi sosial yang ada, tanpa terlepas dari tuntunan wahyu. Dalam permasalahan ini, Harun bahkan berpendapat bahwa akal telah menjadi sumber ketiga ajaran Islam, setelah Al-Quran dan Hadits.

Sedangkan faktor yang ketiga adalah berhubungan dengan masalah teologi. Teologi yang dianut oleh para ulama zaman klasik adalah teologi rasional, atau yang kita kenal dengan faham Qadariyah, di mana menurut faham ini, manusialah yang menentukan nasibnya (free will), serta manusialah yang menciptakan perbuatannya.

Dengan faham Qadariyah ini, maka produktivitas dan kreativitas umat Islam pada masa itu sangatlah tinggi. Sementara umat Islam pada zaman pertengahan yang menganut faham Jabariyah (fatalisme), produktivitasnya rendah, sebab mereka beranggapan bahwa nasib itu sudah ditentukan oleh Tuhan sejak semula, sehingga manusia tak bisa berbuat apa-apa.

Maka bertitik tolak dari ketiga faktor tersebut, Harun mengajak kita bersama untuk merekonstruksi pemikiran kita yang selama ini telah mengakibatkan kemandekan di kalangan umat Islam sendiri. Harus segera diadakan reinterpretasi terhadap ajaran-ajaran yang sudah tidak sesuai dengan kondisi zaman sekarang ini.

Dan perlu dicatat pula, bahwa dalam melaksanakan tugas ini, yaitu upaya untuk merekonstruksi dan mereinterpretasikan pemahaman keislaman kita saat ini, diperlukan seorang penafsir yang benar-benar mampu, yang menurut Harun harus dituntut tidak hanya tahu agama saja, tapi juga dapat memahami setiap perkembangan zaman. Dalam hal ini Harun berharap agar sarjana-sarjana yang dihasilkan IAIN mampu untuk memenuhi tuntutan itu. Beliau berharap semoga sarjana-sarjana IAIN dapat bersikap rasional, berpandangan luas, berbudi luhur, dan pengetahuannya tidak hanya terbatas pada ilmu agama saja, tetapi juga mencakup ilmu pengetahuan umum, sehingga mampu untuk menafsirkan kembali ajaran-ajaran dasar Islam itu.

Memang buku ini cukup enak dibaca. Sebab selain bahasa yang dipakai Harun sederhana, persoalan yang dikupas juga tidak begitu ruwet. Namun sisi kelemahan buku ini adalah terlalu banyaknya pengulangan dalam mengungkapkan suatu permasalahan. Walaupun sebenarnya ini sudah disadari oleh Harun—sebagaimana diungkapkannya dalam pengantar buku ini—, tetapi alangkah akan lebih baiknya bila ada yang mengelaborasikan tulisan-tulisan dengan tema yang agak sama itu, baik hal itu dilakukan sendiri oleh Harun, atau oleh penyunting buku ini.

Kehadiran buku ini, mungkin akan dapat mengajak kita bersama untuk melakukan sebuah rekontemplasi tentang pemahaman keislaman kita selam ini dalam memecahkan permasalahan-permasalahan umat Islam dewasa ini.


Tulisan ini selesai ditulis pada 28 Juli 1995 dan dimuat di Majalah Mimbar Pembangunan Agama (MPA) terbitan Departemen Agama Jawa Timur edisi April 1996.

Read More..

Minggu, 14 April 1996

Islamisasi di Bidang Psikologi

Judul Buku: Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami
Penulis: Hanna Djumhana Bastaman
Penerbit: Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Oktober 1995
Tebal: xvi + 243 halaman


Gagasan tentan Islamisasi ilmu pengetahuan, yang muncul pada sekitar dekade 70-an, akhir-akhir ini mulai kembali marak diperbincangkan. Ide yang berangkat dari sebuah perdebatan panjang tentang eksistensi ilmu pengetahuan itu sendiri—apakah ia bebas nilai atau tidak—akhir-akhir ini rupanya telah menampakkan adanya suatu kecenderungan akan mencapai ke tingkat aksi. Fenomena semacam ini dapat kita lihat bila kita mencermati perkembangan pergumulan pemikiran kaum ilmuwan di bidangnya masing-masing. Ada semacam tarik-menarik antar nilai-nilai dan konsep teoritis ilmu pengetahuan dengan konsep normatif keagamaan, yang secara lambat laun mengisyaratkan adanya suatu upaya untuk mengintegrasikan keduanya.
Dalam konteks Islam sebagai sebuah sistem nilai, maka Islam seharusnya mampu memberi makna dan etika dalam ilmu pengetahuan. Ini berarti, nilai-nilai dan norma-norma Islam harus diupayakan untuk dapat berintegrasi dengan sistem, metode, wawasan, dan teori-teori ilmu pengetahuan modern. Sebab bagaimanapun, sebuah ilmu pengetahuan itu bertolak dari sebuah aksioma yang tidak pernah dibuktikan secara pasti keberadaannya. Sementara agama, dalam hal ini Islam, jauh lebih pasti daripada ilmu karena tidak mengenal relativisme moral. Artinya, posisi agama ada di atas ilmu, sebab ilmu merupakan penurunan dari agama (Kuntowijoyo, 1991, halaman 320-321).
Hanna Djumhana Bastaman, penulis buku ini, sebagai seorang psikolog muslim yang telah cuup lama bergelut dalam wacana pemikiran psikologi, rupanya tertarik untuk mencoba menformulasikan gagasannya tentang Islamisasi Psikologi dalam sebuah buku.
Bila diperhatikan, memang ternyata di tengah perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, wacana tentang ide Islamisasi psikologi masih belum banyak yang dipublikasikan. Inilah salah satu latar belakang diterbitkannya buku ini—sebagaimana diakui oleh editor buku ini, Fuad Nashori. Walaupun buku ini sifatnya merupakan kompilasi dari berbagai tulisan dan makalah-makalah yang ditulis Hanna dalam berbagai kesempatan, hal tersebut tidak mengurangi orisinilitas dan komprehensifitas ide dalam buku ini.
Psikologi sebagai salah satu ilmu pengetahuan modern, penuh dengan berbagai macam aliran yang berkembang. Kita mengenal apa yang disebut dengan aliran psikoanalisis yang dikembangkan oleh Sigmund Freud, psikologi humanistik, aliran behaviorisme, dan sebagainya. Dalam perkembangannya akhir-akhir ini, yang menarik adalah adanya apa yang disebut oleh Budhy Munawar-Rachman sebagai arah baru dalam psikologi kontemporer. Di mana dengan semakin disadarinya bahwa ada sebuah kekurangan dari psikologi-barat modern, maka nampaklah sebuah gejala akan semakin diperhatikannya “psikologi tradisional” yang dikembangkan di dunia timur. Bahkan Stuart B. Litvak dalam bukunya yang berjudul How to Study Psychology: A Basic Field Guide for Students and Enthusiasts menyebutkan bahwa sufisme, sebagai salah satu tradisi keislaman, sudah seharusnya lebih diperhatikan, karena ia juga memiliki dimensi-dimensi psikologis yang tak kalah penting untuk pengembangan kesadaran manusia (Jurnal Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. V, Tahun 1994, halaman 3).
Dengan demikian, potensi untuk diintegrasikannya nilai-nilai Islam dengan psikologi modern, cukup besar. Mengingat di antara sekian banyak disiplin ilmu pengetahuan, psikologilah yang paling mudah dikaitkan dengan nilai dan norma Islam, karena kejiwaan memang ilmu yang sarat dengan nilai (Kuntowijoyo, 1991, halaman 325).
Dalam melihat disiplin ilmu psikologi tersebut, Hanna mendapatkan adanya sebuah kecenderungan pemahaman psikologi yang sifatnya antroposentris. Maka secara implisit, dengan pemahaman yang demikian, manusia mempunyai peran sentral dalam psikologi. Dalam artian, ia telah menganggap bahwa Tuhan tidak lagi berperan dalam psikologi, dan peran Tuhan itu telah direduksi oleh manusia. Padahal, bagaimanapun, Tuhan adalah pusat dari kehidupan ini. Hal ini juga yang disinggung oleh Mulyanto, staf peneliti di BATAN PUSPITEK Serpong, sebagai suatu kenyataan bahwa ternyata materialisme telah menyelinap dalam tubuh ilmu pengetahuan, bersembunyi dalam struktur dalamnya, hingga ia tak tampak sebagai nilai yang dianut oleh ilmu pengetahuan tersebut (Jurnal Ulumul Qur’an, No. 9, Vol. II, Tahun 1991, halaman 55). Hal ini terjadi tak lain adalah karena sebagian kaum ilmuwan tetap bersikukuh dengan pendapatnya bahwa ilmu pengetahuan itu bersifat bebas nilai, sehingga ia kemudian meninggalkan etika-etika kemanusiaan. Kemudian, dari hal ini Hanna mengintroduksi sebuah istilah baru dalam psikologi, yaitu antropo-religiosus-sentris.
Mengupayakan integrasi psikologi dengan Islam, bukan berarti harus menganggap salah sama sekali wawasan-wawasan, teori-teori, sistem, metode dan tehnik pendekatan yang sudah ada dan berkembang di lingkungan psikologi. Tetapi yang perlu diupayakan adalah penyempurnaan dan perbandingan, yang kemudian diikuti dengan reorientasi falsafi dan konfirmasi wawasan psikologi tersebut dengan wawasan yang berlandaskan kepada nilai-nilai keislaman, sehingga Islam mampu untuk masuk pada struktur pemikiran psikologi yang terdalam. Dalam hal ini, Hanna menyebutkan enam metode yang digunakan sebagai upaya menghubungkan sains dan agama. Yaitu similiarisasi, paralelisasi, komplementasi, komparasi, induktifikasi, dan verifikasi.
Salah satu bagian terpenting yang menjadi bahasan utama Hanna dalam buku ini, adalah tentang adanya dimensi ruh dalam struktur kepribadian manusia. Inilah yang tidak dimiliki oleh manusia, yang tidak pernah dibahas dalam wacana psikologi modern. Walaupun sudah diisyaratkan oleh Al-Qur’an, bahwa hakikat ruh itu hanyalah diketahui oleh Allah saja (Q.S., Al-Isra’/17: 85), tidak berarti Hanna telah melampaui batas-batas etika kewajaran. Namun, sebagaimana diakuinya, bahwa pembahasannya tentang ruh hanyalah berkisar pada mencermati gejala-gejala yang ditimbulkannya saja. Sebab bagaimanapun juga, menurut Sa’id Hawwa, pembicaraan mengenai ruh merupakan tindakan berpura-pura. Oleh karenanya, pembicaraan tentang ruh hanya berkisar pada dua hal: mengembalikan ruh pada pengetahuan asalnya, dan pada kesempurnaan pengabdianna (Sa’id Hawwa [terjemahan Indonesia], 1995, halaman 55).
Hal lain yang menarik untuk diperhatikan, adalah adanya sedikit persamaan, antara pembahasan tasawuf dengan psikologi. Hanna mengakui tentang adanya hal tersebut, namun Hanna tetap memandang bahwa secara hakiki, terdapat perbedaan antara keduanya. Psikologi adalah sebagai sains, dan tasawuf sebagai bagian dari agama. Dan, manakala keduanya telah berintegrasi secara benar, akan terciptalah sebuah sinergi baru dalam ilmu psikologi dan agama.
Secara umum, tema dalam buku ini adalah upaya untuk mencoba membandingkan asas-asas psikologi dengan asas-asas Islam mengenai manusia. Yang dimaksud di sini adalah melihat sejauh mana terdapat kesamaan, kesejalanan, saling menunjang dan melengkapi atau bahkan saling menyangkal di antara keduanya. Buku ini dibagi dalam empat bagian utama. Bagian pertama mengungkapkan dasar-dasar perkembangan psikologi berwawasan Islam. Bagian kedua membahas masalah konsep utama dalam wacana psikologi tentang manusia. Bagian ketiga mencoba menawarkan konsep tentang bagaimana pribadi yang sehat dalam perspektif Islam. Bagian ini nampak bersifat lebih praktis. Sedangkan bagian keempat menggambarkan pendekatan praktis secara umum kepada masyarakat dalam hubungannya dengan psikologi.
Dari 20 tulisan yang disajikan dalam buku ini, kiranya perlu kita catat bahwa ini adalah sebagai sebuah terobosan baru dalam perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, yang patut untuk dihargai dan terus dikembangkan di bidang disiplin ilmu yang lainnya.

Tulisan ini disusun sekitar bulan Februari-Maret 1996.

Read More..